Oleh: Markus Makur
Kontributor Kompas.com dan The Jakata Pos di Flores
Tarsisius Antonius Amat, penderita gangguan jiwa asal Kampung Mbapo, Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, dikabarkan sudah 12 tahun dipasung di gubuk reot yang berdinding pelupuh bambu di belakang rumah keluarganya (Kompas.com, edisi 12/11/2018).
Pelupuh bambu yang menangkarnya sudah tua bahkan nyaris roboh. Rambutnya sudah panjang, pakaiannya tak pernah ganti. Lusuh. Kondisinya sangat memprihatinkan.
Kristianus Nau juga dipasung di dalam rumah keluarganya di Kompleks Watu Ipu, Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong.
Bergeser ke kecamatan Kota Komba, ada Viktor Wisang, Orang Dengan Ganggauan Jiwa dari Kampung Rende, Desa Lembur. Wisang beruntung karena dirinya tidak dipasung.
Paulus Jagang, rakyat di Kampung Waebok, Kelurahan Ronggakoe dipasung selama tiga bulan oleh keluarga dan warga sekitarnya. Sebelumnya Jagang sembuh saat dirawat di tempat rehabilitasi Renceng Mose Ruteng dengan minum obat, namun kini obatnya habis.
Pada Natal 2017 lalu, ia dikunjungi anggota DPR RI bersama dengan para pekerja media di Kabupaten Manggarai Timur saat sudah sembuh.
Senasib dengan Jagang, Hendrikus Junda yang sebelumnya dipasung selama 10 tahun, kini sembuh ketika dirawat di rehabilitasi Renceng Mose Ruteng. Kini Junda rutin minum obat berkat perhatian keluarganya di Kampung Kower, Kelurahan Ronggakoe. Eduardus Leghu juga sudah sembuh ketika dirawat di tempat rehabilitasi yang sama dengan minum obat.
BACA JUGA: ODGJ Belum Diperhatikan: dari Kendala Anggaran sampai Kurangnya Tenaga Medis
Potret lain ditemukan di Kampung Deruk, Desa Sipi, Kecamatan Elar Selatan. Di sana ada seorang perempuan, Walburga Naut, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dipasung di samping rumahnya. Gubuknya berdinding bambu dan sangat memprihatinkan.
Kadang-kadang Naut bicara sendiri dan menyanyi sendirian di gubuknya. Semua orang bisa melihatnya, baik yang sedang jalan kaki maupun penumpang oto colt dan mobil mewah yang melintasi jalan raya di depan rumahnya.
Kemudian, Wens Badik, Orang Gangguan Jiwa yang dipasung di belakang rumahnya di Kampung Puncak Weong, Desa Rana Gapang, Kecamatan Elar. Untuk ke kampung Puncak Weong harus berjalan kaki, apalagi saat musim hujan tiba. Benar-benar mengerikan kondisi di pelosok Kabupaten Manggarai Timur.
Ada juga Sebastianus Nekong dan Wihelmina Min. Keduanya tidak dipasung di Kecamatan Elar.
Sementara Yan, di Kampung Lempang Paji, Kelurahan Lempang Paji terpaksa dipasung di dalam rumah orangtuanya.
Selanjutnya, Fransiskus Galis Kari, dipasung sejak tahun 2000 di Kampung Sembang, Mok, Desa Mbengan, Kecamatan Kota Komba.
Berikutnya lagi ada Agustinus Amat sudah dipasung selama 10 tahun di Kampung Waru Leok, Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba dan Yosep Jontar, di kampung Lompong, Kecamatan Lambaleda dipasung sejak 2018 lalu.
Selain nama-nama yang saya sebutkan di atas, sebenarnya masih banyak ODGJ yang belum didata di seluruh pelosok Kabupaten Manggarai Timur.
Deretan nama Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) itu adalah rakyat Manggarai Timur yang seharusnya menjadi tanggungjawab Negara untuk membebaskan mereka dari pasung.
Bahkan Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia sudah tertera bahwa Indonesia harus bebas pasung. Lalu mengapa masih ada rakyat Indonesia yang tinggal di pelosok Nusantara masih dipasung? Dimanakah tanggungjawab Negara untuk membebaskan rakyatnya?
Bukan hanya di Kabupaten Manggarai Timur, melalui berbagai informasi media massa di Pulau Flores, rakyat yang mengalami gangguan jiwa dan dipasung itu tersebar dari Manggarai Barat sampai di ujung Timur Pulau Flores.
Dari uraian ini dapat disimpulkan, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) bisa sembuh dan pulih asalkan dengan perawatan intensif dengan terapi obat secara terus menerus.
Bahkan di Kabupaten Ende, Kelompok Kasih Insani (KKI) pimpinan Pater Avent Saur, SVD yang fokus melayani ODGJ berhasil merawat mereka hingga sembuh. ODGJ yang sembuh itu pernah memberikan kesaksian tahun 2017 lalu menjelang Natal di Program Kick Andy, Metro TV.
Kesembuhan rakyat di Kabupaten Ende yang dipasung berkat kegigihan dan komitmen dari Pater Avent Saur, SVD. Kepekaan hati nurani dari Imam Katolik itu, berhasil membebaskan rakyat dan umat dari pasungan.
Perjuangan Pater Avent menginspirasi sejumlah orang di Provinsi Nusa TenggaraTimur untuk memberikan aksi kepedulian dengan mengunjungi rakyat yang dipasung maupun yang berkeliaran di jalan karena gangguaan kejiwaan.
ODGJ Bisa Sembuh
Andreas Harsono, Peneliti Human Rights Watch dalam prolog buku “Belum Kalah” edisi revisi, (Nusa Indah, Cetakan 2, 2018) mengisahkan Paus Fransiskus pernah menjalani pengobatan psikoterapis dan psikoanalis selama enam bulan ketika berumur 42 tahun.
Paus Fransiskus yang menjadi provincial Superior ordo Jesuit di Argentina mengalami kesembuhan hingga menghantarnya menduduki pimpinan tertinggi Gereja Katolik.
Paus Franiskus mengatakan pengobatan jiwa pada psikoanalisis membantunya tetap waras.
Menurut penulis, pengalaman Kepala Gereja Katolik sedunia ini memberi pesan kepada kita agar serius membebaskan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dipasung maupun yang berkeliaran di jalan-jalan.
Human Rights Watch merekam bahwa sekitar 57.000 orang di Indonesia pernah hidup dalam pasungan, setidaknya sekali dalam hidup mereka. Dan berdasarkan data pemerintah yang tersedia, sekitar 18.800 orang masih dipasung.
Meski Pemerintah Indonesia melarang pasung sejak 1977 (41 tahun lalu), namun prakteknya masih dijumpai sampai sekarang.
Superior Jenderal SVD Sedunia, Pater Paul Budi Kleden, SVD dalam Epilog Buku Avent Saur, “Belum Kalah” juga menegaskan, kesadaran akan hak-hak asasi manusia (HAM) dan praksis penghargaan terhadapnya adalah masalah pembudayaan.
HAM mesti kita budayakan, kita jadikan bagian utuh dari budaya kita, termasuk HAM bagi orang-orang yang mengalami gangguan jiwa.
Jikalau kita amati kondisi di Nusa Tenggara Timur, ada begitu banyak deretan kisah kemanusiaan yang mendapatkan lembaga perlindungan. Untuk mengurus tenaga kerja ilegal, ada lembaganya, untuk menangani penderita HIV/AIDS ada lembaga khusus yang disediakan Negara.
Namun, mungkin saya keliru karenanya saya ingin bertanya, apakah ada lembaga khusus negara yang menangani Orang Dengan Gangguan Jiwa di Indonesia khususnya NTT?
Nyatanya sudah 41 tahun Indonesia merdeka masih dijumpai Orang Dengan Gangguan Jiwa yang dipasung di seluruh pelosok Nusantara.
Untuk itu ada beberapa tawaran yang saya ajukan. Pertama, negara harus membentuk sebuah lembaga khusus yang fokus mengurus Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dari tingkat Pusat sampai di daerah.
Kedua, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) masuk dalam program keluarga Harapan di Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Ketiga, untuk memudahkan pelayanan pengobatan bagi rakyat yang mengalami gangguan kejiwaan, Pemerintah memasukkan mereka di BPJS sehingga keluarganya mudah mengambil obat di Rumah Sakit, Puskesmas dan tempat pelayanan lainnya.
Keempat, pemerintah melalui institusi terkait seperti Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan harus berinisiatif mendaftarkan rakyat yang penderita ODGJ bukan menunggu laporan dari keluarga mereka.
Hanya dengan cara tersebut kita pelan-pelan keluar dari stigma NTT: Nusa Terus Terpasung.
Dalam pandangan yang lebih luas, pasungan sebenarnya tidak hanya terjadi pada Orang Dengan Gangguan Jiwa, melainkan pasungan kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan kurangnya infrastruktur di NTT.
Masalah-masalah ini, terutama kemiskinan diasumsikan menjadi salah satu faktor banyaknya orang mengalami gangguan jiwa di NTT.
Dera kemiskinan yang melilit berdampak kuat pada indeks kebahagiaan orang NTT. Semakin tinggi taraf kebahagiaan hidupnya, makin kecil pula peluang menjadi orang gila.
Karena itu negara tidak boleh menelantarkan ODGJ. Selain memperhatikan layanan kesehatannya, pemerintah NTT sebagai perwakilan negara, juga harus mampu membangun aspek ekonomi rakyat agar makin sejahtera.