*) Cerpen Wildus Tuname
Malam mulai larut, tapi aku belum hanyut. Memang, tak seperti biasanya. Aku bingung, dengan fakta diriku malam ini. Aku yang biasa sudah terlelap pada pukul 23.00, kini belum dirayapi rasa kantuk sedikit pun.
Ahh….entah kenapa. Berkali-kali aku mengusap kepala mencoba berpikir tentang hal ini. “Ahh….memang salah, urusan rasa ya, harus diselesaikan dengan rasa pula,” gerutuku dalam hati.
Aku mencoba berenang dalam lautan perasaan, mengarungi kegaduhan ombak perasaanku. Tiba-tiba handphone berdering. Aku menengok ke arah letaknya dan meraihnya dengan cepat, lalu menjawab panggilan itu tanpa menghiraukan nama kontak yang menelponku di malam yang mulai larut ini.
”Kakak Wil,…” kata si penelpon dengan sedikit menelan suaranya. “Hallo…”sapaku. Ia diam tak berkata namun telingaku menangkap isak tangisnya.
Aku memberi dia kesempatan untuk menenangkan gejolak hatinya agar komunikasi kami bisa berjalan dengan baik. “Kakak Wil,..kakak itu tidak peka.” Ia mulai berkata dengan nada patah-patah. Aku bingung dengan perkataannya. “Aku tidak peka?”aku sedikit berpikir. “Diana apa maksudmu?” tanyaku dengan sedikit keyakinan bahwa si penelpon adalah Diana.
“Ya, kakak itu tidak peka. Kakak tidak peka dengan perasaanku. Aku sangat mencintai kakak. Aku merindukan kakak. Aku bahkan telah menulis perasaanku di status Facebookku, tapi kakak sedikit pun tidak menggubrisnya. Setiap hari aku menangis. Aku memikirkanmu sampai gila.” Aku mendengar saja penjelasannya.
“Diana, seperti daun dicumbui angin terkulai jatuh, itulah kau yang kemarin singgah di hati yang getas,” kataku padanya.
“Aku ingat, kita mengukir kisah dalam harap fana, yang paling menyakitkan setiap titah janji jauh dari kemungkinan nyata. Inikan alasan kamu memilih untuk putus,” lanjutku. Ia diam saja.
Ia sendiri memutuskan tuk mengakhiri hubungan kami karena ia malu mendengar ocehan teman-temannya kalau ia menjadi penghambat bahkan perusak panggilanku.
Ia terus saja menangis. Sepertinya ia tak kuasa menahan geliat rindu dalam hatinya. Diana, cinta itu sumber segala yang ajaib. Yang tiada ia ciptakan. Ingatlah, hari ini ia beri lukisan sungai di rona pipi manismu, saat kau kembali dari pengembaraanmu mencari cinta yang lahir dari keterpaksaan demi menguatkan relasi persahabatan.
Diana, aku telah menulis beberapa syair penuh imajinasi. Aku harap kamu mau mendengarnya tanpa menertawakan aku dan syair-syair ini. Inilah syarat bagimu jika mau mendengarnya.
“Iya kakak, aku mau dengar dan aku janji tak akan menertawakan kakak.” katanya.
“Diana, kuakui surga pernah kutemui bersamamu. Aku mengerti sedikit tentang cinta yang pelik untuk dibahas tuntas. Aku kenal rindu yang benar tidaknya masih menyimpan tanya. Kepada malam kusampaikan thank you, telah membawaku pernah bermimpi dalam hidup mencinta. Diana, ketika aku pergi ke laut yang paling senyap. Berlayar bersama Sang Sabda, menyelami kehidupanNya, meneguk butir-butir sabdaNya yang kutemui, hanyalah kau yang menanti dengan senyum yang menyembunyikan ketidakbebasan akibat dari mencintai yang dipaksakan. Diana, kamu masih tetap menjadi bintang yang sempat kuabadikan dalam imaginasi pertamaku. Dan karena gerimis, jejakmu sempat membekas. Entah kapan badai akan datang memporak-porandakannya. Lalu ia lenyap meninggalkan cerita-cerita syahdu. Tapi, aku tidak mengharapkannya. Dengan tegas, aku mau bilang, kaulah definisi syahda yang paling sahih dariku. Diana, malam dan pagi tak bisa berpelukan. Jika kamu ingin merasakan kehangatan fajar kamu harus menanti datangnya pagi jika harimu malam. Aku pun demikian harus sabar menanti hari malam untuk melihat kecantikan bintang. Diana, kini aku sulit mengerti senyum yang kaujadikan sebagai rangkuman atas bahasa dan rasa. Aku hanya paham, kalau air matamu itu berbicara lebih keras tentang kerapuhanmu dalam situasi patah,” ia diam saja mendengar perkataanku yang kian tak memiliki ujung.
Diana, aku minta maaf, jika namamu masih ada dalam syair-syair patah ini. Jujur aku sangat mencintaimu kini dan entah sampai kapan. Aku lelah, kalau kita selalu melempar kata sebagai pengganti lembing tuk saling melukai dalam story WA kita masing-masing.
Aku juga lelah kita merangkai kata penghibur hanya untuk menyembunyikan rindu yang kian menggeliat. Aku juga lelah kita merangkai kata dalam nada nan bahagia hanya untuk membakar api cemburuku dan cemburumu.
Diana jika mencintaimu adalah dosa. Aku rela dikatakan manusia paling berdosa oleh umat manusia. Sebab, aku lebih berdosa jika menipu diri sendiri bahwa aku tidak mencintaimu. Mencitaimu adalah anugerah dan jika aku mengelaknya aku akan menderita tak terbayangkan. Tentang kehidupan, aku memiliki kategori tersendiri tentang dosa dan berbagai dimensi kehidupan. Dan seharusnya kita menjalani hidup dalam kerangka kategori kita yang lahir dari daya kreatif kita bukan kategori para pendahulu, yang kini menjadi tirani pembatas kebebasan umat manusia. Aku kira untuk situasi kita relativitas dalam hidup perlu kita pegang.
Aku masih merasa kalau kau merindukanku sampai kau membenci dirimu sendiri. Kau memaksa diri mencintai lelaki lain sampai kau melukai perasaanmu. Aku rasa, mekar senyum menawan di setiap fotomu tumbuh subur bersama perih di hatimu. Idealisme dari setiap orang yang dekat denganmu hanya memagari kebebasan dirimu.
Diana, jujur, pada detik ini radar batinku untuk kamu masih sangat kuat. Kau bahagia aku mungkin lebih bahagia. Kau menderita aku mungkin lebih menderita. Aku yakin, aku tahu keadaanmu tanpa kau memberitahuku. Buktinya, Amo temanku sudah menceritakan semua curahan hatimu kepadaku. Saat kapan kau menangis merindukanku, saat itu pula aku merasa tidak bebas. Semua yang kujalani hampa. Aku bahkan tidak bisa menulis saat ujian, karena semua pikiranku hanya tertuju padamu.
“Mungkin kau akan berkata entahlah sebagai jawaban mengantung atas pertanyaanku, seperti biasanya,” kataku dengan nada menghakimi.
Diana biarkan aku membahagiakanmu dengan caraku. Mungkin kau tidak suka, terserah. Tapi aku mau katakan ini. Aku sangat mencintaimu. Tapi, aku bukanlah orang yang tepat untuk membahagiakanmu. Sebab aku dan jalan panggilanku hanya akan melukaimu, jika Sang Sabda dan waktu menyatakannya.
Diana, aku pikir, rindu kita akan terpenuhi ketika aku berkata tubuh Kristus dan kau menjawab amin di suatu waktu.
”Telepon kami terputus entah sengaja ia mematikannya atau pulsa gratis telepon sudah habis dibatasi oleh waktu…”
Ledalero, 26 September 2018
*Penulis adalah pria kelahiran Banain TTU