Kupang, Vox NTT- Tokoh perempuan satu ini dikenal sangat gigih. Selalu fokus memperjuangkan hak-hak dan pembinaan terhadap sesamanya agar bisa menjadi pemimpin. Mimpinya, suatu ketika terbangun kesetaraan gender, antara laki-laki dan perempuan, terutama di Golkar.
Sang tokoh itu adalah Prof. Dr Maria Agustina Noach, MED. Pensiunan dosen Undana Kupang itu, memang pernah bergabung dengan Golkar sejak 1970. “Saya pernah di Golkar, jadi apa pun itu dalam hati kecil saya tetap Golkar”. Tuturnya.
Maria Noach pertama kali masuk Golkar saat menyelesaikan studinya di Salatiga, sekitar 40-an tahun lalu. Tiba–tiba dia mendapat telegram dari Jakarta untuk dilantik menjadi anggota DPRD NTT antar waktu menggantikan Mel Adoe. Saat itu, Ben Mboi sebagai Gubernur NTT. Ia tidak tahu mengapa tiba–tiba anggota dewan diganti.
Dugaannya, mungkin karena pendahulunya itu belum bergelar akademik. Bisa juga memberi kesempatan kepada generasi muda berperan.
Lahir di Kupang, 13 Mei 1938, Maria Noach menjadi anggota dewan antar waktu, 1970-1971. Saat itu anggota DPRD NTT yang perempuan lumayan banyak, tapi generasi lebih tua. Para anggota dewan menyambut hangat kehadiran Maria Noach karena dari generasi muda, akademisi dan perempuan pula.
Penelitian disertasi doktor Maria Noach tentang perkembangan gender dan perubahan masyarakat, dilakukan di Rote Ndo beberapa tahun lalu. Ia mencatat temuan menarik. Ternyata, sistem pembagian tugas antara laki–laki dan perempuan di Rote Ndao, sangat jelas.
Perempuan menyelesaikan pekerjaan dalam rumah dan laki–laki menangani pekerjaan luar rumah. Tapi kalau barang–barang yang diusahakan laki–laki masuk ke dalam rumah, itu sudah menjadi kuasa perempuan. Ia melihat, perempuan di kalangan orang Rote memiliki kesempatan untuk berkembang. Tapi sekarang sudah mulai sulit untuk perempuan maju.
Ketika bergabung dengan Golkar, 1970-an, Maria Noach menyaksikan partai ini memiliki peran penting selama kepemimpinan Presiden Soeharto. Kekuatan Golkar dimungkinkan, karena kontrol sangat ketat dari pusat ke daerah.
Golkar dianggap partai pemerintah. Jadi, semua orang yag masuk menuntut untuk memiliki peran penting. Khusus di NTT, kaum perempuan saat itu memiliki peran menonjol karena didukung oleh Ibu Nafsiah Mboi, istri Ben Mboi, Gubernur NTT.
Maria Noach mengisahkan, saat itu semua istri kepala dinas diberikan pelatihan terus menerus untuk menjadi pemimpin dalam organisasinya sendiri. Tidak ada satu kepala dinas pun yang istrinya tidak aktif.
Organisasi perempuan terus hidup dan maju karena peranan istri–istri pejabat didukung oleh istri pimpinan saat itu. Kiprah perempuan sampai terwujud antara lain dibangunnya gedung wanita yang kemudian diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto.
Merosot
Kata Maria Noach, peran perempuan dewasa ini semakin merosot. Kondisi itu dimungkinkan karena istri–istri gubernur yang kemudian tidak lagi memperhatikan peranan perempuan, kecuali Ny Hendrik Fernandes. Apalagi yang terakhir– terakhir ini sama sekali tidak memperhatikan perempuan. Mungkin bagi mereka kemajuan perempuan tidak ada artinya.
Karena itu Maria Noach menegaskan, perempuan di suatu daerah maju kalau istri–istri pimpinan daerah juga maju.
Ketika bersama Nafsiah Mboi, diakui perempuan NTT sangat berperan karena diberi kesempatan untuk memimpin di organisasinya, juga selalu memberikan pelatihan – pelatihan.
Pergaulan satu dengan yang lain pun sangat baik. Kalau ada ibu–ibu yang belum bisa memimpin organisasi tapi suaminya adalah pejabat, maka akan dibimbing dan diberikan pelatihan kepemimpinan.
Karena itu dia menegaskan, pemimpin yang baik wajib diikuti kebaikannnya, tapi kalau buruk tidak harus diikuti. Sebalikya jika ingin memilih pemimpin, haruslah memperhatikan apakah orang tersebut bisa memimpin dengan baik atau tidak. Contohnya Ben Mboi, istrinya memiliki peran yang sangat penting. Ben Mboi bisa maju karena istrinya adalah seorang yang luar biasa.
Konon anggota DPRD perempuan dari peridoe ke periode di NTT di eranya, ditentukan langsung oleh Ibu Nafsiah Mboi dengan memperhatikan kemampuan masing–masing kader.
Dewasa ini kader terpilih tanpa pembinaan apa pun. Mereka melangkah maju tanpa persiapan matang. “Saya ingin sekali mengundang anggota–anggota DPRD perempuan untuk berkumpul, tapi tidak pernah bisa. Karena menurut mereka, hak mereka untuk hadir atau tidak. Itulah demokrasi Indonesia,” jelas Maria Noach.
Ia mencatat, pendidikan di NTT memang masih tertinggal. Setidaknya 70 persen masyarakat daerah ini berpendidikan di bawah rata- rata (tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP). Sebanyak 30 persen lainnya mengenyam pendidikan SMA sampai perguruan tinggi. Tentu saja yang 30 persen tidak bisa mengendalikan yang 70 persen.
Ada semangat mendorong pendidikan maju, tapi kesejahteraan guru tidak terjamin. Padahal pendidikan adalah kunci dari segala sesuatu.
“Bayangkan saja ada guru dengan gaji hanya Rp 250.000 per bulan. Apa yang mau mereka siapkan dengan gaji seperti itu? Untuk biaya hidup saja sangat tidak cukup,” sorotnya.
Kondisi itu mendorong Maria Noach berniat mengorganisasi sesama perempuan berpotensi untuk ditawarkan ke partai politik sebagai anggota dewan maupun kepala daerah.
Ia mengakui, dirinya tidak memperjuangkan partai apapun, tapi memperjuangkan perempuan. Perempuan sekarang sudah sangat siap. Mereka rata rata berpendidikan. Perlu dorongan karena mereka masih malu–malu.
Tugas perempuan adalah memperindah politik. Sekarang ini belum ada tokoh perempuan yang berkemapuan khusus mendorong sesamanya untuk bangkit, termasuk berpolitik.
Maria berharap, Golkar NTT membangun sebuah lembaga khusus menaungi dan memotivasi perempuan. “Kalau ingin memajukan perempuan, partai politik harus kuat mendorong. Adakan pelatihan–pelatihan politik untuk perempuan. Dipersiapkan dengan baik agar mereka tahu bahwa ada orang atau lembaga yang mengamati dan mendorong mereka. Saatnya Golkar perjuangkan nasib kaum perempuan,” tandasnya.
Penulis: Sukma Nulik (Wakil Sekretaris Tim Buku “Jejak Golkar NTT”)