*)Cerpen Yohanes Mau
Padang sabana nan hijau permai, terbentang luas mengitari wilayah perbukitan di perbatasan Timor Lorosae.
Panorama alamnya indah mempesona, menghipnotis setiap mata yang memandangnya. Angin sepoi-sepoi basah dari lereng-lereng bukit menyapa dan memberi kesejukan tersendiri di akhir musim basah.
Para petualang akan mengalami surga bila sampai di perkampungan ini.
Nama kampung itu Weluli. Weluli adalah sebuah kampung kecil di Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu. Weluli, kampung kecil yang jauh dari ibu kota negara ini jarang hadir di ruang publik. Secara etimologis, nama “ Weluli” perpaduan dari dua kata bahasa tetun: We: air dan luli: pemali, air pemali yang tidak diambil sesuka hati.
Secara administratif Weluli merupakan ibu kota Kecamatan Lamaknen salah satu wilayah kabupaten Belu yang letaknya paling utara dari Kota Atambua. Kala itu angka di kalender menunjukkan Juni 1999. Suasananya tampak ramai namun dibalut luka akibat masalah komplikasi Timor Timur. Weluli menjadi tong sampah yang menampung para korban akibat konflik di Timor Lorosae sebagai wilayah tetangga yang warganya masih memiliki pertalian keluarga, hubungan basodara (bersaudara).
Tahun 1999 Timor-timur secara resmi memisahkan diri dari rangkulan ibu pertiwi Indonesia. Terjadi konflik antara pro Indonesia dan otonom RDTL (Republik Democratia Timor Leste). Korban berjatuhan, ada suara isak, tangis dalam pekatnya malam hingga jelang subuh.
Para pengungsi meratapi tragedi memilukan yang menelan banyak korban dan harta, harta termahal adalah nyawa manusia. Mereka mati bagaikan binatang jalanan yang tak memiliki kawanannya.
Saat itu aku tengah belajar, aku mendengar ratap dan tangis itu di sekitar halaman rumahku. Setelah aku membuka pintu terlihat wajah-wajah kusam, sedih, dan tak berdaya yang sedang meratapi kemalangannya di dalam kemah-kemah yang dibangun oleh pasukan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) UNAMET.
Aku disuruh oleh Ibu untuk menjual kue pisang goreng di sekitar kemah pengungsian itu.
Dari gang yang satu ke gang yang lain aku masuk. Di sana kutemukan wajah-wajah sedih sedang meratapi nasib malang yang sedang menimpa. Tawaran datang, kue pisang harganya berapa? Tawaran itu datang, mulut ini tak mampu untuk menjawabnya.
Aku hanya diam, dan dalam diam aku pun turut menangis sembari bertanya dalam hati: Mengapa aku harus jual kue pisang ini? Kalau Mama punya rasa empati terhadap mereka ini sebaiknya tidak perlu pake jual segala. Biarlah saya membagikannya secara gratis. Sebuah solusi yang muncul dalam hati kecilku.
Hari hampir siang, di pundakku masih terjunjung keranjang berisi kue pisang. Beberapa anak pengungsi yang berpapasan di jalan mengulurkan tangan mengemis: beri kami kue, kami lapar.
Tanpa memperhitungkan untung dan rugi aku pun langsung menyuguhkan beberapa potong kue pisang untuk mereka. Tampak cerah pada raut wajah mereka. Walaupun dalam hati luka parah akibat tragedi kelam pergolakan Timor Leste.
Setelah capek mengitari lorong-lorong perkemahan itu aku pun pulang menjumpai Mama yang sedang bergulat dengan asap api di dapur.
Setibanya di rumah Mama tanya, “Kamu jualan di mana saja sampai jam begini baru masuk?”
“Mama, tadi aku berjualan di kemah-kemah hunian pengungsi, di sana saya lihat mereka, dan mereka terlalu sedih. Kue pisang ini tidak habis terjual karena mereka tidak punya uang, mereka juga sedih, dan tadi beberapa potong kue harganya belum dibayar. Mungkin esok baru mereka bayar,” jawabku polos.
Impian Mama mendapat untung banyak tak tercapai. Setiap hari menjual kue pisang selalu saja ada alasan, harganya belum dibayar. Padahal kue pisang hasil olahan Mama itu sebagiannya dibagikan kepada anak-anak pengungsi yang mau menghilangkan rasa laparnya dengan mengemis. Hati ini memang tak tahan akan hal-hal yang bersifat humanis. Aku dan Mama beda. Mama perioritas pada keuntungan sedangkan aku lebih pada belas kasih.
Suara teriakan keras keluar dari dapur penuh asap api, “Kamu ini tidak bisa diandalkan, karena tidak bertanggung jawab dalam suatu tugas. Ingat, ayahmu telah tiada. Apa yang kamu harapkan dari hidup ini kalau kamu tidak menjualnya dengan penuh tanggung jawab?”
Mendengar kata-kata mama ini aku diam seribu bahasa. Aku tak sanggup menangkisnya. Aku pun sadar dan teringat lagi akan tragedi kepergian bapak enam tahun silam. Tragedi kehilangan yang menggoreskan luka dalam. Hati yang tak sudi membiarkan bapak pergi untuk selamanya. Namun ku tak mampu menahannya karena Tuhan lebih mengasihinya dari kasih seorang anak terhadap bapaknya.
Waktu pergi dan berlalu tanpa terasa. Pengalaman itu pun hanyalah tinggal berupa ceceran kisah tersisa yang masih basah dalam memoriku. Namun untuk mempertahankan nafas hidup ini tidak pernah lepas dari apa yang dinamakan dengan pergulatan. Berjuang dan terus berjuang hanya demi mempertahankan nafas yang Tuhan titip dalam diriku sebagai makluk hina ini.
Satu-satunya tugas pokok yang tak bisa dielakkan ialah menjual kue pisang dari rumah ke rumah, dari pasar ke pasar, bahkan dari kampung yang satu ke kampung yang lain. Semuanya kujelajahi hanya demi satu ujud agar nafas ini tetap ada dan terpelihara.
Aku pun lebih berhati-hati lagi dalam bekerja. Suatu hari kupinta pada Mama, “Mama e kalau bisa biarkanlah aku pelihara beberapa ekor sapi warisan bapak ini, supaya kelak aku bisa ada modal. Aku juga bisa bantu Mama olah lahan-lahan sisa titipan Bapa ini dengan sebaik mungkin supaya kita dapat hasil yang maksimal. Mama, tenanglah, aku tak mungkin mengecewakanmu untuk yang kedua kalinya. Yakinlah Mama. Aku sayang Mama.”
Rangkulan Mama yang begitu erat memberi kehangatan dan kekuatan untuk bermimpi tentang hari esok yang masih panjang.
“Mama restu, tapi ingat pesan Mama e, kamu juga harus sekolah ya nak. Kamu harus bisa. Mama belum sudi kamu untuk kerja yang keras-keras. Kamu sekolah dan urus masa depanmu baik-baik e anak!”
Dan sepertinya Mama sangat mengharapkan anaknya jadi sukses dalam hidup dan karya selanjutnya.
Kisah ini pun terus terajut dalam waktu yang masih tercecer, berlalu meninggalkan hari, minggu, bulan dan tahun.***
*Penulis adalah warga Belu Utara, tinggal di Ende