Ruteng, Vox NTT- Akhir-akhir ini, Edi Danggur cukup vokal dengan argumentasi ilmu hukumnya di balik proses penyerahan hibah tanah milik Pemkab Manggarai ke PT Pertamina (Persero).
Pengacara asal Manggarai Barat yang berdomisili di Jakarta itu kembali menyoroti kebijakan Bupati Manggarai, Deno Kamelus di balik penyerahan hibah tanah seluas 24.640 meter persegi yang berlokasi di Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok.
Kali ini, Edi Danggur mengeritik pernyataan Deno yang menyebut, penyerahan hibah tanah ke PT Pertamina hanya ingin melanjutkan apa yang telah dilakukan Bupati Frans Dula Burhan tahun 1979.
Sebelumnya, Bupati Deno menegaskan, tanah di Reo tersebut memang sengaja dibeli dari masyarakat zaman Bupati Frans Dula Burhan untuk kepentingan pembangunan Depot BBM Pertamina.
Alasan lain dari Deno yakni, menjalankan perintah Surat Menteri Dalam Negeri RI No.Btu.8/171/8-79 tanggal 13 Agustus 1979. Mendagri meminta Gubernur dan seluruh Bupati se-NTT dan kawasan Indonesia Timur untuk menyiapkan lahan agar membangun Depot BBM. Lahan disiapkan dalam rangka meningkatkan pelayanan BBM untuk wilayah-wilayah terpencil.
Baca Juga: Bupati Deno: Tanah di Reo Memang Dibeli untuk Pertamina
Menanggapi hal itu, Edi Danggur menyatakan, semua argumentasi lisan Bupati Deno di media massa dan surat-surat yang ditulis, serta ditandatanganinya dapat dipakai untuk mengkritisi kebijakan hibah yang kontroversial ini.
Ia menjelaskan, pertama, validitas pernyataan Bupati Deno sangat diragukan karena menyebut Bupati Frans Dula Burhan membeli tanah di Reo tersebut pada tahun 1979.
“Sebab berdasarkan Surat Keterangan Lurah Wangkung Fransiskus X Syukur SH tanggal 24 Februari 2018 No.EK.590/104/II/2018 dan juga dalam Surat Bupati Deno kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai tanggal 22 Maret 2018, tanah di Reo itu dibeli oleh Pemda Manggarai melalui prosedur pelepasan hak terjadi pada tanggal 22 Maret 1982 dan setahun kemudian, tepatnya tanggal 21 Mei 1983 diukur oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai dalam rangka penerbitan sertifikat Hak Pakai (HP) No. 3 Tahun 1987,” beber Edi Danggur dalam rilisnya yang diterima VoxNtt.com, Minggu (13/1/2019).
Baca Juga: Hibah Tanah Reo, Pendapat Hukum Tak Mengikat
Kedua, lanjut Edi Danggur, Surat Menteri Dalam Negeri RI No.Btu.8/171/8-79 tanggal 13 Agustus 1979 itu bersifat umum yaitu perihal pembangunan depot-depot BBM di Indonesia Timur.
Artinya, surat itu berisi kebijakan umum agar bupati-bupati menyiapkan lahan untuk depot Pertamina.
Ia menilai, tidak berisi perintah khusus kepada Bupati Manggarai Frans Dula Burhan saat itu agar membeli tanah dari rakyat Manggarai untuk kemudian harus dihibahkan kepada PT Pertamina (Persero).
“Dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Sabtu (12/1/2019), pun Bupati Deno mengakui ada perintah dari Mendagri saat itu kepada para bupati untuk menyiapkan lahan. Sekali lagi, bukan perintah untuk hibahkan asset tanah Pemda Manggarai kepada Pertamina. Tetapi menyiapkan lahan, yang memang sudah dilakukan dan sudah pula disewakan kepada Pertamina,” tegas Edi Danggur.
Ketiga, kata dia, sejak dibeli dari masyarakat pada tanggal 22 Maret 1982 oleh Pemda Manggarai, tanah itu terdata dalam daftar asset Pemda Manggarai. Sampai dengan tanggal 22 Maret 2018 pun, Bupati Deno belum ada keinginan untuk menghibahkan tanah di Reo itu kepada PT Pertamina.
Buktinya, pada tanggal 22 Maret 2018, Bupati Deno mengirim surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai agar tanah bersertifikat Hak Pakai No.3 diubah menjadi Hak Pengelolaan (HPL) atas nama Pemda Manggarai.
Bukti lain yakni, melalui Surat Keterangan Rencana Penggunaan Tanah Jangka Panjang atas Tanah Depot Pertamina di Reo No.Pem-130/63/III/2018 tanggal 28 Maret 2018.
Di situ, Bupati Deno menegaskan tujuan perubahan sertifikat HP menjadi sertifikat HPL yaitu agar di atas tanah HPL itu dapat dibebankan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Pertamina (Persero).
“Ini praktik hukum yang lumrah bahwa korporasi dalam hal ini PT Pertamina dengan sertifikat HGB di atas HPL boleh mendirikan bangunan-bangunan depot selama jangka waktu 30 tahun,” ujar Edi Danggur.
Berikutnya, dalam Surat Rekomendasi No.Pem-130/73/IV/2018 tanggal 11 April 2018, Bupati Deno tetap hanya merekomendasikan penggunaan tanah oleh PT Pertamina (Persero) untuk jangka panjang, sama seperti yang sudah terjadi selama ini.
Dalam surat itu malahan Bupati Deno menyatakan bahwa tanah di Reo itu sudah disewakan kepada PT Pertamina sejak 1976.
“Sekedar catatan, soal tahun 1976 masih bisa diperdebatkan lagi atas dasar apa Pemda Manggarai sewakan tanah itu kepada PT Pertamina, sebab Pemda Manggarai baru membeli tanah itu dari masyarakat pada tahun 1982. Tetapi itu isu hukum lain, tidak berhubungan langsung dengan hibah,” katanya.
Menurut dia, masih ada beberapa surat lain yang menunjukkan bahwa Bupati Deno Kamelus sejak awal memang hanya punya konsep sewa jangka panjang atas tanah di Reo itu.
Dalam konsep sewa jangka panjang, hak atas tanah tetap ada pada Pemda Manggarai. Sedangkan setiap bulan atau setiap tahun Pemda Manggarai dapat uang sewa yang besarnya sesuai kesepakatan.
“Menurut saya, bupati-bupati sebelumnya bermain aman secara hukum, bersikap adil terhadap rakyat, dengan meneruskan konsep sewa jangka panjang itu. Tidak ada intensi dari bupati-bupati itu untuk menghibahkannya kepada PT Pertamina. Setidaknya intensi yang sama ada pada Bupati Deno sampai dengan bulan Maret 2018,” tandas Edi Danggur.
“Mengapa sesudahnya Bupati Deno berubah pikiran untuk menghibahkan tanah seluas 24.640 M2 dan meninggalkan konsep sewa jangka panjang? Kalau masalah hibah ini dibawa ke KPK, hanya penyidik di KPK yang bisa menggali motif atau intensi Bupati Deno dan menilai apakah Bupati Deno dengan menghibahkan tanah rakyat di Reo itu mempunyai niat atau intensi untuk memperkaya diri, orang lain maupun korporasi,” sambungnya.
Sebagai praktisi hukum, tegas Edi, tidak boleh membuat penilaian atas niat atau intensi yang ada dalam benak atau pikiran Bupati Deno.
Tetapi sebaliknya para pengeritik Bupati Deno juga hanya membatasi diri untuk memberi penilaian atas apa yang terucap dari mulut orang nomor satu di Kabupaten Manggarai itu. Selain itu, atas apa yang tertulis di atas kertas-kertas yang ditandatangani Bupati Deno.
Keempat, ujar dia, Bupati Deno di bagian lain rilisnya menyatakan: “Sejak 1979 sampai dengan beberapa waktu yang lalu, itu tidak ada penyelesaian hukum atau penyelesaian administrasi terkait penyerahan tanah”.
Menurut Edi, letak soalnya di sini, perintah menyiapkan lahan ditafsirkan oleh Bupati Deno dengan perintah menghibahkan lahan Pemda Manggarai kepada PT Pertamina.
“Apakah tafsiran Bupati Deno ini benar atau tidak, biarkan aparat penegak hukum yang kompeten untuk memberikan penafsiran yang lebih tepat,” tukas Edi.
Ia menambahkan, perintah menyiapkan lahan itu, berarti lahan tetap menjadi milik Pemda Manggarai dan hanya disewakan kepada Pertamina. Tafsiran ini didasarkan pada fakta berikut:
Pertama, sejak dibeli dari masyarakat oleh Pemda Manggarai pada tahun 1982, tanah itu tercatat sebagai asset Pemda Manggarai dan tidak didaftar sebagai asset Pertamina.
Kedua, tanah itu sudah disewa oleh Pertamina dari Pemda Manggarai selama lebih dari 40 tahun. Itu adalah fakta adanya pengakuan Pertamina bahwa tanah di Reo itu memang senyatanya milik Pemda Manggarai.
Ketiga, kalau memang tanah itu sejak awal dibeli untuk dihibahkan kepada Pertamina, maka tentu akan dicatat sebagai asset pada buku daftar asset Pertamina.
“Dan kalau asset tanah itu terdaftar sebagai asset Pertamina, untuk apalagi Pertamina ajukan surat tanggal 8 Oktober 2018 kepada Bupati Manggarai agar tanah di Reo itu dihibahkan kepada Pertamina,” katanya.
Keempat, tukas Edi, kalau benar Pertamina senyatanya sudah memiliki tanah itu berdasarkan perintah Mendagri, maka pastilah Pertamina melarang petugas ukur dari BPN Kabupaten Manggarai untuk mengukur tanah itu pada tahun 1983, dalam rangka penerbitan sertifikat Hak Pakai atas nama Pemda Manggarai.
Begitu juga saat diukur ulang pada tanggal 7 Februari 2018 atau pada tanggal 10 Februari 2018, ketika anggota tim peneliti tanah dari Kantor BPN Kabupaten Manggarai melakukan pemeriksaan lapangan.
Kelima, dalam Surat Pernyataan tanggal 24 Februari 2018, Bupati Manggarai Deno Kamelus menyatakan, tanah di Reo seluas 24.640 M2 dikuasai secara terus-menerus oleh Pemda Manggarai, tidak dalam sengketa tidak pernah dialihkan, tidak pernah diperjualbelikan.
Keenam, sampai dengan saat ini Sertifikat Hak Pakai No.3 Tahun 1987 masih tertulis atas nama Pemda Manggarai dan bukan atas nama PT Pertamina (Persero).
“Kalau memang sejak awal atas perintah surat Mendagri itu PT Pertamina mempunyai hak atas tanah tersebut, maka sejak tahun 1987 PT Pertamina minta membaliknama sertifikat atas nama PT Pertamina”
“Tentu Bupati Deno yang sudah lebih dari 14 tahun duduk di kursi nomor 2 dan 1 di Pemda Manggarai pasti ikut membereskan balik nama tersebut. Jika Bupati Deno menganggap bupati-bupati sebelumnya tidak pernah bisa bereskan masalah ini, maka pertanyaannya, mengapa Bupati Deno butuh waktu lebih dari 14 tahun hanya untuk balik nama sertifikat dari Pemda Manggarai menjadi atas nama Pertamina?” tanya Edi Danggur.
Kelima, Bupati Deno menegaskan telah menempuh semua prosedur hukum untuk hibah ini.
Kata Edi, semua tahapan pekerjaan memang ada prosedur dan SOP-nya. Tetapi ada pertanyaan yang lebih besar di balik prosedur itu yakni, apa manfaatnya hibah itu bagi rakyat Manggarai yang miskin? Mengapa harus mengorbankan tanah seluas 24.640 M2 untuk diberikan secara cma-cuma atau gratis melalui proses hibah kepada korporasi superkaya PT Pertamina?
Lalu, Apakah Bupati Deno dan DPRD Manggarai sudah bersikap adil terhadap rakyat, mengingat akibat hibah ini untuk selamanya rakyat Manggarai kehilangan lahan seluas 24.640 M2?
Keenam, lanjut Edi, masyarakat perlu memberi apresiasi kepada Bupati Deno karena sudah berkali-kali menegaskan di hadapan wartawan bahwa ia tidak menerima uang suap sesen pun dari proses hibah ini.
Bahkan, Bupati Deno menantang untuk mempersilakan penegak hukum memeriksa, apakah dirinya terlibat suap atau tidak.
“Itu artinya Bupati Deno masih taat pada sumpah jabatannya untuk tidak memperdagangkan pengaruh dan jabatan bupati demi uang. Salut!” ujar Edi.
Namun demikian, menurut Edi ingatan Bupati Deno perlu disegarkan kembali. Itu terutama bahwa tindak pidana korupsi bukan semata-mata hanya soal apakah bupati terima uang suap atau tidak.
Tetapi semua tindakan, keputusan atau kebijakan bupati yang memperkaya orang lain atau korporasi dan merugikan keuangan atau asset daerah, dapat menjadi alasan seorang bupati terjerat korupsi dan didudukkan sebagai terdakwa di depan Pengadilan Tipikor.
Penulis: Ardy Abba