*) Cerpen Gode Afridus Bombang
Tahun ini, tepatnya enam bulan dari sekarang, suamiku akan berulang tahun yang ke-60.
Ulta yang akan sangat bermakna bagiku, juga bagi keluarga besar suamiku. Sangat bermakna karena dia adalah sosok suami yang selalu setia mendampingiku dalam untung dan malang, baik dalam sehat maupun sakit seperti janji perkawinan kami dulu.
Juga sangat bermakna besar bagi keluarga besar suamiku, karena di hari ultanya itu, nanti Edo putra tunggalnya akan dinobatkan sebagai Tua Golo (kepala kampung) menggantikan ayahnya tersebut yang semakin menua.
Sesungguhnya niat menobatkan Edo sebagai Tua Golo sudah disuarakan suamiku sejak lima tahun lalu. Namun baru enam bulan lalu, waktu ultanya yang ke-59, suami dan keluarga besar sesuku secara terang-terangan memutuskan Edo harus segera dinobatkan sebagai Tua Golo baru.
Namun niat itu gagal terlaksana karena sebagai satu-satunya kandidat ternyata Edo belum memenuhi semua persyaratan untuk dinobatkan.
Satu-satunya yang belum terpenuhi adalah harus sudah berkeluarga (sudah beristri). Sampai saat ini Edo memang masih bujang, walaupun bujang lapuk.
Sebetulnya sih gampang, karena Edo tidak memenuhi persyaratan, tinggal cari penggantinya. Namun, ternyata tidak semudah itu, bahkan memang tidak bisa begitu.
Jabatan Tua Golo merupakan jabatan turun-temurun, hanya bisa diwariskan kepada yang berhak. Saat ini Edo adalah satu-satunya pewaris sah jabatan tersebut.
Itu berarti, siap atau tidak siap, suka atau tidak suka pada saatnya Edo harus mau dan siap menjadi Tua Golo baru menggantikan ayahnya.
Mungkin karena alasan itu, maka ketika Edo belum memenuhi semua persyaratan, ayah dan keluarga besar pun iklas menunda penobatan sampai Edo memenuhi semua persyaratan.
Waktu disepakati. Edo diberi deadline selama satu tahun. Selama setahun itu, dia harus bisa memenuhi semua persyaratan termasuk harus beristri, sehingga pada hari ulta ayahnya yang ke-60 sudah siap dinobatkan.
Awalnya saya menduga Edo akan menolak ultimatum dari ayah dan keluarga tersebut, ternyata tidak. Edo menerimanya tanpa protes, bahkan secara tegas menyatakan kesiapannya untuk memenuhi semua persyaratan yang diminta dalam rentang waktu yang diberikan.
Ayah dan keluarga sangat gembira dengan jawaban Edo. Mereka percaya Edo akan memenuhinya dan mereka siap menunggu.
Dalam satu tahun ini Edo harus sudah beristri. Waktu setahun yang diberikan akan dibagi dua termin.
Enam bulan pertama, waktu sepenuhnya bagi Edo. Dia berhak mencari dan memilih calon istri yang diidealkannya. Siapapun perempuan yang Edo bawa ke rumah dan tidak ada halangan secara aturan agama dan adat, wajib hukumnya bagi keluarga untuk menerima dan merestuinya.
Keluarga juga berkewajiban untuk memproses dan mengurus pernikahannya baik secara agama maupun adat.
Namun, jika selama enam bulan itu Edo belum berhasil mendapatkan jodoh yang siap dinikahinya, maka waktu yang tersisa menjadi tanggung jawab ibu.
Aku sempat kaget, tetapi sebagai ibunya aku menerima dan siap mengemban tanggung jawab itu. Namun biar pencarianku nanti tidak sia-sia, aku juga mengajukan persyaratan.
Pertama, Edo dan segenap keluarga harus mau dan siap menerima siapa pun perempuan pilihanku. Apa yang terbaik menurutku, harus diterima sebagai yang terbaik menurut semua.
Kedua, Edo harus mau dan siap menikahi siapapun perempuan yang kupilih, dan keluarga harus siap mengurus pernikahan itu.
Semula kupikir keluarga besar dan terutama Edo akan menolak prasyarat yang diajukan, ternyata lagi-lagi tidak.
Mereka semua termasuk Edo sama sekali tidak berkeberatan. Sikap Edo yang demikian sangat mengejutkan. Sebagai ibunya, aku tahu itu bukan watak dan kepribadian Edo. Edo tidak suka diintervensi, paling tidak suka kalau diatur-atur seperti bocah. Mengapa sekarang dia tidak menolak? Mengapa dia berubah seperti ini? Entahlah…
* * *
Waktu enam bulan yang diberikan ayah dan keluarga besar buat Edo mencari jodoh gagal dimanfaatkan Edo dengan baik. Waktu tersebut berlalu begitu saja, Edo belum juga menemukan jodohnya. Dia tetap sendiri.
Mengingat enam bulan pertama tanpa hasil, sekarang giliranku yang akan mencarikan jodoh buat dia. Jujur ini bukan tugas ringan. Apa lagi kalau melihat sikap dan perilaku Edo enam bulan terakhir, aku bingung siapa yang diinginkannya.
Walaupun aku sangat mengenal kepribadiannya, namun Edo yang sekarang bukan seperti Edo yang kukenal selama ini. Dia bagaikan makhluk asing bagiku.
Sesungguhnya enam bulan ini Edo cukup gigih mendekati satu per satu Molas (gadis) Manggarai, tentunya dia ingin salah satu dari mereka jadi istrinya. Cuma herannya, setiap ada Molas yang didekatinya yang memperlihatkan sinyal menerima cintanya, Edo justru akan menjauhinya.
Kalau begitu terus, sampai kiamat pun jodoh tidak mungkin digapai. Ini jelas bukan Edo banget. Setahuku, dulu semasa SMA dia sosok yang suka gonta ganti pacar bak ganti baju. Tidak heran teman-teman mainnya menjuluki dia playboy gayung, cedok sana cedok sini.
Satu fakta yang kutangkap, perubahan pada Edo dari pribadi yang hangat menjadi gunung es, terjadi sejak dia pulang kampung setamat kuliahnya di Yogyakarta. Pribadi yang dulu ramah dan ceria, kini menjadi pribadi yang dingin dan cuek.
Lihat aja sekarang, jangankan merayu perempuan, menegur dan menyapa pun jarang.
Didorong oleh rasa penasaran sekaligus prihatin, sebagai ibu, aku mencoba menelusuri masa lalunya selama di Yogyakarta.
Dari teman-teman dia selama di Yogyakarta aku mendapat banyak hal. Sungguh tidak pernah kuduga ternyata akulah penyebab Edo menjadi dingin dan sinis terhadap perempuan. Koq bisa? Iya, nanti juga tahu.
Dari teman-temannya aku tahu kalau selama di Yogyakarta, putraku pernah menjalin cinta dengan mahasiswi asal Jawa kelahiran Semarang. Sri Rahayu Wahyuningwidhi namanya.
Konon, menurut info yang kudapat Edo sangat mencintai nona Jawa tersebut, begitu pun sebaliknya. Bahkan, masih dari info yang sama cinta mereka terkesan tidak terpisahkan.
Kedatangan Flora, yang sengaja kukirim ke Jogja jadi pacarnya, tidak berhasil menggoyahkan cinta mereka. Kehadiran Flora tidak berhasil membuat Edo berpaling.
Menurut Flora hal itu karena Sri Rahayu sangat sempurna sebagai perempuan, sehingga layak dicintai. Penampilannya, kepribadiannya, caranya bertutur, bersikap dan berperilaku terlalu anggun dan sempurna. Tidak heran Edo sangat mencintainya dan susah move on ketika Rahayu meninggalkan dia.
Kalau keduanya saling mencinta, ingin sehidup semati, mengapa mereka sekarang jalan sendiri sendiri? Inilah yang tidak pernah kuduga, ternyata surat yang kukirimkan untuk Edo, sekali waktu tanpa sengaja dibaca Rahayu.
Waduh, surat yang mana ya? Kayaknya aku belum pernah menulis surat buat Edo yang memvonisnya tidak boleh berpacaran sama Rahayu.
Sebagai ibunya aku memang rutin menulis surat buat Edo minimal sekali sebulan. Tetapi aku belum pernah menyatakan ketidaksetujuanku dengan pilihan Edo. Justru aku selalu menunggu kapan Edo akan melaporkan kalau dia telah menemukan tambatan hatinya.
Setelah kurenung-renungkan baru ingat, memang dalam beberapa suratku aku kadang mengingatkan Edo akan statusnya sebagai putra Tua Golo, yang cepat atau lambat harus siap menggantikan posisi ayahnya.
Untuk itu kuselalu tekankan kepadanya agar memilih sosok istri yang tepat. Jujur kuakui aku lebih suka dia memilih Molas Manggarai, yang tentu lebih tahu adat-istiadat dan pola hidup orang Manggarai. Tujuannya, biar dia tahu bagaimana dia bersikap dan berperilaku sebagai istri dari seorang Tua Golo.
Rupanya permintaan inilah yang dimaknai Rahayu sebagai penolakanku terhadap calon menantu yang bukan orang Manggarai, termasuk dia. Memang iya sih.
Rahayu merasa dia tidak memenuhi persyaratan sebagai calon istri Edo, karenanya dengan kesadaran sendiri memilih mundur.
Edo, menurut info yang kuperoleh, sebetulnya berupaya mempertahankan hubungan mereka bahkan berjanji akan berjuang meyakinkan kami selaku orangtua bahwa Rahayu lah pilihan dia satu-satunya.
Selain karena saling mencinta, juga karena keyakinannya bahwa Rahayu bisa menjadi seperti yang diidealkan keluarga.
Rahayu bersikeras menolak. Dia tidak ingin menjadi sumber masalah antara Edo dengan orangtua. Rahayu tidak ingin Edo menjadi anak durhaka, anak yang tidak berbakti kepada orangtua hanya gara-gara mempertahankan cinta.
Bahkan karena Edo tidak mau putus, Rahayu sengaja menghilang, menjauh dari kehidupan Edo. Rahayu berharap dengan itu Edo akan melupakannya dan mulai membuka hati terhadap perempuan lain.
Sejak kejadian itu, Edo pun tidak tahu kemana Rahayu menghilang sampai kini.
Jujur aku merasa bersalah dan menyesal telah memisahkan Edo dengan Rahayu. Penyesalan itu terasa semakin menyakitkan ketika kutahu ternyata cinta Edo hanya untuknya dan selalu untuknya.
Tapi nasi sudah jadi bubur, mau bagaimana lagi. Toh aku tidak mungkin bisa menghadirkan kembali Rahayu untuk putraku.
Perasaanku sebagai ibu semakin teriris karena Edo sama sekali tidak menyalahkanku atas kepergian Rahayu.
Ketika aku meminta maaf kepadanya , Edo justru membesarkan hatiku.
“Sudahlah Ene (ibu), ini bukan salah Ene sepenuhnya. Apa yang Ene lakukan tentu karena Ene menyayangi saya dan mengharapkan yang terbaik bagi saya, ya kan? Rahayu memang pernah bersumpah akan mencintai saya dan akan selalu menyertai saya dalam segala situasi dan kondisi, sebagaimana janji saya juga kepadanya, tetapi apa demikian? Saya kira tidak. Kalau dia mencintai saya, tentu dia akan bertahan dan memperjuangkannya. Tapi nyatanya dia pergi juga meninggalkan saya, jadi dia tidak beda dengan yang lain, dia sama saja seperti yang lain, tidak pantas untuk disesalkan,” suara Edo tegas.
“Tidak usah Ene pikirkan dia lagi, dia sudah masa lalu. Sekarang yang perlu Ene tahu, saya memang bingung kalau disuruh mencari, bingung kalau harus memilih, saya lagi tidak bisa membedakan antara yang baik dengan yang jahat, antara yang ramah dengan yang judes. Tapi percayalah, saya sudah siap menerima siapa pun, iya siapapun perempuan pilihan Ene, saya yakin pilihan Ene tentulah yang terbaik untuk saya. Saya akan menerima dan menikahi siapapun pilihan Ene.” lanjut Edo.
Suaranya bergetar. Aku yakin Edo sangaja mengatakan demikian biar aku tidak didera rasa bersalah yang berlebihan telah memisahkan dia dari perempuan yang dicintainya.
Ah kalau saja aku punya kuasa mengubah waktu, aku ingin kembali ke masa itu, masa anakku masih bertahan dengan cintanya dan aku akan merestui mereka. Atau kalau saja aku tahu alamat Rahayu, aku bersedia mendatanginya, meminta maaf dan kalau mungkin melamarnya buat putraku. Toh Jawa sekarang bisa didatangi kapan saja. Tetapi ke mana kuharus mencarinya? Dimana bisa kutemui perempuan yang telah membawa pergi cinta putraku? Aku sama sekali tidak punya bayangan.
* * *
Hari ini kudatangi Flora di rumahnya. Aku ingin curhatkan semua masalahku padanya. Aku tahu Flora adalah salah satu perempuan yang masih peduli sama Edo, peduli sama aku dan tentu mau mendengar curhatanku.
Entah mengapa aku ingin Flora tahu betapa aku menyesal pernah memisahkan anakku dari cintanya. Siapa tahu ibu guru satu itu punya jalan keluar.
Kalaupun aku gagal menghadirkan kembali Rahayu bagi putraku, aku sangat berharap Flora bisa menggantikan posisi Rahayu di hati anakku. Dia salah satu yang bisa memahami Edo, toh dia dulu pernah berupaya menggapai hati putraku, walaupun berakhir dengan menyerah kalah.
Ketika hal itu kukatakan pada Flora, aku kaget dengan reaksinya yang tidak terduga.
“Inang (tanta), kalau saja dulu aku tidak pernah ke Jogja dan menjadi saksi bagaimana teguhnya cinta Nana Edo dan Kak Rahayu, tawaran Inang agar aku bersedia menjadi istri Nana Edo pasti kuterima tanpa pikir panjang, toh Inang tahu aku pernah berusaha menggapai cintanya dengan restu Inang pula. Tapi aku gagal kan Inang? Aku dulu pernah begitu bersemangat untuk mendapatkannya, karena aku yakin pasti bisa karena aku direstui Inang, tapi begitu aku melihat bagaimana jalinan cinta mereka, aku rasa tidak ada satu kekuatan yang akan bisa memisahkan mereka. Oleh karena itu aku bukan hanya menyerah kalah tapi justru sangat berharap keduanya bisa bersatu,” ungkap Flora penuh kepastian.
“Sekarang Rahayu sudah tidak ada, sementara Edo harus segera beristri. Inang yang akan mencari, dan siapapun yang Inang rekomendasikan, Edo tidak akan menolak. Kamu bersediakan menikah dengan Edo?” aku memohon.
Bersambung…
BACA SAMBUNGANNYA