Oleh: Tedy Ndarung
Mahasiswa STFK Ledalero
Setiap pejabat yang melakukan kunjungan ke desa-desa di NTT umumnya disambut dengan gembira.
Di Manggarai misalnya, salah satu ekspresi kegembiraan itu terpantul dalam upacara penyambutan yang lazim disebut “tuak reis”. Makna upacara ini yaitu menyapa dan sebagai bentuk penghormatan dari rakyat terhadap pemimpinnya.
Upacara tuak reis ini sudah mendarah daging dalam budaya Manggarai. Tuak sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat untuk saling menghormati satu sama lain.
Namun, pemerintah yang disambut dalam upacara tuak reis itu tidak pernah melakukan refleksi yang mendalam akan pentingnya tuak.
BACA JUGA: Polres Belu Musnahkan 1.585 Liter Miras
Hal ini terbukti dari beberapa kejadian pemusnahan dan penyitaan sopi di berbagai tempat di NTT. Dalam kasus ini, pemerintah sebenarnya gagal mengatur regulasi yang melindungi tuak lokal.
Para pedagang Sopi dan Polisi pun seperti saling beradu strategi. Para pedagang sopi harus lihai dan penuh hati-hati dalam melakukan perdagangannya demi menyambung nyawa keluarga.
Begitupun Polisi harus lebih taktis menangkap para penjual sopi dalam menjalankan amanat Undang-undang. Keduanya seperti sedang bermain petak umpet.
Tetapi dalam permainan petak umpet model ini penjual Sopi selalu menjadi korban. Dan pemerintah tidak lebih hanyalah penonton yang setia menikmati setiap adegannya tanpa berpikir dan bertanya, “Mengapa penjual sopi yang berulang kali ditangkap tetap saja menjual sopi?
Dua bulan setelah Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat menyampaikan rencanannya untuk melegalkan miras, penyitaan Sopi terjadi lagi di Kabupaten Manggarai Barat.
Sebanyak 5.000 liter Sopi berhasil disita oleh Polres Mabar (ViktoryNews.id, 5 Februari 2019). Pemusnahan sopi sebanyak 1.785 liter juga terjadi di Kantor Polsek Kuwus yang disaksikan oleh tiga camat, yaitu Camat Kuwus, Camat Kuwus Barat dan Camat Ndoso.
Kapolsek Kuwus menyampaikan alasan yang tidak logis terkait pemusnahan sopi. Beliau mengatakan bahwa kegiatan pemusnahan itu merupakan Oprasi Cipta Kondisi tahun 2019 dalam rangka antisipasi gangguan keamanan di lingkungan masyarakat, serta kejahatan lain yang meresahkan masyarakat menjelang Pemilu April 2019 (VoxNtt.com, 11/02/2019).
BACA JUGA: Polres TTU Musnahkan 750 liter Miras
Pernyataan Kapolsek ini tidak logis karena seolah-olah Sopi adalah sejenis makhluk hidup yang berpotensi merusak keamanan Pemilu. Padahal yang membuat onar bukanlah sopi, tapi manusia yang mengonsumsinya. Karena itu, pemusnahan Sopi adalah tindakan yang tidak tepat sasar.
Intellectual Power Pemimpin
Ketertindasan para penjual Sopi di Manggarai Barat adalah bukti nyata kekalahan pemerintah sebagai pelindung rakyat beserta budayanya.
Ada sebuah perang antara kebutuhan rakyat di Manggarai Barat dan pemerintah setempat. Charles Beraf dalam bukunya yang berjudul “Orang-Orang Kalah” menganalisa perang negara versus rakyat adalah juga bagian dari pertarungan mayoritas melawan minoritas (Charles Beraf, 2012). Negara disebut sebagai mayoritas karena ia adalah pemegang kekuasaan. Sedangkan rakyat berada pada barisan orang-orang kalah yang hanya memilih diam.
Lantas banyak yang bertanya, di mana tugas negara sebagai pelindung rakyat?
Pertanyaan di atas amat sulit di jawab karena kelemahan pemerintah salah satunya ketiadaan Intellectual power.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mabar misalnya menyikapi pemusnahan sopi dengan menjadi pendiam yang baik. Hal ini karena kekuatan intelektual tidak ada. Tetapi rakyat terus terperangkap dalam formalisme. Atau dalam bahasanya sastrawan Ceko, Milan Kundera, terjerat perangkap imagologi.
Imagologi adalah sebuah terminologi untuk membuat sesuatu lebih besar, hebat, spektakuler, tapi sebetulnya keropos. Inilah kesenjangan semu antara yang esensi dan formal, antara isi dan bungkus.
Dewan yang dipercayakan untuk mewakili suara rakyatnya hanya tinggal nama. Filsuf Pencerahan Prancis, Jean Jacgues Rousseau menggagas perlunya demokrasi tanpa wakil yang menjunjung kedaulatan rakyat.
Menurutnya, tidak ada lembaga perwakilan, sebab lembaga perwakilan rakyat akan mengurangi kedaulatan rakyat (Ibid). Ungkapan Rousseau ini merupakan bentuk kekecewaan terhadap kinerja dewan perwakilan yang tidak melayani rakyat. Kekecewaan yang sama pula terjadi di Mabar hari ini di mana DPRD bertentangan dengan rakyatnya.
Bupati Mabar, Gusti Dula hampir menjalankan 15 tahun dalam mempimpin Manggarai Barat, terhitung sejak beliau menjabat sebagai Wakil Bupati. Tetapi masalah kearifan lokal khususnya Sopi tidak pernah diperhatikan sama sekali.
Saya berasumsi bahwa kealpaan Bupati Mabar dalam menangani kearifan lokal karena dua hal. Pertama, bisa saja Bupati tidak mengerti betapa pentingnya kearifan lokal dalam hidup masyarakat, tapi asumsi ini dengan sendirinya runtuh karena Bupati Mabar adalah putera asli daerah Manggarai. Jadi, beliau tahu betapa pentingnya Sopi dalam kehidupan orang Manggarai.
Kedua, tidak adanya intellectual power. Ketika seorang Bupati mempunyai kekuatan intelektual yang bagus, maka segala cara akan dipertaruhkan demi kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, dengan kekuatan intelektualnya ia mampu menjabarkan segala persoalan rakyat secara rasional dan solutif.
Viktor Bungtilu Laiskodat adalah sosok pemimpin yang memunyai intelektual power itu, karena dua bulan lalu beliau cukup berani memberikan pernyataan untuk segera melegalkan miras (Sopi atau Moke).
Menurut Gubernur NTT, produksi miras oleh warga harus tetap dijalankan karena itu adalah bagian dari kreativitas warga. Yang dilarang mestinya terkait penggunaan minuman keras, baik itu usia peminum dan juga kelayakan minuman tersebut. Pernyataan Gubernur didukung sepenuhnya oleh Kapolda NTT Irjen Polisi Raja Erizman (Kompas.com, 6 Desember 2018).
Sesuatu yang pasti bahwa penyataan Gubernur adalah angin segar bagi rakyat karena meski sudah sekian tahun NTT berdiri, kearifan lokal, Sopi atau Moke tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Sayangnya, angin segar itu hilang sekejap tatkala berita penyitaan sopi terjadi lagi di Kabupaten Mabar. Setelah kejadian itu, pada hari Kamis, 14 Februari 2019 di Gedung Sasando, Kapolda NTT memberikan keterangan kepada wartawan. Beliau mengatakan pihaknya akan terus menggelar penyitaan tersebut sebelum ada aturan yang menjadi pegangan mereka. Selama Pergub atau Perda belum ada, maka aturan lama tetap dipakai (Pos-Kupang.com, 14/2/2019).
Dari sisi hukum, polisi berada dalam posisi yang benar dan penjual Sopi berada pada posisi salah. Tetapi dilihat dari sisi kemanusiaan, polisi salah dan penjual Sopi benar. Karena tujuan dari penjual Sopi adalah menyambung nyawa keluarganya.
Sedangkan dampak dari penyitaan Sopi oleh aparat keamanaan adalah kemelaratan bagi penjual dan keluarganya. Kemelaratan adalah bentuk pengingkaran secara halus oleh pemerintah terhadap kemanusiaan rakyatnya.
Oleh karena itu, agar kepentingan rakyat mempunyai kekuatan hukum, maka Peraturan Gubernur (Pergub) atau Peraturan Daerah (Perda) tentang pelegalan miras lokal harus segera diselesaikan.
Serikat Penjual Sopi
Pemerintah, sejak Orde Baru, berkepentingan mematok upah buruh serendah mungkin untuk mengambil keuntungan komparatif dalam usaha menarik modal asing. Termasuk dalam paket kebijakan itu adalah larangan buruh membentuk organisasi independen di luar organisasi pekerja bentukan pemerintah seperti SPSI. Dengan hanya satu organisasi pekerja, demikian idenya, maka kaum pekerja akan lebih mudah dikontrol dan dikendalikan.
Akhirnya SPSI memang lebih banyak memperjuangkan kepentingan pemerintah, yakni kondisi buruh yang tenang dan damai dengan gaji yang murah. Dengan disumbatnya hak buruh untuk berorganisasi, mereka tidak bisa melakukan tekanan yang keras kepada pemerintah maupun perusahaan menyangkut upah dan kerja.
Karena itulah selama masa Orde Baru, buruh bersama petani menjadi kaum pinggiran yang tak pernah menikmati kesejahteraan ekonomi karena upah yang mereka terima hanya cukup untuk membiayai tingkat kehidupan minimum.
Namun, pada masa Reformasi, keadaan buruh lebih baik. Organisasi buruh tumbuh subur dengan adanya peraturan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
Peraturan ini yang membuat kaum buruh merasa bahagia karena melalui undan-undang ini, maka kaum buruh akan dengan bebas membentuk sebuah kelompok dan menyampaikan pendapatnya jika ada kebijakan yang merugikan kelompok buruh (Her Suharyanto dan Linda Tangdialla, 2004).
Selain kealpaan pemimpin, faktor lain yang menjadi kesulitan dalam permainan petak umpet antara Polisi dan Penjual sopi yaitu tidak adanya kesadaran rakyat (penjual sopi) untuk membangun sebuah kelompok kecil, katakan saja Serikat Penjual Sopi.
Ada dua alasan Serikat Penjual Sopi ini perlu dibentuk. Pertama, kesatuan identitas penjual sopi adalah sebuah kekuatan besar.
Dengan demikian segala bentuk penindasan, baik itu dari sistem pemerintah ataupun propaganda neoliberalisme mampu disuarakan. Saya menyebut neoliberalisme karena saya berasumsi salah satu alasan mengapa kearifan lokal seperti sopi tidak dilegalkan karena mesranya perselingkuhan neolib dengan pemimpin setempat. Minuman alkohol lainnya, Wine, Vodka, Bir dan lain-lain telah go public dan dipasarkan secara regional dan internasional, tapi sopi tertinggal bahkan dimusnahkan.
BACA JUGA: Sopi Dimusnahkan Red Label Tak Tersentuh, di Mana Konsistensi Gubernur NTT?
Kedua, kesatuan visi dan misi yang demokratis. Dengan adanya serikat yang legal, maka segala bentuk kepentingan individu akan berjalan seiring. Dan kesatuan kepentingan akan terwujud.