Oleh: Paul Randjang
Anggota Kelompok Diskusi Centro John Paul, Tinggal di Ritapiret
Saat ini, ruang publik kita tengah dilanda kekacauan verbal. Itu terlihat dari begitu banyak kosa kata dan diskursus yang menggiring publik menjadi psimistis, marah, takut, sedih, kecewa bahkan frustasi.
Kondisi ini semakin menggelisahkan lantaran setiap orang kelihatan bebas melontarkan kata-kata tanpa memperhitungkan etika, norma dan hukum yang menjadi basis dan rujukan berpolitik.
Alhasil, demokratisasi di tahun politik menjadi serba berkubu, serba saling menghina, dan saling menghakimi seturut pilihan retoris.
Problem ganda
Dalam bentangan tahun politik, pembacaan terhadap kekacauan verbal, merujuk pada dua problem mendasar.
Pertama, ujaran kebencian. Pada tahun politik, hegemoni ujaran kebencian semakin menggelisahkan.
Laporan Direktorat Tipid Siber Bareskrim memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu satu tahun, terungkap sekitar 130 penyebar dan pembuat ujaran kebencian di media sosial (Kompas, 3/2/2019).
Data Satuan Tugas Nusantara Polri juga menambahkan bahwa tren produksi ujaran kebencian meningkat dalam satu tahun terakhir.
Peningkatan ini terungkap dalam 3.884 konten yang diselidiki kepolisian selama 2018, ternyata konten itu diproduksi oleh 649 akun asli, 702 akun semi-anonim, serta 2.533 akun anonim.
Itu berarti, perang kata-kata di tahun politik melibatkan peneror kebencian. Kesakralan politik dinodai dan cita-cita demokratisasi dirintangi logika kebencian.
Kedua, penetrasi hoaks. Hasil riset Mafindo (September 2018) menunjukan, bahwa hoaks sebagian besar diisi dengan konten politik, yang mana pada Juli 2018, berita hoaks dengan konten politik sebesar 46,38%, Agustus 58,42% dan September 68,44% (Kompas, 6/2/2019).
Sementara itu, mendekati pemilu 2019, dominasi hoaks mulai menyasar figur tertentu. Sebut saja 25 bukti yang mengatakan bahwa Jokowi seorang PKI, rezim anti Islam, rezim antek Aseng, presiden boneka, PKI bangkit, dan Jokowi antek China.
Selain itu, ada pula drama kebohongan Ratna Sarumpaet, kasus tujuh kontainer berisi surat suara, serta impor tenaga kerja asing untuk mendukung calon presiden tertentu.
Rentetan kebohongan di atas tentu tak membutuhkan “catatan kaki” untuk mengungkap siapa pelakunya. Ini problem klasik. Dalam urusan politik modus kebohongan ini bertautan erat dengan skenario merebut kekuasaan, sebagaimana Machiavelli katakan bahwa politik adalah sebuah seni untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam kaitan ini, kata dan bahasa menjadi instrumen utama. Bahwa setiap kata dan bahasa yang mungkin salah diucapkan dipolitisasi. Setiap kata dan bahasa yang dilontarkan selalu dicari titik kerentanannya lalu dikemas dalam narasi minus data syarat kebohongan. Di sini aktivitas politik kehilangan makna, sebab orang sibuk memviralkan kebohongan.
Kekuatan kata
Kekacauan verbal memiliki basis pada kekuatan kata. Herakleitos menandaskan “jangan dengarkan aku, dengarlah pada sang kata” (Kaelan, 2009: 67). Dalam paham ini kata sesungguhnya memiliki kuasa. Dan kuasa kata itu terletak pada apa yang disebut Wittegesten sebagai language games (permainan bahasa).
Permainan bahasa ini kemudian mengekstrapolasi isu, pikiran, gagasan, dan ideologi yang ada dalam diri calon atau partai tertentu. Karena itu, lahirlah pemahaman language game is politik games, permainan bahasa adalah permainan politik (Peter Tan, 2018: 119).
Dalam ruang publik politis, permainan kata-kata, bahasa dan retorika kerap dimanipulasi sebagai sarana untuk berbohong (sign that lie). Di sini realitas komunikasi menciptakan kondisi kemustahilan interpretasi karena apa yang ditampilkan sebagai sebuah kebenaran tidak lebih dari sebuah kebohongan.
Lihat saja logika dromologi kebohongan yang terungkap dalam teknik propaganda ‘firehose of falsehood’, yang berhasil memenangkan Donald Trump di ajang Pilpres 2016. Dan untuk konteks Indonesia, menjamurnya hoaks dan ujaran kebencian yang berbalut politik identitas sejak 2016 menandakan propaganda serupa telah diadopsi dalam politik elektoral.
Artinya kita kembali pada bahasa, bahwa siapa yang pandai mengemas retorika politis secara “licik”, merekalah yang mampu merajai nalar publik.
Lebih jauh, harus disadari bahwa kepandaian mempermainkan kata-kata turut mengacaukan politik. Pola kampanye melalui cara menghasut, menebar kebencian dan kebohongan merusak martabat politik serentak menjauhkan rakyat dari nilai, kebenaran, dan makna politik yang sejati.
Cita-cita besar Sumpah Pemuda tentang komunikasi publik pun ikut rusak karena kepentingan-kepentingan politik yang mendistorsi komunikasi publik (Peter Tan, op. cit., hlm. 153).
Pada titik ini, tidak ada yang membahasakan aktivitas politik secara baik dan benar, sebab kata-kata “beracun” yang dimasukan ke dalam benak, mata atau telinga terlanjur membakar hati, membangkitkan dendam, amarah dan murka. Lantas strategi apa yang mau diandalkan.
Provokator Kebaikan
Dr. Fidelis Regi Wato sebagaimana dikutip Paul Budi Kleden dalam buku Demokrasi Minus Diskursus (Mongko, 2016: 217), menjelaskan bahwa runtuhnya kemandirian berpikir kritis dan berpendirian sendiri disebabkan oleh pengaruh arus massa, pencitraan figur pemimpin dan mesin propaganda yang lihai memanipulasi emosi massa.
Karena itu, ia menjuduli bukunya dengan Provokator Kebaikan, “Die provokation des Gluten” sebagai respon terhadap melemahnya daya pikir kritis dihadapan rezim Totalitarian Jerman.
Dalam terang pemikiran Dr. Fidelis Regi Wato, provokator kebaikan berusaha menyadarkan orang untuk keluar dari arus deras mental gerombolan untuk berdiri tegak sebagai individu merdeka yang bermartabat.
Selain itu, ia juga memberi perhatian pada penggunaan pola pikir kritis konstruktif di dalamnya. Dalam kaitannya dengan tahun politik, provokator kebaikan mengemban peran yang sama. Itu berarti, selain memberi penyadaran kritis agar tidak terjebak dalam gerombolan kejahatan, provokator kebaikan juga harus meresistensi nalar publik dari gempuran kata-kata dan bahasa destruktif.
Tidak berhenti di situ, ia juga mesti mengarahkan rasionalitas publik (termasuk para petarung politik) untuk berkiblat pada pemahaman bahasa Indonesia, yakni tiga kebenaran bahasa: kebenaran pernyataan, ketepatan rumusan tindakan dan konteks normatifnya, dan ketulusan komunikasi yang dihayati secara subjektif (op., cit. hlm. 154).
Agar lebih konkrit, peran provokator kebaikan harus melekat dalam diri pemandu dan pencerah publik seperti media informasi. Melalui edukasi politiknya media harus memberi penyadaran kritis bagi publik.
Penyadaran ini akan berjalan baik manakala media benar-benar menjadi basis dan corong informasi yang sungguh memperhatikan validitas informasi tanpa berafiliasi dengan kepentingan kandidat tertentu.
Selain itu, peran kaum intelektual. Kontribusi kaum intelektual, kaum cerdik pandai, akademisi, dan cendikiawan melalui pemikiran kritis serta karya-karya edukatifnya diharapkan mampu mereparasi wajah perpolitikan kita yang tengah babak belur dihajar kekacauan verbal.
Melalui pemikiran kritisnya, kaum intelektual berperan menyadarkan publik tentang diskursus ruang publik yang menurut Dominic Kanta (1996) bahwa penggunaan kata-kata itu harus dibangun lewat logika berpikir, alasan, dan pertimbangan akal sehat.
Tidak kalah penting juga ialah komitmen peserta pemilu. Peserta pemilu 2019 diajak untuk berani membangun komunikasi sosial-politik penuh persahabatan. Komitmen ini harus sungguh menyata dalam sikap menjauhi politisasi bahasa dan penggunaan propaganda provokatif yang memicu segresi dan disharmonisasi relasi. Tentunya hal ini dimaksudkan untuk merawat intelelektualitas publik, perasaan dan emosi untuk ikut memberi dampak positif bagi konstelasi pemilu 2019.
Pada akhirnya, harus dikatakan bahwa kekuatan pemilu 2019 terletak pada setiap elemen masyarakat yang secara sadar mau menjaga kemarwahan politik elektoral. Semua tergantung bagaimana kita melibatkan akal sehat serta memperhatikan etika, norma dan hukum dalam mengkomunikasikan ide dan gagasan di ruang publik.