Oleh: Boni Jehadin*
Hari-hari belakangan ini, publik Nusa Tenggara Timur (NTT) belum berhenti berdiskusi perihal mutasi pejabat di lingkup pemerintah Provinsi yang berlangsung pada Jumat (15/02/2019) lalu.
Di beberapa group diskusi WhatsApp, isu ini bahkan menjadi tema diskursus yang sangat serius, meski kurang terlalu diminati di medsos berskala besar seperti Facebook.
Satu hal yang ditemukan dari diskursus itu ialah mutasi menjadi sangat penting dalam tubuh birokrasi NTT saat ini. Penting, karena dalam mutasi terjadi pembugaran terhadap tubuh birokrasi lama yang mungkin terlanjur kaku di bawah era kepemimpinan gubernur sebelumnya. Selama masa kepemerintahan Frans Lebu Raya mesin birokrasi terkesan lamban, tak bertenaga, daya dongkraknya melemah, miskin imajinasi dan macetnya lalulintas gagasan.
Berkaca pada kondisi birokrasi yang lama, maka mutasi pejabat di era kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A. Nae Soi diharapkan benar-benar terjadi pembugaran yang akan membuat mesin birokrasi itu sehat dan produktif. Kebugaran birokrasi pula yang menjadi penentu perubahan NTT di masa yang akan datang.
Sebab gubernur dan wakil gubernur menjadi Nahkoda sekaligus Navigator sementara birokrasi adalah mesin yang membawa NTT ke pelabuhan Bangkit dan Sejahtera.
10 tahun terakhir selama kepemimpinan Frans Lebu Raya, NTT kerap disebutkan sebagai daerah termiskin, tertinggal, terbelakang dari berbagai aspek. ICW juga menyebut NTT sebagai propinsi terkorup ketiga di negeri dan oleh pemerintahan Jokowi disebut sebagai propinsi darurat human trafficking.
Kondisi itu salah satunya disebabkan oleh buruknya tata kelola pemerintahan (birokrasi) kita. Bahkan ada orang menyebutkan kondisi itu sebagai gambaran isi kepala dan isi hati pemimpin (gubernur) dan pejabat birokrasi NTT.
Lalu bagaimana dengan pemimpin (gubernur) baru kita? Sepintas, Gubernur Laiskodat memang terlihat visioner, imajinatif, bersih, tegas serta mempunyai “mimpi” yang tinggi.
Hal itu dapat dirasakan tatkala dia berbicara dan berpidato. Suaranya seperti sedang membawa sebuah harapan akan adanya kehidupan baru bagi daerah ini.
Langkahnya selalu terlihat tegap dan gesit serta meyakinkan, ide-idenya menggila, “liar” ke mana-mana meski masih belum sistematis.
Akan tetapi, tampilan secara kasat mata ini belum menjadi tolok ukur perubahan daerah ini, belum dapat dipastikan. Sebab semua itu barulah mimpi, baru sebatas ide. Butuh pikiran dan akal sehat untuk menerjemahkan ide-ide “liar” Gubernur menjadi nyata. Dalam term kitab suci kita mengenal sebutan ‘Sabda yang Menjadi Daging’.
Pikiran itu tentu harus terisi dalam kepala masing-masing pejabat yang mendapat posisi strategis di birokrasi. Pikiran itu penting dimiliki birokrat karena merekalah yang akan menjadi kaki dan tangan untuk mewujudkan ‘ide’ di kepala Gubernur.
Pikiran birokrat itulah yang akan menyambut imajinasi dan sabda gubernur NTT menjadi daging. Bayangkan, jika birokrasi itu tak punya pikiran atau terpasung dalam perilaku masa lalu, maka mimpi besar Gubernur NTT hanya berbuah utopis.
Jika memakai analogi tubuh, percuma isi kepalanya bagus, jika kaki dan tangannya retak atau cacat. Maka apa yang ada di kepala tetap di kepala, tidak bisa digerakan atau dinyatakan.
Oleh karena itu, Viktor dan Josef sebagai kepala harus mampu memilih mana yang layak dan mampu dari berbagai aspek dan kompetensi untuk menjadi kaki tangannya. Jika tidak, maka saat Gubernur NTT mati dan yang terkenang hanya mimpinya saja.
Belum ada Mutasi Pikiran
Kita patut apresiasi karena mutasi yang baru lalu, tidak tercium aroma dagang jabatan. Namun, apakah mutasi itu sudah mencakup mutasi pikiran Viktor dan Nae Soi ke kepala para pejabat terlantik?
Apakah mutasi sudah memindahkan kegelisahaan dan kebutuhan rakyat NTT ke kepala birokrat terlantik? Atau hanya sekedar memindahkan para pejabat itu dari kursi duduk lamanya pada kursi duduk yang baru?
Pertanyaan ini harus jujur dijawab Viktor-Jos. Saya sendiri sebenarnya cukup sangsi karena jika dilihat dari komposisi pejabat yang dilantik, mereka adalah wajah-wajah lama yang gagal membawa NTT selama kepemimpinannya Frans Lebu raya. Berikut, budaya kerjanya masih terkoptasi dalam cara lama yang terbukti kontraproduktif.
Bahkan ada yang secara usia sudah tergolong tidak produktif lagi, sementara semangat Viktor yang menggebu hanya akan tercapai jika didukung oleh kaki tangannya yang muda dan energik. Energik berpikir dan energik bergerak.
Realitas ini memang wajar diragukan. Wajah-wajah lama dalam mutasi baru lalu adalah orang-orang yang turut bertanggung jawab dalam menjerembabkan daerah ini menjadi termiskin, terbodoh, terbelakang, terkorup dan terdarurat dari sisi kemanusiaan selama kurang lebih 10 tahun terakhir.
Saking geramnya dengan kondisi NTT, beberapa kali Gubernur Viktor bahkan menyebut pemimpin sebelumnya tolol dan komposisi ini tentu kontradiktif dengan pikiran Viktor sendiri.
Jika demikian, Viktor bersama Nae Soi butuh waktu yang cukup lama untuk membersihkan otak para bawahannya itu agar benar-benar bersih dari pikiran-pikiran lama.
Ini mendesak, karena di kepala Viktor dan Nae Soi sudah terancang ide tentang NTT yang ideal lima tahun ke depan. Ide ini harus segera dieksekusi sebelum terlambat.
Itu artinya, Gubernur Viktor harus segera memindahkan pikiran dan budaya baru ke kepala para pejabat itu.
Dengan kata lain, reformasi birokrasi tidak hanya sebatas restrukturisasi jabatan tetapi juga re-instal pikiran melalui program pembenahan kualitas birokrasi.
Mutasi Sama dengan Membagikan Pisau
Viktor mempunyai pandangan tersendiri tentang kekuasaan, dalam sebuah kampanye di Maumere beberapa waktu lalu. Kala itu, Viktor mengatakan kekuasaan itu ibarat pisau.
“Kekuasaan itu seperti pisau bapa/ibu, saudara/i sekalian. Pisau itu kalau jatuh di ibu-ibu rumah tangga, maka dia akan memotong bawang, sayur, daging dan ikan agar kita bisa makan. Kalau pisau itu di tangan seorang dokter, dia akan membedah agar penyakit orang itu bisa disembuhkan. Tapi kalau pisau itu jatuh ke para perampok, penjahat, maka akan dipakai untuk merampok hak rakyat, merampok hak orang untuk kepentingan peribadi mereka,” ujar Viktor seperti yang tersimpan dalam jejak digital, Youtube.
Apa yang dilakukan saat ini persis yang disampaikan Viktor dalam orasinya itu. Dia tengah membagikan pisau itu ke tangan pejabat-pejabat terlantik. Karena itu, Viktor harus mampu memastikan ke tangan siapa pisau itu ia berikan, apakah ke tangan “ibu rumah tangga”, “dokter” ataukah “perampok”?
Hemat saya agar pisau itu digunakan dengan baik, Viktor terlebih dahulu mereinstal pikiran lama mereka dan diisi oleh pikiran baru dengan kehendak yang baik. Pisau itu harus bisa digunakan untuk membunuh pikiran-pikiran lama, mental malas dan perilaku hedonis di kalangan birokrasi.
Birokrat Kritis
Lebih dari itu, birokrat tidak boleh berlaku seperti hamba yang tunduk dan patuh pada atasannya meski itu salah.
Pemimpin seperti Viktor pasti sangat membutuhkan bawahan yang berani mengkritisi gubernunya jika keliru dan menolak ide gubernurnya jika salah. Jangan jadi birokrat yang ABS alias asal bapak senang.
Jika jadi birokrat kritis, maka lalulintas gagasan tentang kondisi ideal NTT menjadi dua arah, bukan linear. Nah, kondisi birokrasi seperti inilah yang dibutuhkan. Suhu birokrasi NTT jadi dinamis oleh gagasan. Dengan demikian dialektika gagasan pun menjadi spirit utama dalam melahirkan program-program menuju NTT Bangkit.
Masih dalam jejak digital, Gubernur Viktor pernah menyampaikan jika terpilih, dia tidak akan bersaing dengan Bali dan Jawa, sebab bagi dia, dua pulau itu terlalu kecil. Karena itu, dia akan bersaing dengan Timor Leste, Australia, New Zealand, Fiji, Vanuatu, dan Tonga.
Ini mimpi besar Viktor, tetapi sekali lagi, mimpi itu akan sekadar khayalan jika birokratnya tidak kritis, tunduk dan manut.
Harus diakui gubernur Viktor sebagai manusia itu tidak selalu benar. Karena itu bawahannya harus berani menantang sepanjang gubernurnya keliru atau salah.
Saya memang belum bertemu langsung dengan Viktor, namun dari orang-orang dekatnya saya mengetahui bahwa Gubernur adalah tipikal yang suka dikritik. Bahkan beberapa waktu lalu dia mengatakan secara terbuka bahwa dia akan was-was jika bawahannya selalu memuji dia.
Selamat memanfaatkan pisau, bagi yang mendapatkan kuasa. Ingat! pisau kuasa itu bisa membunuh diri sendiri jika salah digunakan.
*Penulis adalah Jurnalis, Redaktur Pelaksana VoxNtt.com