(Tanggapan atas Opini Jefri Dain)
Oleh: Donatus Vedin*
Media massa adalah sebuah kebutuhan untuk perubahan. Media massa menyediakan ruang publik deliberatif, di mana semua pihak mempunyai kesempatan untuk menyuarakan aspirasinya secara berkualitas tentang penyelenggaraan kekuasaan dan atau tentang masalah-masalah dalam kehidupan bermasyarakat.
Media massa dalam hal ini memiliki peranan yang determinatif dalam membentuk tatanan masyarakat demokratis, tetapi dengan sebuah tuntutan bahwa media massa mesti bebas dan terbuka. Semakin media massa (ruang publik) terbuka, maka semakin dimungkinkan terbentuknya perserikatan yang bebas dan pertukaran gagasan. Terbentuknya perserikatan yang bebas dan terpenuhinya aktus pertukaran gagasan secara berkualitas akan mendukung demokratisasi masyarakat.
Paradigma positivistik-liberal menjelaskan dengan sangat baik kedudukan media massa dalam kaitan dengan proses demokratisasi masyarakat. Bahwa dalam tatanan negara demokrasi, diidealkan lahir dan tumbuh masyarakat informatif yang memiliki kapasitas membuat keputusan berdasarkan kriteria-kriteria rasional dan obyektif.
Media massa di sini berperan sebagai sumber utama informasi (yang benar) dan diskursus yang menjadi syarat kemungkinan bagi adanya masyarakat informatif tersebut. Mengutip Dewey, dalam buku yang ditulis Agus Sudibyo (2009), media massa berperan membantu publik mendefenisikan apa yang dipercaya sebagai kebenaran serta menyediakan jawaban atas kontradiksi-kontradiksi kepentingan individu dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, fakta empiris menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya asumsi paradigma positivistik-liberal itu terwujud. Tidak selamanya media massa berperan memberikan informasi yang benar. Hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar sering tidak dapat dijamin karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau budaya.
Paradigma kritis memberikan tinjauan ekstensif terkait hal ini. Paradigma kritis memandang bahwa realitas merupakan hasil bentukan dari proses-proses ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang terjadi di suatu masyarakat yang biasanya menyelubungi realitas sebenarnya.
Asumsinya, tidak ada realitas yang benar-benar bersifat riil, melainkan sengaja dibentuk oleh manusia itu sendiri.
Dalam konteks media massa, perspektif ini menempatkan produksi berita sebagai suatu proses pertarungan berbagai kelompok di ruang berita. Aspek-aspek yang dipertarungkan dapat menyangkut ideologi, kepentingan ekonomi, atau kepentingan politik sehingga pemberitaan dipandang sebagai simbol-simbol yang mencerminkan dominasi ideologi atau kepentingan ekonomi dan politik dari kelompok yang memenangkan pertarungan tersebut.
Secara teknis, hal itu dapat dilakukan dengan cara memanipulasi realitas (informasi) atau mengondisikan orang lain agar memiliki kesan tertentu terhadap realitas yang ditampilkan.
Instrumentalisasi Media
Kurang lebih ada dua realitas yang menjadi dasar pijak sekaligus memberikan pembenaran terkait perspektif yang meragukan peran media massa dalam memberikan informasi yang benar.
Pertama, media massa adalah lembaga ekonomi. Harus diterima bahwa media massa bukan sekadar institusi sosial yang bekerja berdasarkan rasionalitas komunikatif, tetapi juga institusi ekonomi yang beroperasi berdasarkan rasionalitas bisnis.
Orang mendirikan media bukan hanya karena idealisme, tetapi juga dan terutama dengan pertimbangan-pertimbangan akumulasi modal.
Sebagaimana entitas lainnya, media massa harus tunduk pada hukum-hukum ekonomi. Media adalah sarana penanaman modal. Oleh karena modal yang digunakan untuk mengoperasikan sebuah media tidaklah sedikit, maka besar pula ekspektasi bisnis terhadap media tersebut.
Dalam rasionalitas bisnis, informasi pertama-tama dianggap sebagai barang dagangan. Media memproduksi informasi bukan berdasarkan kebutuhan publik, melainkan berdasarkan kebutuhan pasar.
Masyarakat dilihat sebagai konsumen dan media beralih posisi sebagai produsen yang mengejar keuntungan. Keputusan atau pertimbangan tentang apa yang layak disajikan, apa yang penting bagi redaksi atau publik kemudian ditentukan oleh prinsip-prinsip efisensi.
Kedua, media massa menjadi alat politik. Ishadi SK, dalam bagian akhir bukunya, Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto (2014), menyimpulkan bahwa motif dan latar belakang pendirian media (televisi) di Indonesia sejak awal cenderung lebih bersifat politis.
Media lebih banyak berfungsi sebagai alat politik rezim yang berkuasa. Seluruh pemberitaan media diproyeksi untuk mengondisikan orang lain agar memiliki kesan tertentu terhadap pribadi atau kelompok (partai) tertentu.
Kenyataan media massa menjadi alat politik sebetulnya telah terjadi semenjak masa kolonial. Secara garis besar, media massa pada masa kolonial dimiliki oleh organisasi politik, seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partji, dan lain-lain. Bahkan satu organisasi dapat memiliki beberapa media (surat kabar) dan tersebar di berbagai daerah.
Media-media ini dipakai sebagai alat untuk menyampaikan aspirasi politik masing-masing organisasi dan tak jarang digunakan oleh anggota organisasi untuk mencari dukungan dan pengikut organisasi. Namun, meski setiap surat kabar membawa suara organisasi politik masing-masing, tapi secara umum berorientasi pada kepentingan Indonesia (kemerdekaan).
Otonomi dan Independensi Media
VoxNtt.com tertanggal 28/02/2019 memuat tulisan saudara Jefrinus Dain dengan judul Menghadang Kapitalisasi Media. Dalam tulisannya ini, saudara Jefrinus Dain menyoroti media massa (nasional) yang telah kehilangan orientasi ideologisnya yaitu kepentingan publik.
Dalam pengamatan Jefri, media massa kini dikontrol oleh segelintir orang kaya yang berafiliasi dengan politisi. Kolusi pemodal dan politisi ini kemudian menentukan arah gerak (pemberitaan) media massa.
Jefri menambahkan, perebutan kursi kekuasaan para politisi membuat media terpolarisasi dalam kutub-kutub politik, karena setiap media memiliki figur politik yang didukungnya.
Lebih jauh ia berpendapat, realitas media yang demikian membuat publik kebingungan dalam menentukan (calon) pemimpin yang baik, sebab setiap media mengklaim jagoannya menjadi yang terbaik.
Saudara Jefri Dain menyadari bahwa realitas media yang berkolusi dengan politisi adalah tidak baik, karena bertendensi mengorbankan kepentingan utama media, yaitu publik.
Solusi yang beliau tawarkan dalam mengatasi persoalan ini adalah otonomi dan independensi media. Media mesti membuka jarak dengan politisi-politisi (yang sedang berlaga).
Saya secara pribadi mengafirmasi pendapat saudara Jefrinus Dain dan mengapresisasi pengamatannya tentang realitas media saat ini. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu saya tanggapi.
Tujuan saya bukan terutama menegasikan pendapat beliau, tapi lebih ke arah meluruskan.
Pertama, judul tulisan saudara Jefrinus adalah Menghadang Kapitalisasi Media. Tatkala untuk pertama kali membaca judul tulisan ini, saya langsung berpikir tentang media massa yang direduksi sebagai alat untuk mendulang keuntungan finansial (sesuai dengan ideology kapitalisme) oleh pemilik modal, baik itu pemilik industri media sendiri maupun oleh orang lain. Akan tetapi, ketika saya menelusuri paragraf demi paragraf, ternyata tidak demikian.
Saudara Jefrinus tidak secara eksplisit berbicara tentang kapitalisasi yang saya mengerti. Ia lebih berbicara tentang kolusi pemodal (pemilik media) dan politisi. Kolusi ini, demikian beliau, akan memberikan keuntungan bagi media yang tidak lain adalah pemilik media.
Di sini saya mengafirmasi realitas kolusi media (pemodal) dengan politisi. Namun, menurut hemat saya, kolusi ini tidak bertujuan menguntungkan pemodal. Sebaliknya, kolusi ini lebih menguntungkan politisi.
Politisi menggunakan media massa untuk mendapat pengakuan dan dukungan publik. Dalam konteks kontestasi politik misalnya, media digunakan politisi untuk mempromosikan diri dan ide-idenya. Cara-cara yang ditempuh media misalnya, memberitakan secara berulang-ulang pernyataan-pernyataan (entah apresiasi terhadap seorang tokoh ataupun kritik tidak berbasis fakta terhadap seorang tokoh) secara meyakinkan.
Cara atau strategi seperti ini sejatinya adalah bentuk praktik “mengondisikan” publik oleh media. Tujuannya tidak lain adalah agar dirinya terpilih. Jadi, kepentingan utama dalam kolusi media dan politisi adalah kepentingan politik dari politisi, bukan demi keuntungan finansial media.
Istilah untuk realitas ini adalah politisasi media. Sedangkan, kapitalisasi media dimaksud pemanfaatan media untuk mendulang keuntungan finansial. Kapitalisasi kita temukan, misalnya dalam praktik pengiklanan produk melalui media.
Kedua, solusi yang ditawarkan saudara Jefri terkait persoalan kolusi media dan politisi adalah mempertahankan otonomi dan independensi media. Indenpendesi dan otonomi ini akan menjernihkan kinerja media sebagai bagian dari alat control terhadap kekuasaan. Media juga mesti membuka jarak dari politisi.
Dengan adanya jarak, media diharapkan mampu memberikan pandangan yang relevan dan netral terhadap politisi. Lebih lanjut saudara Jefri juga mengharapkan media taat pada etika jurnalistik serta bersikap populis dalam proses pemberitaan ataupun diskusi.
Sekali lagi, saya mengafirmasi pendapat saudara Jefrinus Dain tentang otonomi dan indenpendesi media. Sudah selayaknya dan seharusnya media bebas dari intervensi pihak manapun. Meski demikian, menurut hemat saya, media tidak (akan) pernah bebas dari pengaruh pihak luar. Pihak luar yang saya maksudkan bukan terutama negara.
Negara sendiri menjamin otonomi dan independensi media melalui UU tentang Pers No.40 tahun 1999. Misalnya dalam pasal 4 ayat (2) (terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran dan pasal 4 ayat (3) (untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi). Pihak luar saya maksudkan adalah pemilik industri media.
Pada bagian awal tulisan ini, saya telah menandaskan bahwa media massa juga merupakan lembaga ekonomi yang beroperasi berdasarkan rasionalitas bisnis. Orang mendirikan media bukan hanya karena idealisme, tetapi juga dan terutama dengan pertimbangan-pertimbangan akumulasi modal.
Orang tidak akan mendirikan industri media jika ia tahu industri media tidak memberinya keuntungan. Dengan demikian, di sini menjadi jelas bahwa bukan hanya insan pers yang menentukan dan bertanggung jawab atas orientasi media (otonomi dan independensi), tetapi juga pemilik media tersebut.
Dengan lain perkataan, pemilik industri media memiliki pengaruh terhadap media. Ditambah lagi ketika media (melalui UU) telah diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri arah geraknya (pemberitaan), maka pemanfaatan media untuk kepentingan parsial menjadi sangat mungkin.
Pemilik media atau kelompok yang berafiliasi dengannya misalnya, bisa saja menjadikan media sebagai alat politik, seperti yang telah diangkat oleh saudara Jefrinus Dain dalam tulisannya. Dari penjelasan ini, kesimpulan yang dapat ditarik yakni, sangat sulit bagi media untuk otonom dan independen.
Catatan Akhir
Kolusi media dan politisi yang diangkat saudara Jefrinus Dain dalam tulisannya adalah sebuah fakta, bukan lagi fenomena. Fakta kolusi media dan politisi hampir pasti selalu terjadi, terutama pada masa-masa kontestasi politik.
Fakta ini tentu kurang baik karena, pertama, media massa yang seharusnya berorientasi pada kepentingan publik mereduksi dirinya hanya sebagai alat politik (tentu sangat disayangkan).
Kedua, orientasi parsial media massa tersebut telah menghalang intensi baik publik untuk mendapatkan informasi yang benar, adil, dan netral. Dalam hal ini, publik menjadi korban kepentingan.
Terasa kurang elok jika pada kesempatan ini saya tidak memberikan solusi praktis atas persoalan kolusi media dan politisi. Saya sendiri menilai, kolusi media dan politisi akan selalu terjadi.
Oleh karena itu, solusi yang saya tawarkan tidak dimaksudkan menghilangkan kolusi media dan politisi. Pertama, dewan pers mesti secara aktif dan efektif bekerja dalam mengawasi isi dan konten media. Sanksi berat mesti diberikan kepada media yang terbukti melanggar kode etik jurnalisme.
Kedua, masyarakat mesti kritis dan selektif terhadap setiap pemberitaan media massa. Di sini, publik mesti selalu mencurigai kepentingan terselubung dari pemberitaan setiap media massa. Dalam konteks kontestasi politik misalnya, publik mesti selalu membandingkan pemberitaan setiap media massa. Tidak dianjurkan untuk berkonsentrasi hanya pada satu media. Bandingkan pemberitaan setiap media massa, dan pilih yang paling mendekati kebenaran.
*Penulis adalah calon imam keuskupan Ruteng. Tinggal di Ritapiret.