Kupang, Vox NTT-Penangkapan dosen Universitas Negeri Jakarta sekaligus aktivis hak asasi manusia, Robertus Robet pada Rabu, 6 Maret 2019 sekitar pukul 23.45 WIB membuat demokrasi Indonesia surut ke belakang.
Sejumlah elemen bahkan menyebut demokrasi Indonesia sedang dalam ‘lampu kuning’.
Pemerintah disebut menggunakan pasal-pasal karet di UU ITE dan KUHP untuk menangkap mereka yang kritis. Robet dituduh melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait video orasinya dalam aksi damai Kamisan yang mengkritisi Revisi UU No 34/2004 tentang TNI pada 28 Februari 2019.
“Penangkapan warga sipil Robertus Robet sendiri di tengah malam/dini hari dengan penjemputan paksa adalah melanggar HAM yang mencederai hukum dan demokrasi,” kata Sereida Tambunan, Ketua Umum Pergerakan Indonesia dalam siaran pers yang diterima VoxNtt.com, Kamis (07/03/2019) malam.
Tambunan mengungkapkan, bila melihat kembali orasi Robertus Robet di Kamisan, 28 Februari 2019, itu bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam berdemokrasi. Berikut video orasi Robert yang upload Jakartanicus
“Warga negara boleh berbeda pendapat adalah bagian dari demokrasi. Konteksnya Robet mengritik rencana kebijakan pemerintah tentang penempatan TNI dalam jabatan sipil. Konteks ini yang sering diabaikan, dan aparat hukum memakai ‘kacamata kuda’ dengan menggunakan potongan-potongan kalimat yang disalahpahami karena lepas dari konteks,” kata Tambunan.
Karena itu menurut dia, demokrasi kita mundur ke belakang, bila kemudian mereka yang kritis harus dibungkam.
Dari data yang dihimpun Safenet.org, dari 245 kasus UU ITE, kategori pelapor tertinggi adalah pejabat negara yaitu 35,92% . Korban umumnya adalah mereka yang sedang mengritisi kebijakan tertentu.
“Tentu ini lampu kuning bagi demokrasi kita,” katanya.
Menyikapi situasi yang mengancam demokrasi Indonesia, maka Dewan Pengurus Nasional (DPN) Pergerakan Indonesia menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Kapolri untuk menghentikan kasus Robertus Robet, karena menciderai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin pasal 28 UUD 45
2. Meminta Presiden untuk menghentikan penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE maupun KUHP yang telah memakan banyak korban tak bersalah.
3. Menuntut DPR untuk merevisi kembali UU ITE dengan menghapus pasal-pasal karet.
4. Mengajak dan menyerukan kalangan masyarakat sipil untuk bersama sama memperjuangkan kebebasan warga negara berekspresi.
Selain itu, Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid seperti dilansir Kompas, Kamis (7/3/2019) mengatakan, penangkapan Robet telah mencederai asas negara hukum dan demokrasi Indonesia. Robert dinilai tidak bersalah apalagi menghina institusi TNI.
“Tidak ada unsur kriminal dalam substansi pernyataan (Robet) yang dipersoalkan. Sebab, nyanyian yang menjadi sorotan utama tidak bisa dipisahkan dari penjelasan Robet dalam narasi berikutnya yang terpotong (dalam video),” kata Usman.
Saat ini Robert mendapat dukungan berbagai eleman masyarakat usai ditangkap polisi di kediamannya di kawasan Depok, Jawa Barat, Rabu (6/3/2019).
Elemen itu tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi yang terdiri dari lembaga Kontras, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty International Indonesia, Protection International, Hakasasi.id, Perludem, Elsam, Sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, dan Jurnal Perempuan
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Irvan K