Oleh: Umbu Wulang Tanaamah Paranggi
Anak anak kecil meregang nyawa akibat demam berdarah terus berulang dalam 3 bulan terakhir di Sumba Timur. Kemarin mereka masih terlihat riang, hari ini mereka telah terbujur kaku.
Dari berbagai data per 6 Maret 2019, sudah 16 korban meninggal dunia dan lebih dari 500 orang terjangkit demam berdarah.
Namun jumlah korban meninggal dunia diperkirakan lebih itu mengingat data 16 korban yang tercatat hanya korban yang meninggal di fasilitas kesehatan.
Duka yang terus berulang seperti mencapai puncaknya di tahun 2019 ini. Dalam catatan penulis, angka kematian anak akibat demam berdarah adalah yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir ini.
Tangis tetangga akibat anaknya mati diserang demam berdarah belum reda, telah disambut dengan tangis baru dari tetangga lain karena meninggalnya anak akibat sebab yang sama.
Seperti kisah horor, kepanikan melanda kota. Hal ini terlihat dari berbagai tulisan di dunia maya (Facebook) hingga saat berinteraksi di dunia nyata.
Banyak orang tua menjadi sangat was was bila anaknya bermain air atau berada di sekitar genangan air. Ucapan belasungkawa seperti sudah jadi kebiasaan sekaligus kepasrahan yang berulangkali dalam 3 bulan terakhir ini.
Duka ini belum berakhir, masih banyak anak anak kita yang terbaring di rumah sakit. Kemarin (06 Maret 2019), anak seorang kawan di Kota Waingapu juga masuk ke rumah sakit dalam kondisi panas tinggi dan dari hidungnya mengeluarkan darah.
Pemerintah Daerah Harus Bertanggungjawab
Pemerintah diberi mandat oleh undang undang untuk memastikan rakyatnya sejahtera, terdidik dan sehat serta berbagai hal lainnya.
Penulis mengambil posisi berseberangan sepenuhnya dengan pemerintah daerah karena pemerintah setempat tidak mampu melindungi warganya (terutama anak anak) dari bencana ini.
Dari berbagai temuan penulis, pemerintah sedari awal tidak melakukan tindak pencegahan atas potensi bencana akibat demam berdarah. Tidak ada satupun kebijakan publik pemerintah untuk memastikan bahwa di musim penghujan ini, pengendalian terhadap merebaknya nyamuk demam berdarah dapat dihentikan.
Padahal soal serangan nyamuk demam berdarah bukan hal baru di Sumba Timur. Bahkan untuk kampanye pencegahan saja melalui berbagai alat peraga dan meluas tidak dilakukan oleh pemerintah sebelum bencana ini datang.
Tidak adanya kebijakan Pemerintah daerah, menimbulkan kesan melakukan pembiaran terjadinya demam berdarah.
Kebijakan mengenai persampahan dan sanitasi misalnya praktis tidak ada agenda serius. Dalam data WALHI NTT, pemerintah Sumba Timur termasuk pemerintah daerah yang belum menjalankan mandat Undang Undang no 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.
Sumba Timur sampai saat ini bahkan belum mempunyai TPA (Tempat Pemrosesan Akhir bukan Tempat Pembuangan Akhir). Kebijakan pengelolaan dan pengendalian produksi sampah tidak signifikan dalam berbagai kebijakan pemerintah daerah. Padahal undang undangnya sudah ada sejak 11 tahun silam.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah justru sebatas sebagai pemadam kebakaran. Demam berdarah sudah banyak memakan korban, baru dilakukan penanganan dengan menyatakan KLB.
Dalam amatan penulis, peran pemerintah pun lebih dominan di bagian hilir seperti pencairan dana sebesar 1,4 milyar rupiah untuk kebutuhan pembiayaan ongkos perawatan di rumah sakit. Sementara kebijakan pencegahan perluasan serangan nyamuk demam berdarah justru sangat minim. Terutama di kawasan kawasan dengan tingkat kerentanan tinggi akan merebaknya serangan demam berdarah.
Beberapa tahun silam sempat ada program WGC, Waingapu Go Green and Clean tapi tidak berdampak signifikan dan entah mengapa tidak ada lagi kebijakan publik mengenai sanitasi dan persampahan yang meluas bagi publik, khususnya di Kota Waingapu.
Bukan Takdir Tuhan
Kematian anak anak kita seharusnya dapat dicegah. Kita tidak bisa mengatakan, ”sudah takdir Tuhan” atau menyalahkan warga negara karena tidak membersihkan lingkungan dan tidak menjaga anak anaknya.
Kematian kematian mengerikan itu tidak perlu terjadi bila sedari awal pemerintah (sebagai pengatur kehidupan berwarganegara) membuat kebijakan kebijakan yang melindungi keselamatan warganya.
Serangan demam berdarah bukanlah “alien” yang kita tidak tahu kapan datang menyerang atau kita tidak sanggup untuk mencegah serangannya.
Pemimpin kita (Bupati) harus lebih progresif untuk melakukan “perang” terhadap nyamuk demam berdarah. Segala perangkat dimiliki oleh pemerintah daerah untuk “menaklukkan” demam berdarah. Mulai dari kekuasaan untuk memutuskan kebijakan, menggerakkan warga negara hingga penganggaran yang jauh lebih dari cukup.
Penetapan Kejadian Luar Biasa harus dibarengi dengan tindakan tindakan luar biasa juga. Mulai dari tataran ide hingga pelaksanaan teknis di lapangan.
Selain itu pemerintah daerah juga mesti menenangkan publik yang dalam kondisi psikologi orang orang khwatir. Langkah ini penting guna memastikan warga negara tidak stress karena kekuatiaran akibat bencana yang tampaknya (dirasa) belum akan surut kedepannya.
Menenangkan publik tentu saja dengan melakukan tindakan tindakan yang diperlukan agar publik merasa anak anaknya sekarang dalam kondisi tidak terancam oleh bahaya nyamuk demam berdarah.
Jangan sampai kedepan, warga merasa harus mengungsi karena ketakutan. Sebagaimana yang terjadi pada kasus wabah penyakit akibat pasca bencana banjir bandang atau tsunami.
Bergerak Bersama
Terlepas dari “kelalaian” pemerintah daerah, sebagai warga negara sudah selayaknya kita bergandengan tangan, bergotong royong untuk memberantas nyamuk demam berdarah dan potensi penyakit lain (akibat sanitasi yang buruk).
Mari kita mulai dari lingkungan kita, dari keluarga, RT/RW, hingga tingkat Desa/Kelurahan. Baik itu di rumah, di sekolah, ditempat ibadah hingga di tempat kerja kita sehari hari.
Mari kita pastikan hari-hari mendatang dalam waktu dekat, tidak ada lagi korban jiwa akibat kelalaian mengurus lingkungan dan alam kita.
Peristiwa yang merenggut nyawa anak anak kita harus jadi pembelajaran serius dan jangan sampai hilang dari ingatan kita. Lebih dari itu, bukan hanya anak-anak yang khwatir dan dikhwatirkan, orang dewasa pun terancam walaupun tingkat kerentanannya tidak sebesar anak anak.
Salah satu cara terbaik untuk mengenang anak anak kita yang telah meninggal dunia adalah dengan menyayangi dan memastikan orang orang seusia mereka tidak ada lagi yang mati akibat kelalaian kita sebagai pemerintah dan warga negara.
Tentu saja juga agar julukan Matawai Amahu (mata air emas) tidak berubah jadi Punangu Wai Mata (bergelimang air mata).
Turut berdukacita yang mendalam buat keluarga yang ditinggalkan anak anaknya tercinta. Semoga duka kita segera berakahir!
*Penulis adalah Direktur Eksekutif WALHI NTT