BACA Ulasan sebelumnya:
Prahara Perdagangan Orang yang Terabaikan dari Kampanye Capres (Part 1)
Ironi Baju Milenial Capres
Saat ini suara generasi milenial sedang diperebutkan kedua capres yang bertarung dalam pemilu 2019.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, jumlah pemilih berusia 17-35 tahun mencapai 80 juta orang dari sekitar 185 juta pemilih. Artinya, jumlah pemilih milenial pada Pemilu 2019 nanti sekitar 43 persen dari semua pemilih.
Namun, pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang berkontenstasi dalam Pemilu 2019 dinilai masih terjebak pada politik pencitraan untuk menggaet pemilih milenial.
Padahal, pemilih milenial lebih cenderung menyukai kampanye yang bersifat substansial dan berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka.
”Kini yang terjadi, capres-cawapres kita ini terus mencitrakan branding, tetapi lupa akan substansi isunya. Pemilih milenial ini tidak cukup hanya disodori sebatas kemasan luar,” kata Direktur Lembaga Survei Kedai KOPI, Vivi Zabkie dalam diskusi ‘Generasi Milenial Penentu Kemenangan Capres Menuju Istana’ seperti dilansir Kompas.id, Rabu (10/10/2018).
Vivi benar. Tampilan kedua capres memang eye catching bagi milenial. Mulai dari sepatu, celana, baju dalam sampai jeket yang digunakan.
Dalam hal penampilan, Jokowi misalnya terlihat ke mana-mana menggunakan sepatu sneakers. Capres petahana ini juga kerap memakai baju kaos dengan jaket trendy ala milenial. Ada jaket bubur ayam racer dan jaket Dilan.
Soal motor, Jokowi kalah jauh dari Prabowo yang gemar menunggang kuda. Jokowi kerap menggunakan berbagai jenis motor yang disukai milenial. Mulai dari jenis chopper, trail sampai Yamaha FZ1 yang harganya berkisar di angka Rp 150 juta.
Prabowo juga tak kalah modis. Demi mendekati kaum milenial, tampilannya kini berubah total dari gaya militer yang garang. Itu terlihat saat Prabowo mengumpulkan puluhan influencers milenial di kediamannya Selasa (23/10/2018) lalu.
Gaya Prabowo seperti mengikuti gaya anak muda. Ia mengenakan kemeja cokelat yang bisa dikenakan, dengan celana hitam. Yang berbeda, Prabowo memakai rompi berbahan jeans dengan tulisan nomor urutnya di Pilpres 2019 yaitu 02.
Tak hanya itu, tim Prabowo melalui juru bicara BPN Gamal Albinsaid menjanjikan 3 kursi menteri untuk diisi generasi milenial.
Namun tampilan dan gaya ini belum didukung oleh komitmen untuk menyelesaikan keresahan kalangan milenial di pelosok negeri.
Maraknya kelompok milenial yang menjadi target perdagangan orang sedikit sekali disinggung dalam kampanye kedua kubu capres.
Hal itu terjawab dalam kajian iklancapres.id di mana kubu Jokowi baru menyinggung satu kali tentang perdagangan orang. Topik itu disampaikan Ace Hasan Syadzily di Bandung. Sementara dari kubu Prabowo, sama sekali belum menyinggung persoalan tersebut.
Selain data iklancapres.id, persoalan perdagangan orang yang membayang-bayangi kalangan milenial juga absen dari debat capres babak pertama yang mengangkat topik penegakan hukum, korupsi, HAM dan terorisme.
Padahal isu ini menyinggung persoalan penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan kata lain, ratusan peti mati yang dikirim dari luar negeri ke NTT dan daerah di Indonesia sama sekali tidak dihiraukan kedua capres.
Karena itu, Lasarus Jehamat, pengamat politik dari Universitas Nusa Cendana Kupang menilai masalah perdagangan orang masih di level wacana dan narasi.
Lasarus menegaskan, TKI dan calon TKI adalah manusia hidup yang perutnya ingin diisi karena lapar.
“Kalau masalahnya lapar, berarti mesti ada langkah antisipatif. Pembukaan lapangan kerja urgen disiapkan. Di samping itu kaum milenial mesti diinvestasikan dalam berbagai pelatihan dan pendidikan demi meningkatkan skill dan kompetensi,” jelasnya.
Alumni Universitas Gadja Mada itu menegaskan, Negara harus bertanggung jawab di balik maraknya kasus human trafficking di NTT.
“Kasus ini adalah pelanggaran HAM yang sama sekali tidak dipedulikan negara,” tandasnya.
Selain itu, Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, Gabriel Goa mengatakan, perdagangan orang bermodus pekerja migran di NTT harus dimulai dari pencegahan, penegakan hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan program reintegrasi serta pemberdayaan ekonomi masyakarat.
Karena itu, Gabriel menyayangkan debat capres babak pertama yang seharusnya menyinggung masalah perdagangan orang di Indonesia.
Senada dengan Lasarus, Padma Indonesia menilai maraknya kasus perdagangan orang bermodus TKI/PMI di NTT dikarenakan masalah ekonomi.
Karena itu, lanjut dia, pemberdayaan ekonomi rakyat miskin mesti menjadi isu utama yang diperhatikan pemerintah maupun kedua capres yang sedang bertarung.
Namun persoalan ekonomi kerakyatan yang harusnya dibahas pada babak kedua debat capres juga tidak banyak disentil. Jokowi malah banyak disorot soal salah data dan Prabowo soal Unicorn.
Isu Ketenagakerjaan
Isu ketenagakerjaan baru resmi dibahas justru pada sesi debat calon wakil presiden (Cawapres) dengan tema Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan serta Sosial dan Kebudayaan pada 17 Maret 2019.
Ma’ruf Amin, cawapres paslon nomor satu memaparkan, peningkatan sumber daya ketenagakerjaan Indonesia dimulai dari revitaliasi pendidikan di samping latihan-latihan dan kursus melalui BLK, BUMN dan juga kursus yang bisa diaplikasi dengan revolusi digital.
Selain itu, untuk meningkatkan keterampilan, paslon Jokowi-Ma’ruf juga telah menyediakan kartu Pra-Kerja yang berfungsi untuk pelatihan vokasi bagi yang belum mendapatkan pekerjaan, pekerja dan yang berganti kerja. Kartu ini juga dapat dipakai untuk layanan pelatihan koperasi, skilling, re-skilling dan up skilling.
“Di samping itu kita akan melakukan perlindungan TK kita di luar negeri karena undang-undang kita sekarang telah bergeser dari upaya penempatan ke upaya perlindungan” jelas Ma’ruf.
Sementara Sandiaga Uno, cawapres nomor urut 2 ingin memperkuat pembukaan peluang usaha bagi anak-anak muda.
Ada dua program unggulan yang bakal dilakukan Prabowo-Sandiaga. Pertama, program OK OC yang akan membuka 2 juta wirausahawan baru,
OK OC diklaim sebagai gerakan ekonomi kerakyatan yang mengadopsi quadruple helix model untuk menciptakan lapangan pekerjaan berbasis kewirausahaan melalui one kabupaten/kota, one center for entrepreneurship.
Kedua, program Rumah Siap Kerja untuk anak muda agar mudah mendapatkan pekerjaan. Pembangunan rumah siap kerja ini akan dilakukan sampai ke tingkat pedesaan.
Tujuannya kurang lebih seperti fungsi Balai Latihan Kerja (BLK), namun penekaannya lebih kepada penyiapan keterampilan menghadap revolusi industri 4.0.
Baik, kubu Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi, keduanya sama-sama melihat isu ketenagakerjaan lebih ke perspektif revolusi industri tahap 4.
Ma’ruf bahkan menambahkan, pemerintah sekarang telah membangun infrastruktur digital sehingga melahirkan perusahaan-perusahaan start up, unicorn dan decacorn.
Namun pertanyaan mendasarnya, bagaimana mungkin infrastruktur digital itu dibangun bahkan sudah mulai merambah ke pelosok Indonesia, sementara infrastruktur sosial dasar kita belum merata? Bukankah ini justru melahirkan ketimpangan sosial-ekonomi?
BACA JUGA: Ketika Revolusi Industri 4.0 Menyentuh Pariwisata NTT, Sudah Siapkah Kita?
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan, 11 provinsi yang memiliki angka buta huruf di atas angka nasional yaitu Papua (28,75 persen), NTB (7,91 persen), NTT (5,15 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen).
Kalimantan Barat (4,50 peren), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jawa Timur (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,90 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), dan Jawa Tengah (2,20 persen).
NTT sendiri masuk dalam empat besar angka buta huruf paling tinggi di Indonesia. Mungkinkah pembangunan infrastruktur digital itu bisa membuka lapangan pekerjaan baru di tengah kemampuan literasi masyarakat yang masih rendah?
Di samping itu infrastruktur sosial dasar seperti jalan, irigasi, perumahaan, fasilitas kesehatan masih mengalami kesenjangan.
Analisis Emil Sese Tolo dalam artikelnya di Tempo 22 Februari 2019 setidaknya bisa mengkonfirmasi soal ini.
Menurut Emil, meskipun Jokowi tampaknya fokus dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia timur, namun tidak dapat membawa kawasan itu keluar dari kemiskinan. Ini terjadi karena pembangunan terlalu berpusat di Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan dan Makassar.
Beberapa tahun terakhir, jelas Emil, Jokowi mengalokasikan banyak proyek infrastruktur strategis nasional di kawasan timur. Dalam proyek pembangunan strategis nasional, Jokowi mengalokasikan 27 proyek di Sulawesi, 24 di Kalimantan, serta 13 di Papua dan Maluku.
Proyek-proyek itu mungkin hanya untuk memperkuat Makassar yang sudah mapan.
Bagi Emil, pendekatan pembangunan seperti ini hanya akan menghasilkan kesenjangan ekonomi antara Sulawesi, khususnya Makassar, dan daerah lain di Indonesia timur.
Padahal, pada September 2018, ada tiga provinsi di kawasan itu yang tingkat kemiskinannya lebih dari 20 persen, yaitu Nusa Tenggara Timur (21,03 persen), Papua Barat (22,6 persen), dan Papua (27,43 persen). Tingkat kemiskinan di Maluku juga cukup tinggi, yakni 17,85 persen.
Dengan kata lain, Emil ingin menegaskan bahwa pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini justru melahirkan ketimpangan baru antar kawasan timur Indonesia.
Data ini juga menunjukan perspektif ketenagakerjaan yang diutarakan kedua cawapres, belum menyentuh masalah pokok yang menjadikan masyarakat khususnya generasi milenial NTT keluar dari cengkraman perdagangan orang.
“Memang tema trafficking dalam kampanye capres tidak akan populer karena kampanye ini berfokus pada menang-kalah. Mestinya ketika cawapres no 1 mengeluarkan 3 kartu pamungkasnya, isu trafficking masuk sebagai cara jitu. Namun saya menduga bahwa isu ini hanya heboh di NTT dan beberapa daerah yang suaranya tidak signifikan bila dibandingkan di pulau Jawa yang adalah gudang suara di mana isu UMKM, start up dan unicorn lebih mengemuka,” kata aktivis kemanusiaan NTT, Pendeta Emmy Sahertian.
Penulis: Irvan K