Oleh: Bapthista Mario Yosrayndi Sara*
Provinsi NTT mempunyai sekitar 1,9 juta hektar padang savana yang merupakan kombinasi lahan semak dan padang penggembalaan.
Dengan luasan tersebut, peternakan khususnya ternak sapi merupakan subsektor yang telah terbukti dan sangat potensial berperan dalam menunjang kesejahteraan masyarakat.
Berbagai kajian yang telah dilakukan di daerah ini menempatkan sektor peternakan sebagai sektor primer yang harus dikembangkan sebelum pengembangan sektor-sektor lainnya.
Meski demikian, peternakan di daerah ini tergantung pada kondisi wilayah di mana hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan yang sangat pendek antara bulan Desember sampai bulan April dan musim kemarau panjang pada bulan Mei sampai bulan November.
Keadaan ini mengakibatkan jumlah pakan ternak akan tersedia dalam jumlah yang banyak serta memiliki kualitas yang baik pada musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau jumlah pakan yang tersedia sangatlah sedikit dengan kualitas yang rendah.
Hal ini diperparah lagi dengan sistem pemeliharaan ternak yang masih ekstensif, serta kurangnya sumber daya manusia untuk memanfaatkan lahan kering di Nusa Tenggara Timur sebagai tempat tersedianya hijauan makanan bagi ternak.
Akibatnya pemenuhan kebutuhan pakan bagi ternak tidak dapat terpenuhi, sehingga produksi yang diharapkan belum optimal.
Tata Niaga Peternakan
Meningkatnya populasi penduduk dan taraf hidup masyarakat provinsi Nusa Tenggara Timur, mendorong meningkatnya kebutuhan pangan, kebutuhan rumah tangga secara bertahap dan juga peningkatan konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan).
Lemna, Kabar Gembira dari Politani Kupang untuk Peternak NTT
Permintaan produk daging sapi sebagai salah satu potensi unggulan di NTT terus meningkat dan belum mampu dipenuhi dari produksi domestik.
Pemerintah memutuskan pemenuhan kebutuhan daging sapi menjadi salah satu prioritas utama yang tercantum dalam Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019.
Namun, laju produksi daging sapi provinsi NTT dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini seperti yang dilansir oleh BPS (Badan Pusat Statistik) mengalami fluktuatif.
Tahun 2016 sebanyak 12. 441, tahun 2017 sebanyak 12.285, dan tahun 2018 sebanyak 12. 467.
Jika dibandingkan dengan provinsi Banten yang luas wilayahnya sebanding dengan Kabupaten TTS, NTT masih kalah jauh.
Produksi daging sapi di Banten selama 3 tahun belakangan ini berputar pada angka 30.000-an.
Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur
Lahan kering yang ada di Nusa Tenggara Timur, banyak dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mengelolanya. Hal demikian disebabkan oleh rendahnya inisiatif serta budaya malas masyarakat.
Masih banyak masyarakat Nusa Tenggara Timur yang selalu berharap kebutuhan ternak terutama pakan disediakan oleh alam tanpa berpikir untuk mengelolanya sendiri.
Dengan adanya pemanfaatan lahan kering untuk menanam pakan ternak, tidak hanya membawa keuntungan bagi petani peternak namun juga dapat mengembalikan unsur-unsur hara pada tanah tersebut.
Selain itu kondisi iklim suatu daerah sangat berpengaruh terhadap suatu lahan produksi, baik produksi peternakan maupun pertanian.
Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai dengan November) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan April).
Curah hujan berkisar antara 697 – 2.737 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata tiap tahun antara 44 sampai 61 hari.
Suhu udara rata-rata 27,6ºC, maksimum rata-rata 29º C dan suhu minimum rata-rata 26,1ºC (Nusa Tenggara Timur Dalam Angka, kajian BPS Prov. Nusa Tenggara Timur).
Kondisi Nusa Tenggara Timur yang musim kemaraunya lebih panjang ini menyebabkan rendahnya produksi hasil peternakan. Hal tersebut dapat juga berpengaruh pada ketersediaan air untuk hijauan makanan ternak.
Pola Pengembangan
Kemajuan ternak di daerah lahan kering sangat tergantung pada kemajuan pengembangan IPTEK yang melahirkan inovasi teknologi untuk memicu produktivitas dan efesiensi yang tinggi.
Negara seperti Australia sangat berhasil dalam menerapkan teknologi pertanian dan peternakan lahan kering sehingga sebanyak 80% domba, 50% sapi dan 93% biji-bijian dihasilkan dari lahan kering ( Carberry et al., 2010).
Dengan demikian, peningkatan produktivitas ternak di lahan kering tidak akan dicapai secara optimal tanpa didukung oleh pengembangan IPTEK lahan kering yang memadai.
Selain itu, secara konseptual, pembangunan peternakan diarahkan kepada tercapainya tiga sasaran, yakni:
(1) Sasaran pemerataan yang akan dicapai melalui usaha meningkatkan pendapatan petani peternak dan menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan gizi masyarakat;
(2) Sasaran pertumbuhan yang akan dicapai melalui usaha-usaha meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan dalam negeri, ekspor maupun mengurangi impor;
(3) Sasaran kelestarian dengan optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam, khususnya dalam kaitan sumber daya peternakan.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kembali kesuburan tanah pada lahan kering yaitu, penerapan prinsip-prinsip rangeland management yang bertumpu pada upaya pengendalian vegetasi, pengendalian ternak dan pengendalian kesuburan tanah.
Hal-hal yang dilakukan dalam penerapan prinsip ini antara lain, pengolahan kembali lahan kering, mengintroduksi tanaman pakan ternak yang unggul pada lahan tersebut, melakukan pengendalian ternak, melakukan pengendalian kesuburan tanah, melakukan peremajaan dan menyediakan pakan pelengkap untuk musim kemarau.
Selain perbaikan lahan kering perlu adanya peran dan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah Nusa Tenggara Timur dalam hal pengaturan, pelayanan, penyuluhan dan sebagai motivator (agent of development).
*Penulis adalah Mahasiswa peternakan, Undana dan anggota PMKRI cabang Kupang