Oleh: Dedi Harsali
Guru pada dasarnya adalah profesi paling mulia yang didasari cinta akan pendidikan. Seyogyanya, guru harus mengutamakan prinsip kemanusiaan serta welas asih dalam mendidik para siswa.
Karena itu, tidaklah heran jika guru dipandang layaknya orangtua kedua di sekolah. Guru mesti mengemban tugasnya dengan bijak agar generasi penerus dapat berguna bagi bangsa dan negara.
Akan tetapi, profesi yang mulia tersebut “direndahkan” oleh tingkah dari seorang guru perempuan (berinisial TPR) di SD Madawat Maumere.
Dia menggunting rambut muridnya dan orangtua murid (berinisial AR) pun balik menggunting rambut dari guru tersebut (Pos Kupang 1 Maret 2019) .
Peristiwa ini sudah kebablasan. Hemat saya, guru dan sekolah mempunyai tugas untuk mendidik, membimbing serta mengajarkan hal-hal yang baik dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku kepada setiap siswa.
Bukan malah menjadikan sekolah layaknya “salon pemangkas rambut”. Kita pun berdosa terhadap pendahulu yang menerapkan pendidikan dengan tujuan utamanya yaitu memanusiakan manusia (humanisasi).
Kenyataan ini cukup memalukan karena mencederai dunia pendidikan kita. Peristiwa ini juga bahkan mereduksi peran dan fungsi seorang guru. Lalu, apa yang sebenarnya perlu kita pelajari dari masalah ini?
Freud berpendapat bahwa psikologi kepribadian selalu menjurus ke arah masa kanak-kanak, yaitu masa yang mempunyai peran yang menentukan (Suryabrata, Sumadi 2015). Untuk itu guru harus menggunakan akal sehat dalam mendidik peserta didik. Sebab tindakan hari ini akan mempunyai dampak terhadap perkembagan masa depan peserta didik.
Di samping itu, guru mengajarkan sikap “menghargai”. Dengan demikian, kelak pendidikan akan menjadi rujukan bagi peserta didik dalam menjalankan kehidupannya sampai akhir hayat.
Tulisan ini tidak bermaksud membela orangtua murid agar tidak mendidik, membimbing serta mengajarkan anaknya. Tetapi, tulisan ini mau menegaskan bahwa proses pendidikan di sekolah mempunyai tujuan utama yaitu memanusiakan manusia (humanisasi).
Di era milenial sekarang ini, ada beberapa hal yang harus diutamkan oleh guru dalam mendidik para siswa: Pertama, guru wajib mengetahui rekam jejak atau identitas dari setiap siswanya.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengunjungi rumah agar dapat melihat kondisi riil dari peserta didik. Tindakan ini sangat bermanfaat bagi guru agar dapat menerapkan metode yang paling cocok dalam membentuk karakter dari setiap siswanya.
Kedua, guru mesti bersikap bijak dalam menangani siswa yang melanggar peraturan sekolah yaitu dengan menemuinya secara face to face. Jika siswa tersebut tidak mau merubah perilakunya maka, tindakan berikutnya adalah memanggil siswa yang bersangkutan untuk menghadap wali kelas atau guru Bimbingan Koseling.
Tetapi, jika siswa yang bersangkutan pun takut untuk menghadap wali kelas atau guru Bimbingan Konseling, maka langkah berikutnya adalah mengadakan pertemuan dengan dewan guru.
Hal ini perlu dilakukan agar masalah tersebut dapat menemui titik terang. Namun, jika masalah ini tetap tidak menemui titik terang, maka langkah terakhir yang harus ditempuh adalah membuat surat panggilan untuk orangtua atau wali dari siswa tersebut. Tujuanya jelas yaitu agar orangtua atau wali dapat mengetahui perilaku dari anaknya serta menjadi partner dalam membentuk kepribadian dari anak tersebut.
Ketiga, guru mesti menghindari kata-kata yang dapat menyinggung perasaan dari siswa bersangkutan. Misalnya ungkapan “tong kosong nyaring bunyinya”.
Ungkapan seperti ini perlu dihindari oleh seorang guru. Karena tugas utama seorang guru adalah mengisi tong yang kosong tersebut supaya menjadi semakin nyaring.
Hemat saya, guru mesti membiasakan muridnya agar bisa membaca, menulis, dan berdiskusi. Dengan catatan, guru juga harus mempunyai budaya membaca, manulis, dan berdiskusi karena guru adalah pemberi teladan bagi para peserta didik.
Hal ini dilakukan agar tercapai keselarasan antara tugas seorang guru dan pendekatan humanistik UNESCO. Pendekatan humanistik UNESCO menekankan empat pilar pendidikan dasar yaitu: belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk menjadi, dan belajar untuk hidup bersama.
Dari keempat pilar ini, belajar untuk hidup bersama merupakan hal yang perlu diperhatikan secara serius oleh para guru. Karena kemampuan ini menjadi dasar bagi seorang siswa supaya bisa berinteraksi dan berdinamika dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah.
Kempat, guru dilarang “naik pitam” ketika menghadapi muridnya. Fakta yang terjadi sekarang ini adalah masih terdapat sebagian guru yang menggunakan kekerasan (memukul) dalam mendidik peserta didik. Sehingga, tidak mengherankan ketika Ujian Nasional selesai, terdengar ungkapan “kami datang bukan untuk dihajar tapi diajar” dari peserta didik.
Bagi sebagian guru, kata-kata ini cukup menyakitkan, merendahkan martabat dan dianggap kurang ajar. Akan tetapi, ungkapan semacam ini harus dilihat sebagai kritikan oleh para guru.
Kritikan dari peserta didik bertujuan agar para pendidik dapat mengubah perilaku dan metode pengajarannya. Jika kritikan ini dapat diterima baik oleh para guru atau pendidik, maka guru tersebut boleh dikategorikan sebagai pendidik yang ingin mengalami kemajuan.
Henri Giroux dalam “Pedagogi Kritis” memaparkan dua hal, yakni keleluasan wawasan dan kepekaan moral. Waswasan luas adalah kemampuan untuk melihat persoalan dalam kaitan-kaitan dengan persoalan lain.
Dasarnya adalah kesadaraan dan kesalingterhubungan dari segala sesuatu. Sedangkan kepekaan moral berarti kemampuan untuk melihat baik dan buruk terhadap suatu peristiwa dengan dasar-dasar yang masuk akal (Wattimena, Reza. “Pedagogi Kritis. Pemikiran Henry Giroux” Jurnal Filsafat, Vol. 28, No.2,2018 ).
Tugas Utama Guru
Sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia merujuk pada semboyan yang ditunjukkan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Manggun Karso, Tut Wuri Handayani”. Arti dari ketiga semboyan ini adalah “di depan memberi teladan, “di tengah membagun semangat”, “dari belakang memberi dukungan”.
Jika menilik pada peristiwa di SD Madawat Maumere, rasa-rasanya ide Ki Hajar Dewantara hanya wacana belaka. Ide Ki Hajar Dewantara tidak mampu bahkan gagal dipraktikan oleh para pendidk.
Dari ke 3 (tiga) komponen tersebut, maka akan dijelaskan secara lebih spesifik berkaitan tugas dari guru.
Pertama, memberi teladan. Teladan dalam KBBI diartikan sebagai sesuatu yang harus ditiru atau baik untuk dicontohi. Ketika guru berperilaku baik dengan muridnya bukan tidak mungkin akan menjadi idola baru di sekolahnya. Lebih dari itu, guru akan disenangi oleh murid-muridnya. Dalam hal ini, murid merasa guru bak orang tuanya.
Kedua, membangun semangat. Kelihatannya memang hal ini mudah untuk dipraktikan. Tetapi dalam praktiknya, guru banyak melupakan hal ini. Salah satu contohnya guru tidak mampu membangun semangat belajar peserta didik. Ketika seorang murid mendapat nilai di bawah standar, ia akan menjadi minder.
Berhadapan dengan situasi seperti ini, seorang guru seharusnya merangkul serta memberikan semangat kepada murid bersangkutan. Cara yang mesti ditempuh oleh seorang guru adalah menanyakan apa yang belum dipahami oleh murid tersebut.
Ketiga, memberikan dorogan. Tugas ini tidak kalah pentingnya bagi guru. Guru bertugas untuk memacu semangat, daya pikir, dan keselarasan dalam bertindak dari para murid. Misalnya, ketika ada soal yang memantik daya pikir, tugas dari seorang guru adalah memacu semangat para peserta didik.
Seorang guru mesti terus-menerus memberikan dorongan serta mengatakan ‘kalian pasti bisa’. Hal ini dilakukan agar mereka mampu berpikir dan menemukan jawaban atau solusi dari persoalan yang mereka hadapi.
Adagium kuno mengatakan “siapa lagi kalau bukan kita, kapan lagi kalau bukan sekarang”. Mari kita bersama-sama melihat kembali ketimpangan pendidikan kita terutama di NTT.
Kita mesti mengambil segala yang baik dari pendidikan yang diwariskan pada masa lalu serta meninggalkan segala yang buruk.
Soe Hok Gie melekat dengan kritikanya yang tajam “guru bukan dewa yang selalu benar, murid bukan kerbau”. Jadilah guru yang berkompeten dalam menciptakan generasi yang berintegritas bagi nusa dan bangsa.