Oleh: Fransiskus Sabar*
“The Concept of Disruption is about Competitive response; it is not a theory of growth. It’s adjacent to growth. But it;s not about growth.”- Clayton M. Christensen.
Belum sempat menuntaskan era pasca kebenaran (Post-Truth Era), kini kita dihadapkan oleh suatu era baru yang tak kalah menantangnya, yakni era disrupsi (Disruption Era).
Secara sederhana, era disrupsi dapat dipahami sebagai suatu masa “ketercabutan”, sebagai akibat dari perkembangan teknologi super canggih di pelbagai bidang.
Dalam diskursus peradaban teknologi informasi, para ahli mengatakan bahwa era disrupsi ini muncul bukan tanpa alasan.
Ia lahir dari sejarah panjang peradaban dunia, mulai dari perkembangan globalisasi yang menurut James Mittelman sebagai Compresses the time and space aspects of social relations (Steger, 2003:10), sampai pada hegemonitas perkembangan teknologi informasi sekarang ini yang ditandai oleh revolusi industri 4.0.
Terminologi disrupsi kemudian menjadi horor bagi sebagian masyarakat Indonesia yang belum siap menghadapi tsunami teknologi informasi yang dahsyat ini.
Betapa tidak, game place era disrupsi ini kini menghadirkan para kawa-lawan misterius. Mereka hadir seolah-olah tidak hadir. Mereka ada seolah-olah tidak ada.
Tak ada lagi bambu runcing, pedang, senjata berkaliber M82A1, ataupun rudal mematikan, cukup ada jaringan internet, smartphone dan komputer, semuanya kolaps.
Hanya dengan sekali klik semuanya binasa. Itulah perang zaman now, zaman para lawan tak kelihatan berkeliaran di mana-mana.
Di Indonesia, kawan-lawan misterius itu sudah ada bahkan bergentayangan dimana-mana. Mereka sulit dideteksi, ditebak apalagi ditangkap, sebab pada mereka ada malaikat dan juga setan.
Layaknya malaikat mereka pandai membaca peluang, kreatif, inovatif dan futuristik tetapi akan menjadi seperti setan ketika mereka menggusur lapangan kerja, keuntungan, dan harapan para incumbent dan pemain-pemain konvensional.
Memahami Era Disrupsi dan Perkembangannya
Harus diakui bahwa pemicu utama merebaknya era disrupsi ini adalah kehadiran internet di bidang teknologi informasi. Peter H. Diamandis (2015) mengemukankan bahwa disruption tidaklah berdiri sendiri dalam ruang yang vakum.
Disruption justru terjadi sejak Steven Sasson menemukan kamera digital (1975-1976) yang dilakukan untuk memenuhi munculnya teknologi memori, yaitu Change Complex Device (CCD).
Mengantisipasi hal ini, Alvin Toffler mengirim sinyal kepada dunia bahwa kini kita telah memasuki gelombang ketiga revolusi peradaban, yakni gelombang revolusi informasi, setelah sebelumya didahului dengan revolusi pertanian dan revolusi industri yang terjadi pada abad XVIII lalu.
Menurutnya, terjadinya revolusi informasi yang ditandai dengan lahirnya era teknologi digital telah mengubah seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, maupun dalam bidang pertahanan keamanan.
Terlepas dari ramalan Toffler, adalah Steve Case (2016), pendiri America Online (AOL), yang juga merupakan salah satu yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan Toffler, secara struktural mengkategori sejarah internet dengan apik. Ia membagi membagi dunia internet yang tengah kita jalani ini ke dalam tiga gelombang:
Gelombang pertama (1985-1999), From Zero to One. Dalam gelombang ini, terinspirasi oleh pemikiran Toffler, para tokoh seperti, Jobs, Gates, Case, Moore, Scott McNearly, dan Grove bergerak dan mengerahkan segala upaya ibarat para pembuka hutan yang membabat semak belukar untuk mewujudkan konektivitas internet.
Mereka pun menghasilkan produk-produk untuk membuka akses seperti perangkat lunak dasar, modem, mikroprosesor, perangkat keras, dan jejaring yang memugkinkan terhubungnya hasil kerja mereka. Dan pemakai pertama produk-produk untuk itu adalah para pioner dan pehobi.
Gelombang kedua (2000-2015), Aplikasi dan Komersialisasi. Ini adalah gelombang yang penuh keriaan setelah konektivitas terbentuk. Inilah saatnya cita-cita Toffler direalisasikan oleh para pembentuk komunitas.
Kemunculan mensin pencari “google” bukan saja mematikan Yellow Pages tetapi juga memperkuat komunitas dunia dalam mengorganisasi realitas, membentuk identitas, mencari teman, kekasih, barang, hiburan, tempat, informasi, dan lain-lain.
Pada gelombang ini, muncul pula produk-produk yang lebih bersahabat membuat manusia bisa berpindah dari alam fisik geografisnya ke dunia maya, mulai dari video, permainan, peta, dan komunikasi. Tokoh-tokoh dalam gelombang ini adalah Mark Zuckerberg, Lary Page, Jack Ma, Steve Chang, Jawed Karim, dan Sergey Brin.
Gelombang ketiga (2016), Era Internet of Things. Inilah saatnya internet hidup mandiri dan tak lagi sekadar menjadi milik perusahaan-perusahaan perintis internet. Internet memungkinkan tercapainya kemajuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, transportasi, keagamaan, perdagangan yang lebih sehat, dan masih banyak lagi.
Pada era ini, perdagangan melalui dunia maya akan semakin intens, membuat para pendatang baru menantang korporasi-korporasi besar dan para incumbent.
Era disrupsi adalah suatu era yang tak terhindarkan. Perubahan adalah suatu keharusan. Karena itu, era “Zero to One” sudah berakhir dan kita bahkan berada pada era gelombang ketiga internet yang bergerak luar biasa cepat, eksponensial, dan sulit dikejar oleh mereka yang mendiamkannya.
Intinya, internet bisa membuat semua yang menempel pada tubuh kita, rumah, mobil, kota, industri, pakaian dan sebagainya, menjadi amat cerdas karena terhubung dengan sensor dari internet secara sederhana. Internet juga bisa merubah gaya hidup, masyarakat, transportasi, industri ekonomi dan keinsanian kita.
Demikianlah inovasi ini bergerak, mewarnai realitas kehidupan kita, mengubah tatanan sosial, membentuk disrupted society, dan memaksa kita bekerja dan berpikir lebih cepat, dengan disruptive mindset.
Melalui internet, kini kita mulai temukan yang dalam istilah Rhenald Kasali sebagai lawan-lawan tak kelihatan dalam peradaban uber.
Dalam era disrupsi, Christensen juga sangat menekankan pentingnya sikap kompetitif. Menurutnya, “the concept of disruption is about competitive response, it is not a theory of growth. It’s adjacent to growth. But it’s not about growth.”
Dan juga dalam era disrupsi, kamalasan adalah neraka dan kapandaian dalam memanfaatkan kesempatan adalah surga. Makanya Milton Berle dengan tegas mengatakan bahwa “if opportunity doesn’t knock, build a door.”
Menghadapi Lawan-Lawan Misterius
Masih segar dalam memori kita tentang melejitnya prodak Nokia yang mengusai pasar global, dan hanya beberapa tahun berselang prodak Black Berry pun melejit sekaligus menekan dan bahkan menghapus Prodak Nokia dari panggung pasar global.
Namun, Black Berry nyatanya hanya bisa bertahan untuk sementara waktu saja, setelah smartphone super canggih dari prodak Apple diluncurkan dalam arena pasar global.
Atau peristiwa 13 November 2018 lalu, dimana ada sekitar ratusan orang berdemo di kantor Gojek dan Grab di Jakarta. Massa yang datang dari kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ini menyampaikan sembilan tuntutan terkait perbaikan sistem kerja sama dengan perusahaan penyedia jasa transportasi daring.
Tuntutan lainnya bersinggungan dengan permintan mitra Grab dan Gojek soal bimbingan profesi, perhitungan skema poin dan harga perkilometer, jaminan keamanan, serta perbaikan tarif dan harga agar lebih layak dan rasional.
Tentu saja demo yang melibatkan banyak orang ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan warga (Tukang Ojek dan Sopir) karena merasa terganggu dengan kehadiran inovasi transpotasi yang berbasis digital tersebut.
Para sopir atau tukang ojek merasa ada lawan atau musuh tak kelihatan yang tengah membajak pekerjaan mereka. Dampaknya jelas, para tukang ojek dan sopir taksi konvensional diasingkan bahkan digusur dari pelayanan jasa transportasi.
Solusi Alternatif Menghadapi Lawan-Lawan Misterius
Harus diakui bahwa fenomena disrupsi ini sudah di depan mata, musuh-musuh misterius sedang mengincar dan pelan tapi pasti akan menyerang dan menggususur ketertinggalan kita. Tidak ada tempat untuk bersembunyi apalagi memilih untuk lari.
Logikanya sederhana, jika perusahaan-perusahaan besar berskala internasional saja kolaps dalam rentang waktu singkat, apalagi masyarakat Indonesia yang notabene masih belum memahami kemajuan teknologi informasi digital sepenuhnya.
Bertolak dari realitas di atas, penulis berintensi untuk menutup tulisan ini dengan memproposalkan sebuah solusi alternatif untuk menghadapi fenomena ekspansi disrupsi ini. Satu-satunya solusi adalah menuntut kita untuk berpikir kreatif, inovatif dan antisipatif.
Kolapsnya perusahaan-perusahaan berkaliber internasional seperti perusahaan Nokia, Blacberry, dll bukan karena mereka tidak mampu bersaing, tetapi justru karena mereka enggan untuk keluar dari zona nyaman pemikirannya.
Para incumbent ini tidak berani untuk membuat suatu terobosan baru yang kreatif, inovatif, dan antisipastif tetapi malah betah dan mengurung diri dalam pola pemikiran yang lama.
Padahal menyetir Clayton M. Christensen “ The concept of disruption is abbout competitive response; it is not a theory of grow. It’s adjacent to growt. But it’s not about growt.”
*Penulis adalah anggota kelompok minat diskusi Centro John Paul II, Ritapiret