Oleh: Rudi Jeharum*
17 April 2019 menjadi hari bersejarah dalam tatanan demokrasi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, pemilu tahun ini dilakukan secara serentak di seluruh tanah air untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota parlemen (DPD dan DPR) baik dari tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
Terlepas dari hiruk pikuk kompetisi di legislatif, persaingan di kanal eksekutif antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi menjadi daya tarik tersendiri pada pemilu kali ini.
Kedua paslon tidak hanya menyedot perhatian lewat strategi dan taktik, tetapi juga lewat adu gagasan yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ruang debat visi-misi yang digalang KPU sebanyak lima kali menjadi acuan bahwa titik demokrasi bangsa Indonesia kian membuka diskursus untuk menelaah berbagai polemik bangsa.
Berbagai isu dirangkum dalam delik pertanyaan menarik yang disusun oleh para pakar dan menjadi sarana untuk menggali kualitas para calon presiden dan wakil presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan.
17 April telah berlalu. Kita pun telah memberikan amanat penderitaan maupun masalah ke tangan para kandidat. Setelah itu apa yang harus kita lakukan sebagai rakyat?
Dari Voters menjadi Demos
Ruang demokrasi telah menggerakan seluruh komponen masyarakat untuk terlibat aktif dalam mengkaji serta menggali kualitas para calon pemimpin bangsa.
Voters (pemilih) yang cerdas pasti sudah memiliki pengetahuan tentang capres ataupun caleg yang hendak dipilihnya berdasarkan visi ataupun misi yang mereka embani.
Tetapi voters hanya bertindak dalam pemilihan (voting) yaitu proses pemberian hak suara dengan memilih salah satu calon yang sesuai dengan kriteria pemilih.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa proses pemberian suara melalui voting cenderung lemah, karena yang terpilih adalah calon yang memiliki suara mayoritas bukan berarti yang kalah karena disposisi suaranya kurang menjadi calon yang mutlak tidak memiliki kompetensi untuk memimpin.
Kedaulatan rakyat bukan hanya bergerak dalam pemberian hak suara pada saat pemilu melainkan lebih pada kepekaan untuk menjadi pengontrol kebijakan pemerintah selama masa kepemimpinan pemimpin terpilih.
Filsuf Yunani, Plato menyatakan ketidaksukaannya terhadap asas demokrasi yang lebih menekankan voting dan penentuan kebijakan karena suara terbanyak (mayoritas) di mana gurunya, Sokrates dihukum karena mayoritas suara warga polis.
Maka nuansa demokrasi mesti kental terhadap pengakuan hak demos untuk mengakali kebijakan voting. Demos (rakyat) tidak hanya mereka yang punya hak untuk memilih (voters) tetapi juga seluruh komponen masyarakat yang siap untuk menyatakan sikap peduli untuk mengontrol kebijakan pemerintah.
Demos bukan saja kumpulan para voters melainkan mereka yang tanggap terhadap kepemimpinan para pemimpin.
Prof Magnis Suseno mengajukan suatu solusi untuk menyikapi diktator mayoritas dengan cara mendahulukan pengakuan hak-hak yang sama setiap rakyat.
Tampak jelas bahwa selama pemilu diselenggarakan di Indonesia, rakyat hanya bertindak sebagai voters yang memberikan hak suara sekali dalam lima tahun.
Sedangkan nuansa demokrasi belum benar-benar berjalan di mana demos harus aktif untuk ikut memerintah sebagai asas pengakuan kedaulatan rakyat.
Hal ini tentunya memacu semangat sense of belonging terhadap Negara ataupun sistem demokrasi. Alhasil, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sungguh mutlak menjadi kebijakan publik bukan kebijakan pemerintah semata.
Kontrol dan peran serta rakyat dalam mengambi kebijakan menjadi syarat mutlak dalam membangun demokrasi bangsa.
Peran Demos
Hasil hitung cepat lembaga survey Litbang Kompas menempatkan pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul 54,52% dari pasangan Prabowo-Sandi yang hanya meraih 45,48% (Kompas, 18 April, data update pukul 10.42 WIB).
Hasil ini belum menjadi titik final sebelum KPU mengumumkan hasil resmi pemilihan presiden dan wakil presiden untuk periode 2019-2024.
Jika pasangan Jokowi-Ma’ruf benar-benar terpilih sebagai pemimpin tertinggi Indonesia untuk lima tahun ke depan, voters harus bergerak maju menjadi demos untuk menjadi pengontrol kebijakan pasangan “kesayangan” yang telah terpilih.
Sikap yang bijak hanya terlahir dalam diri demos yang benar-benar memaknai arti penting kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi. Sebagaimana gagasan demokrasi menurut Abraham Lincoln yang memaknai demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dengan demikian, rakyat bebas untuk bersuara atau beraspirasi demi menyalurkan kepentingannya. Sedang pemerintah terpilih wajib untuk mendengarkan, merancang, memutuskan dan melaksanakan kebijakan yang harus mendukung kepentingan rakyat demi terciptanya bonum commune sebagaimana cita-cita demokrasi.
Tanggung jawab ini tidak hanya diemban oleh kubu 01 jika kandidat pilihannya diputuskan menang oleh KPU. Mengontrol sembari menyuarakan aspirasi rakyat bawah harus terus digalang setelah ritual pemilihan dilangsungkan.
Untuk itu, para pendukung tentunya harus terus memantau dan mengawasi hasil perhitungan cepat dengan kondisi riil di lapangan (TPS) untuk mengetahui secara pasti hasil pemilu.
Para pendukung capres 02 juga dituntut untuk menjadi demos yang siap untuk mengkritisi kebijakan 01 jika keluar sebagai pemenang. Justru para pendukung 02 wajib untuk menjadi tim opisisi dalam setiap keputusan pemerintah agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar pro rakyat.
Maka, konsekuensinya pemenang harus segera menyiapkan program kerja, mengaktifkan visi dan misi menjadi kebijakan publik yang tentunya tidak bertentangan dengan keinginan masyarakat.
Pemenang tidak boleh memilah dan mengabaikan voters yang tidak memilihnya dan hanya fokus membangun pada daerah yang mendukungnya.
Pemimpin dipilih untuk memimpin seluruh bangsa demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, voters harus menjadi demos untuk terus mengontrol kebijakan pemerintah.
Tugas pemilih tidak selesai di TPS tetapi terus kritis terhadap kebijakan pemerintah untuk lima tahun ke depan. Mari bergerak menjadi demos yang peduli terhadap keutuhan demokrasi bangsa Indonesia.
*Penulis adalah peminat isu sosial-politik, tinggal di Kota Kupang