Borong, Vox NTT-Sudah lebih dari se-abad lamanya warga Desa Rana Masak, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi NTT mengalami kekurangan air minum bersih.
Masalah ini pun kian akut. Berlarut-larut. Bahkan tak luput dari pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik. Kadang warga kampung sering berucap keluh. Namun, suara rintihan itu hanya sebatas narasi “dapur” dan “ruang tamu” temani setiap momen saat menyeruputi kopi.
Pagi, siang, sore, senja hingga malam “sama saja” diskusi masih berkutat pada susahnya air. Keluhan itu pun enyah ditelan sinar. Fajar hingga sanset sampai malam menyapa. Begitulah seterusnya.
Lantaran lama, mereka seolah sudah biasa dengan krisis itu. Mungkin pula sudah menjadi tradisi dii telan zaman. Bisa saja.
Namun mirisnya, hampir setiap hajatan pesta rakyat warga desa selalu dijanjikan oleh para elit tentang kebutuhan air. Bahkan mereka yang datang meraup suara rakyat itu, lantang menyatakan air bakal menjadi prioritas.
“Kami di sini pernah dijanjikan waktu kampanye bupati, DPR, ataupun kepala desa (kades) untuk dapatkan air bersih tetapi sampai sekarang janji tak kunjung jadi kenyataan,” ucap Patrisius pemuda desa Rana Masak saat ditemui VoxNtt.com, Rabu 5 Juni 2019 lalu, di Kampung Papang.
Janji datang lalu pergi tanpa pamit. Begitulah setiap pesta 5 tahunan itu digelar. Kepala Desa, DPR, Bupati sama saja. Mereka tetap seperti yang dulu. Dipilih, terpilih lalu memilah saat mengabdi.
Bisa saja kolega, handaitolan bahkan keluarga. Bak harimau kelaparan yang hanya mengeluarkan auaman-auman retorika di atas panggung.
“Semua sama saja, tak ada bukti. Janji tinggal janji,” ucap Patrisius resah.
Nebeng di Desa Tetangga
Pria 24 tahun itu, geram. Ia cukup beralasan. Sudah lama mereka merasakan ketiadaan air. Depan rumahnya ada setumpuk jeriken. Adapula tong besar. Menada air di kala hujan tiba.
Hujan adalah keberuntungan. Bila tidak mereka harus berjalan kaki 2 kilometer (km) jauhnya. Di sana ada mata air. Tak pernah kering. Menghalau setiap musim kemarau. Namanya Wae Tala.
Wae Tala sebagian besar dimanfaatkan warga Kampung Papang. Di desa itu selain Wae Tala ada juga Wae Tempok. Wae Tempok dimanfaatkan oleh Warga
Kampung Lewe.
Namun, debit kedua mata air itu sangat kecil. Saat musim kemarau tiba warga harus mengantre. Momen itu pun, sungguh menyisakan luka dan duka.
“Kami kadang antre sampai 50 jeriken itu kalau musim kemarau, kalau musim hujan kami manfaatkan air hujan untuk keperluan sehari-hari,” ucapnya.
Kini, sebagian warga mendapat air segar dari desa tetangga. Desa itu namanya Golo Ndele. Tepatnya di Kecamatan Kota Komba. Sekitar 100 meter dari rumah Patrisius. Desa itu punya air PAM.
“Kami puluhan Kepala Keluarga di sini dapat air dari kampung sebelah, yang jauh masih timba di kali,” tukasnya.
Enam Kilometer dari Lehong
Desa Rana Masak tak begitu jauh dengan Lehong, pusat pemerintahan Kabupaten Matim. Sekitar 6 kilometer (km) jaraknya. Namun, realitas “penderitaan” tak kunjung menepis. Infrastruktur “babak belur”. Menuju kampung pun mereka harus “turun naik”.
Jalan penuh lubang dan berbatu. Adapula bekas lapen yang dibangun tak berkelas. Begitulah kisah pahit yang mereka alami. Jarak tempuh 10 menit menjelma menjadi 50 menit, bahkan lebih dari se-jam lamanya dari Borong, ibu kota Matim.
Air keruh jalan berbatu bukanlah hal baru. Mereka tak kunjung ditengok. Padahal ada potensi alam luar biasa. Cengkih, kakao, kopi, kemiri, keladi jadi andalan.
Namun, realitas Pemda Matim masih menutup mata melihat duka yang kian akut di Desa Rana Masak.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba