Maumere, Vox NTT–Ambrosius Roliyanto (34), warga Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Flores, NTT mengalami kecelakaan kerja di negeri Jiran pada tahun 2014 silam.
Akibat kecelakaan itu, Roliyanto mengalami patah pinggang (tulang saraf bagian belakang).
Sejak saat itu, ia tidak bisa beraktivitas lagi. Dirinya hanya bisa baring di tempat tidur dan duduk paling lama 15 menit.
Barbara Adinda (32), isteri Roliyanto menceritakan, sang suami mengalami kecelakan kerja di perusahaan kelapa sawit di Malaysia pada tahun 2014 lalu.
Ia menuturkan, suaminya bekerja di perusahaan kelapa sawit sebagai buruh. Setiap hari, sang suami memasukkan buah kelapa sawit dari tempat penampung ke dalam truck untuk diantar ke gudang perusahaan.
“Pas dia lagi kerja kasih masuk sawit ke truck, tiba-tiba papan tempat penampungan patah. Ia jatuh dan tertendes papan yang bermuatan sawit yang beratnya sekitar 28 ton lebih. Dia tertendes itu selama setengah jam,” tutur Barbara kepada VoxNtt.com, Jumat (12/7/2019).
Ia melanjutkan, rekan-rekan kerja menyelamatkan suaminya dari kecelakaan dan langsung diantar ke klinik perusahaan. Dari klinik lalu diantar ke rumah sakit Laha Dato. Dari Laha Dato ke Sandakan, dan terakhir di Keke.
“Dia dirawat di 3 rumah sakit memang. Di Laha Dato dan Sandakan tidak ada alat untuk sambung tulangnya yang patah. Makanya diantar ke Keke. Setelah pasang alat itu di Keke, baru kembali ke Lahadato untuk melaksanakan perawatan lanjutan,” kisah Barbara.
“Dia 2 bulan dirawat di rumah sakit. Menurut dokter suami saya alami patah tulang saraf bagian belakang. Tidak bisa disambung lagi. Kecuali mukjizat Tuhan baru bisa sembuh. Bayar pengobatan, ditanggung perusahaan dengan otong asuransi,” sambungnya.
Barbara menceritakan, sejak keluar dari rumah sakit ia dan sang suami menempati rumah yang disiapkan perusahaan.
“2 tahun kami bertahan di Malaysia. Hidup di rumah perusahaan. 1 bulan setelah keluar dari rumah sakit biaya hidup ditanggung perusahaan. Setelah itu, saya sendiri yang kerja cari uang untuk kebutuhan dan beli obat suami,” ungkapnya dalam nada sedih.
Sejak sang suami dilanda kecelakaan berat itu, begitu banyak duka yang harus dialami keluarga mereka. Hal itu tidak membuat sang istri putus asa apalagi kehilangan cinta. Ia tetap menjaga sang suami dengan tulus.
“Saya kerja untuk beli makan obat sang suami. Saya kerja mendata perolehan sawit 1 orang dan kelompok (ceker). Sejak suami sakit, perusahaan memberi keringanan. Saya kerja bersih di sekitar kantor saja. Penghasilan saya waktu itu bulan 1000 ringgit per bulan. Kalau dirupiahkan bisa 3 juta lebih,” ungkapnya.
Ia mengatakan, sebenarnya gaji yang ada tidak cukup tetapi dicukupkan saja untuk memenuhi kebutuhan.
“Kadang kalau uang tidak cukup, saya tunggu makan dari teman kerja. Uang sendiri itu utamakan untuk beli obat sang suami,” katanya.
Ia melanjutkan, kendala lain yang dialami saat berada di Malasyia adalah tidak ada keluarga untuk membantu sang suami apabila hendak berobat ke klinik.
“Kalau mau masuk ke klinik orang-orang yang bantu antar ke rumah sakit. Untung teman-teman bisa bantu kami,” ungkapnya.
Pulang ke Fores
Barabara mengungkapkan, pada April 2016 lalu, ia dan suaminya memutuskan untuk kembali ke Kabupaten Sikka, Flores, tempat keduanya dilahirkan. Alasannya, paspor sang suami tidak bisa diperpanjang lagi.
“Dari 2014 sampai sekarang saya tetap merawat dia. Kalau saya tidak merawat dia siapa lagi. Untuk buang air besar dia harus pakai obat perangsang. Kencingnya pakai keteter. Dia juga pakai pampers,” ungkapnya.
Kondisi sang suami yang semakin parah membuat dirinya tidak bisa bekerja untuk mencari uang.
“Suami mau BAB kan harus dibantu. Jadi saya tidak bisa keluar jauh memang. Di sini juga yang ada saya dan dia saja. Bapa-mamanya sudah meninggal dunia. Suami saya ini anak yatim piatu,” kata Barbara.
Ia menuturkan, obat perangsang, keteter, dan pampers merupakan kebutuhan pokok sang suami. Setiap minggu obat perangsang dan keteter harus diganti.
“Kadang saya kalau kurang uang, makan ubi saja. Uang utamakan untuk beli obatnya dia. Hasil jualan gula-gula saya di rumah tidak cukup untuk kebutuhan. Tetapi, kami usaha cukup saja. Mau bagaimana lagi,” tuturnya.
Sang suami memang mempunyai Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun, tidak bisa digunakan. Pasalnya, sang suami tidak berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Suaminya hanya membutuhkan obat yang dibeli di apotek.
“Bagian pusat ke bawah dia punya itu mati rasa. Dia bisa duduk bertahan 15 menit saja. Kalau dia duduk sudah keringat pasti langsung pingsan. Saat ini dia hanya bisa duduk dan baring saja. Saya tidak sanggup lagi menceritakan kondisi suami saya. Begitu saja dulu. Nafas saya sudah sesak,” ungkap Barbara sambil mengusap air matanya. (VoN).