Oleh: George Hormat Kulas*
Beberapa bulan lalu, kepada seorang kawan, pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di NTT, saya katakan, “Ya siap-siap saja, akan ada pertarungan di Komodo jika Gubernur serius dengan rencana memindahkan orang-orang di Pulau Komodo. Mereka pasti melawan. Mungkin solidaritas kawan-kawan dibutukan rakyat dan para aktivis di sana.”
Beberapa hari lalu, BBC.com mempublikasi artikel Rebecca Henschke and Callistasia Wijaya. Judulnya sangat menarik, “The fight for Dragon Island.”
“It’s called Komodo Island, so it’s for the Komodo not for humans. There will be no human rights there, only animal rights,” pernyataan Gubernur Laiskodat dikutip di sana.
Pernyataan ini memicu gelombang ketiga polemik publik terkait rencana Gubernur NTT mengutak-atik Komodo. Protes rakyat mulai muncul dalam bentuk aksi-aksi unjuk rasa.
Video: Rapat Soal Rencana Penutupan Pulau Komodo Nyaris Ricuh, Begini Suasananya
Pada 17 Juli, ratusan perwakilan warga Pulau Komodo mendatangi DPRD Manggarai Barat, menyatakan penolakan mereka terhadap rencana penutupan TKN dan pengusiran mereka dari tanah kelahiran(“Aksi Damai di Labuan Bajo, Tolak Penutupan Pulau Komodo.” Detik.com. 17/7/2019).
Pada 22 Juli diadakan Rapat Dengar Pendapat antara puluhan perwakilan warga Pulau Komodo dengan Wakil Bupati Manggarai Barat Maria Geong, Kepala Dinas Pariwisata Manggarai Barat Agustinus Rinus, dan Kepala Balai Taman Nasional Komodo Lukita Awang (“Tolak Penutupan Pulau Komodo, Warga Mengadu ke DPRD Manggarai Barat.” Detik.com. 22/7/2019).
Karena Komodo adalah milik seluruh rakyat Indonesia, dan karena penduduk Pulau Komodo adalah saudara sebangsa yang penderitaannya menjadi penderitaan seluruh anak bangsa, ada baiknya publik seantero negeri turut menyimak tengkar pendapat yang kini berlangsung di NTT.
Polemik pertama mencuat ketika November 2018 Gubernur mewacanakan kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo. Bukan main-main, 500 dolar untuk wisatawan mancanegara. Itu setara Rp 7 juta pada kurs Rp 14.000, naik 5000 persen dibanding saat ini yang sebesar Rp 150ribu. Ini belum termasuk rencana kebijakan pungutan khusus terhadap kapal yang membawa turis ke sana.
Maksud Gubernur sebenarnya baik. Ia menilai tarif masuk saat ini terlalu rendah, tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan untuk konservasi kawasan TNK.
Demikian pula tarif masuk yang rendah tidak banyak memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat NTT, terutama Manggarai Barat, kabupaten tempat keberadaan TNK.
“Ini tempat langka, sehingga hanya khusus bagi mereka yang cukup uang saja. Yang tidak cukup uang tidak usah datang karena tempat ini khusus buat orang yang luar biasa,” kata Pak Viktor Laiskodat (Dari Rp 150 Ribu Jadi Rp 7 Juta, Gubernur NTT Berencana Naikkan Harga Tiket Masuk Taman Nasional Komodo. Grid.id. 23/11/2018).
Tetapi pertanyaan W.S Rendra memang selalu kontekstual. “Lantas maksud baik Saudara untuk siapa?” (“Pertemuan Mahasiswa” 1977). Saya khawatir, jika maksud baik Gubernur jadi dilaksanakan, bukan rakyat yang mendapat keuntungan.
Saat berwisata, orang-orang kaya lebih senang memanfaatkan paket layanan lengkap dengan layanan memadai. Itu berarti, mereka membeli dari satu pintu saja seluruh jasa yang tercecer dalam rantai nilai industri pariwisata, semenjak penerbangannya dari kota asal, penginapan, layanan berpelesir keliling di TNK, urusan makan, hingga terbang pulang.
Peluang ada uang tercecer ke lapak rakyat di pinggir jalan atau ke penawar jasa invidual kecil saja. Uang yang banyak itu masuk ke satu-dua kantong, ke kantor agen wisata di kota asal mereka di belahan dunia lain, atau di kota-kota besar di Jawa, mungkin pula Bali, atau perusahaan-perusahaan swasta besar yang mendirikan kantor cabang di Labuan Bajo.
Berbeda jika wisatawannya turis-turis kere, yang karakternya “jalan dulu baru bikin rencana”. Mereka lebih senang menginap di homestay murah, berpelisiran dengan kendaraan umum atau menyewa dari usaha kecil milik rakyat; makan di warung-warung pinggir jalan. Sekalipun uang yang mereka belanjakan sedikit saja, lebih banyak yang masuk ke kantong rakyat. Karena jumlah mereka banyak, akumulatif banyak pula yang masuk ke dompet rakyat. Banyak rumah tangga bisa hidup dari sana.
Perlu diakui, ini baru kesimpulan berdasarkan pengamatan empirik ala kadarnya. Mungkin perlu seseorang bikin riset agar tahu persis karakter aliran duit per golongan wisatawan berdasarkan kere-tajirnya. Tetapi kesimpulan yang tidak berlandasan proper ini sudah bikin saya meragukan perkataan orang-orang tentang orientasi pembangunan wisata Gubernur Laiskodat yang konon menitikberatkan pendekatan wisata berbasis komunitas.
TNK akan Ditutup Sementara
Gelombang polemik kedua adalah ketika Gubernur Laiskodat menyampaikan akan menutup sementara TNK untuk kepentingan penataan.
Wacana ini berkaitan dengan kepentingan pertama yaitu tarif tinggi perlu diimbangi dengan penataan kawasan yang lebih baik, plus demi konservasi TNK.
“Namanya taman itu harus indah dan biar habitat komodo di sana, bisa nyaman dan kita bisa lakukan rekayasa genetik untuk komodo kembalikan habitatnya, jangan makin lama makin kecil tapi dia makin membesar”. Demikian pada Januari 2019, Pak Laiskodat sampaikan ideal TNK versinya. Indah bagi manusia dan sehat alamiah bagi keberlangsungan hidup komodo (“Gubernur NTT Akan Tutup Taman Nasional Komodo Bagi Wisatawan” Merdeka.com. 21/1/2019).
Gubernur mencemaskan menipisnya populasi rusa, yang berarti pula keberadaan Komodo dalam ancaman. Beralasan jika Gubernur menghubungkan kian kecilnya tubuh komodo-begitu yang ia amati-dengan dugaan berkurangnya populasi rusa.
Memang, soal berkurangnya populasi rusa ini masih diperdebatkan. Informasi yang dimiliki Gubernur Laiskodat berbeda dengan yang diketahui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam data versi KLHK, yang mereka peroleh tahun 2017, ada 3.900 rusa dan 200 kerbau hidup di Pulau Rinca, Pulau Komodo, Pulau Padar, Pulau Gili Motang dan Pulau Nusa Kode. Pulau-pulau ini tempat komodo hidup.
Dengan jumlah demikian, menurut KLHK tidak ada penurunan populasi rusa yang patut dicemaskan (“Catatan KLHK di TN Komodo: Jumlah Rusa Lebih Banyak dari Komodo” Detik.com. 22/1/2019).
Saya tidak paham diet komodo. Namun data KLHK itu mencemaskan saya. Bukankah biasanya dalam ekosistem yang sehat itu jumlah makanan beberapa kali lipat pemangsa?
Dengan populasi 3.900 rusa dan 200 kerbau, pikiran awam saya membayangkan komodo harus banyak menjadwalkan puasa sebab jumlah mangsa hampir setara jumlah mereka. Menurut KLHK, pada 2017 hidup 2.762 komodo, tersebar di Pulau Rinca (1.410), Pulau Komodo (1.226), Pulau Padar (2), Pulau Gili Motang (54) dan Pulau Nusa Kode (70).
Terlepas dari berkurang-tambahnya populasi hewan mangsa komodo, sebanding-tidaknya jumlah mereka terhadap komodo, niat Gubernur Laiskodat untuk merenovasi TNK, yang termasuk di dalamnya memperketat pengamanan untuk mencegah pencurian rusa, adalah benar dan baik.
Sudah beberapa kali terjadi pencurian rusa oleh pemburu liar dari provinsi lain. Ada yang digagalkan kepolisian, sangat mungkin lebih banyak yang tidak terdeteksi. Kejahatan selalu merupakan fenomena gunung es. Yang terdeteksi hanya sembulan putih putingnya di permukaan laut biru.
KLHK tidak menolak rencana penutupan sementara TNK. Mereka mengamini perlunya penataan kawasan TNK, termasuk perbaikan tata kelolanya demi konservasi Komodo sebagai warisan dunia.
“Oleh karenanya, perlu dilakukan perbaikan tata kelola khususnya terkait dengan pengamanan dan perlindungan satwa komodo termasuk ketersediaan mangsanya, terutama rusa,” kata Direktur Jenderal KSDAE Kementerian LHK Wiratno (“KLHK Bentuk Tim Terkait Rencana Penutupan Pulau Komodo” Republika.co. 6/2/2019).
Tetapi penutupan dan penataan perlu hati-hati, tidak boleh gegabah. Dibutuhkan kematangan studi dan perencanaan, serta pelibatan banyak pihak terkait. Untuk itu pada Februari 2019 sudah diadakan rapat koordinasi antara KLHK (diwakili Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Pemprov NTT, dan Pemkab Manggarai Barat.
Rakor tiga pihak ini menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain dibentuk tim terpadu untuk mengkaji penutupan dan pembukaan TNK, termasuk waktu yang tepat (hasil kajian ini akan diserahkan kepada Menteri LHK pada Agustus mendatang); penerapan sistem satu pintu (di Labuan Bajo) jalur masuk kapal dan penjualan tiket menuju TNK; peningkatan kontrol dan pengawasan terhadap aktivitas wisatawan di Pulau Komodo, juga snorkeling, diving di perairan TNK; dan diadakan kajian terhadap tarif masuk dengan melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Pariwisata, dan para operator wisata maupun Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA).
Semoga tim terpadu ini bisa merencanakan dengan matang penutupan, penataan, dan perbaikan tata kelola TNK agar jangan sampai mengorbankan kelompok masyarakat yang menyandarkan priuk nasinya pada sektor pariwisata. Sebab sekali lagi gugatan Rendra penting diingat, “Lantas maksud baik Saudara untuk siapa?”
Rakyat Pulau Komodo akan Digusur
Keriuhan ketiga merebak setelah Mei lalu Gubernur menyatakan akan memindahkan masyarakat Pulau Komodo ke Pulau Rinca dan Padar.
“Kami juga mau agar tidak ada manusia yang tinggal di Pulau Komodo. Mereka yang sekarang tinggal di sana akan kami pindahkan ke Pulau Rinca atau Pulau Padar. Tentunya, dalam urusan memindahkan penduduk ke tempat yang lain itu tidak gampang. Menjadi tugas pemerintah, untuk mengatur hidup mereka agar lebih baik dan lebih layak. Kami akan buat kajian tentang itu,” (“Gubernur NTT: Kita Mau Tidak Ada Manusia yang Tinggal di Pulau Komodo” Kompas.com. 22/5/2019).
Masyarakat Pulau Komodo Bakal Direlokasi, Gubernur Viktor: Mereka Tinggal Liar
Jika pernyataan pertama dan kedua hanya memicu polemik. Pernyataan ketiga memprovokasi rakyat melakukan demonstrasi penolakan.
Menarik menyimak Detik.com memberitakan argumentasi rakyat Pulau Komodo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Pemkab Manggarai Barat dan pengelola TNK, 22 Juli lalu (“Warga Desak DPRD-Bupati Manggarai Barat Ikut Tolak Penutupan Pulau Komodo” Detik.com. 22/7/2019).
Sedikit apresiasi, beginilah seharusnya media massa memberitakan protes rakyat, yaitu dengan menguraikan argumentasi rakyat. Selama ini aksi-aksi unjukrasa rakyat lebih banyak diberitakan kemacetan dan bentrokannya. Yang panjang lebar dikutip justru pernyataan pejabat pemerintah yang didemo. Salut untuk Detik.com yang dalam kasus ini tidak menempatkan diri sebagai humas pemerintah.
Dalam artikel berita itu, diuraikan argumentasi juru bicara warga, Iksan, yang iktisarnya kurang lebih sebagai berikut.
Pertama, kehadiran Taman Nasional Komodo dahulu adalah hasil dialog dengan musyawarah dengan rakyat. Maka sebaiknya urusan utak-atik TNK sekarang pun dilakukan dengan musyawarah.
Kedua, sebelum TKN hadir, 100 persen warga Pulau Komodo adalah nelayan. Keberadaan TKN sudah membatasi ruang gerak mereka sebagai nelayan dan secara perlahan mengalihkan mata pencaharian ke sektor pariwisata.
Kini, setelah 90 persen warga Pulau Komodo menggantungkan hidup di sektor pariwisata, mereka hendak digusur ke Pulau Padar dan Rinca.
Ketiga, warga Pulau Komodo sejak dahulu hidup bersabat dengan alam, termasuk dengan komodo, Inilah yang membuat komodo lestari. Warga Pulau Komodo menyadari pentingnya kelestarian Komodo sebab pada daya tarik kadal raksasa itulah hidup 90 persen warga Pulau Komodo kini bergantung.
Warga lantas menuntut 1) Gubernur Laiskodat membatalkan rencana penutupan Pulau Komodo dan pemindahan sebagian ataupun seluruh penduduk; 2) Presiden Joko Widodo mencabut pernyataan dukungannya terhadap rencana penutupan Pulau Komodo; 3) model pengembangan pariwisata di Kampung Komodo berpihak pada kepentingan masyarakat.; 4) Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) berpihak pada kepentingan masyarakat Komodo, di samping menjalankan tupoksinya sebagai badan konservasi.
Saya terkejut membaca kalimat Gubernur Viktor Laiskodat menanggapi protes rakyat Pulau Komodo. Diberitakan Liputan6.com, Gubernur katakan, “Mereka tidak punya sertifikat dan presiden berkeinginan mereka memiliki sertifikat, punya kepemilikan sendiri, sehingga mereka jelas, warga negara yang jelas.” (“Tanggapan Gubernur NTT soal Unjuk Rasa Menolak Penutupan Pulau Komodo,” 24/7/2019).
Mungkin saya kelewat parno sehinga membaca pernyataan ini seketika membayangkan cerita orang-orang dahulu tentang kediktatoran Orde Baru. Mungkin berlebihan kesan saya terhadap pernyataan ini, membaui pelanaran dan niat jahat di baliknya.
Tetapi membenturkan penguasaan rakyat atas wilayah tempat tinggalnya dengan sertifikat memang cara berpikir yang khas orba dan tak terhindari menimbulkan curiga atas niat di baliknya.
Boleh jadi sama sekali tak ada niat Gubernur membawa ke sana, namun sulit dihindari pernyataan itu berpotensi memantik narasi bahwa orang-orang di Pulau Komodo adalah pendatang. Ini berbahaya!
Untuk itu mungkin perlu saya tambahkan argumentasi orang-orang Pulau Komodo tadi.
Masyarakat Pulau Komodo adalah Warga Turun-temurun
Orang-orang di Pulau Komodo jelas bukan pendatang. Rekam jejak keberadaan mereka di sana dibuktikan oleh catatan sejarah plus hikayat rakyat yang hidup turun-temurun, selain tentu saja bukti fisik seperti kuburan nenek moyang dan peninggalan lain. Negara juga mengakui administrasi wilayah pemukiman mereka.
Dari paper Rodney Needham, Profesor antropologi sosial dari Oxford (“Principles and variations in the social classification of Komodo.” 1986) kita bisa tahu bahwa Pulau Komodo sudah dihuni sejak sebelum 1847, tahun ketika penduduk pulau itu pindah ke Bima untuk menyelamatkan diri dari serangan Bajak Laut.
Saat itu di perairan NTT, termasuk hingga ke Sumba, merajalela para bajak laut Sulawesi (Bugis, Makasar, bahkan Butung di Sulawesi Tenggara). Mereka menyerang kampung-kampung, menjadikan penduduk yang ditawan sebagai komoditi budak.
Gara-gara kepindahan itu, pada 1855 Pulau Komodo dilaporkan tidak berpenghuni. Seiring waktu, orang-orang Pulau Komodo yang lari ke Bima kembali ke kampung halaman. Demikian pula orang-orang Manggarai bermigrasi ke sana.
Maka pada 1930 tercatat ada 143 jiwa menghuni Pulau Komodo. Jumlah itu kemudian meningkat tiga kali lipat dalam setengah abad. Ketika Verheijen berkunjung ke sana pada 1977, kepala desa menginformasikan jumlah jiwa di sana 505 orang.
Saat itu Verheijen memetakan asal-usul penduduk Pulau Komodo berdasarkan kampung halaman pria kepala keluarga. Diperoleh penggolongan asal-usul 85 keluarga penghuni Pulau Komodo: dari Manggarai (Lo’ok, Lenteng, Kenari, Sesok, Tado, Munting, dan Welak) 40 keluarga, 47%; Sumbawa Timur (Bima dan Sape) 25 keluarga, 29,%; Sumba 6 keluarga, 7%; tempat lain (Solor, Bonerate, Ambon, Ende, Bugis, dan Kampung Bajo) 14 keluarga, 16,5%.
Mungkin banyak yang kaprah ketika sebagian cukup besar penduduk di Pulau Komodo menceritakan asal-usul nenek moyang mereka dari Bugis. Orang menyangka mereka “warga pendatang”.
Sekalipun pendatang, itu adalah kisah sejak paruh pertama 1500-an hingga akhir 1600-an, yaitu ketika Gowa mulai menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya hingga menaklukan Bima pada 1633; dan berlanjut dengan masa kampanye penaklukan daerah-daerah Gowa oleh raja Bugis, Aru Palakka.
Maka bukan cuma orang-orang Pulau Komodo, masyarakat Manggarai pun (Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur) adalah kesatuan kekerabatan dari para pendatang Pagaruyung (adak Todo-Pongkor, wiayahnya kini Kecamatan Satarmese), Bugis/Makasar (Adak Cibal dan Lambaleda—kawin mawin dengan orang Kuleng), Turki (orang Kuleng, Adak Riwu—kini sebagian wilayah Kec. Borong, Sita dan Pocoranaka), Sumba (Adak Bajo), Bima yang menyebar dari Manggarai Barat, Reo hingga Kecamatan Sambirampas (termasuk dinasti pertama Adak Cibal), dan beberapa daerah lain, plus penduduk yang menghuni Manggarai sebelum kedatangan “bangsa pendatang”.
Adak adalah kerajaan otonom. Tiga yang paling berpengaruh adalah Todo-Pongkor, Bajo, dan Cibal. Dalam sejarah Manggarai pernah terjadi perang perebutan pengaruh antara Adak Todo-Pongkor yang beraliansi dengan Kesulatan Bima melawan Adak Cibal yang beraliansi dengaan Kerajaan Gowa-Tallo.
Kembali ke orang-orang Pulau Komodo. Saat ini, dari 85 keluarga yang dipetakan Verheijen 40 tahun lalu, ditambah orang-orang yang bermigrasi setelahnya, Pulau Komodo dihuni oleh kurang lebih 2.000 jiwa. Mereka menetap di 1 wilayah administrasi desa yang terdiri dari 5 dusun dan 10 RT.
Masyarakat Pulau Komodo juga berkembang, sebagian pindah dan membangun perkampungan di Labuan Bajo (Manggarai), Pulau Rinca, hingga Sumbawa di Nusa Tenggara Barat.
Dalam masyarakat Pulau Komodo hidup hikayat asal-usul sebagian masyarakat yang masih bersaudara dengan Komodo.
Alkisah, diyakini turun-temurun, dahulu hidup perempuan mistis berjuluk Ratu Naga, yang dinikahi Majo, lelaki setempat. Perkawinan keduanya beranugerah sepasang anak kembar.
Anak lelaki seorang manusia, dinamai Gerong. Saudari kembarnya memiliki sosok naga, dinamai Ora. Keduanya lantas dibesarkan terpisah. Gerong di perkampungan, Ora di hutan.
Ketika menginjak dewasa, seperti penduduk kampung umumnya, Gerong berburu makanan ke dalam hutan. Seekor rusa seharusnya ia bawa pulang jika saja seorang kadal besar tidak tiba-tiba keluar dari semak-semak dan merampas hasil buruan tersebut. Berusaha merampas kembali rusa buruan, Gerong mengangkat tombak hendak menikam kadal raksasa. Sekonyong-konyong, Putri Naga dalam sosok perempuan cantik bercahaya muncul.
“Jangan bunuh kadal ini. Ia Ora, saudari kandungmu. Kalian lahir dari rahimku.” kata Sang Puteri.
Demikianlah kisah itu diyakini, tidak semata-mata sebagai cerita tentang asal-usul sebagian penduduk Pulau Komodo, tetapi juga sebagai pesan moral: tugas manusia untuk menjaga Komodo, berbagi sumber daya yang tersedia di pulau, melindunginya sebagai saudari kandung.
Mitologi seperti ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat yang telah sangat tua mendiami suatu daerah, tak terlacak lagi topogeninya sehingga lahir klaim bahwa mereka memang berasal dari sana.
Pada masyarakat Flores bagian Timur (etnis Lamaholot), grup masyarakat seperti Ini disebut orang Ilejadi, salah satu grup besar pembentuk etnis Lamaholot, selain pendatang dari Seram-Goram dan Sina-Java.
Ringkasnya, kejelasan status penguasaan orang-orang Pulau Komodo atas wilayah pemukiman mereka termaterai dengan jelas dalam catatan sejarah dan tutur lisan budaya turun-temurun. Sertifikat dan dokumen-dokumen formal administrasi kenegaraan yang baru lahir kemudian tunduk terhadap bukti konkrit, faktual, dan menyejarah ini.
Lagi pula sejak penentapan Taman Nasional Komodo (TNK) pada 1980, oleh konservasi berpendekatan ecofacism, sudah kecang upaya untuk merampas hak masyarakat Pulau Komodo atas sumber daya agraria, termasuk menghalangi mereka memperoleh sertifikat tanah.
Masyarakat Sudah Pernah Dipaksa Mengalah, Jangan Dua Kali
Sebelum 1980, masyarakat hidup berdampingan secara harmonis dengan Komodo. Tentu saja demikian. Siapa pula yang hendak berkonflik dengan “saudari kandung”? Bagaimana mungkin anak-cucu Gerong membunuh keturunan Ora, sementara nenek moyang mereka, pangkal keberadaan mereka berpesan agar hidup berdampingan berbagi sumber daya?
Tetapi semenjak Pulau Komodo berstatus kehadiran Cagar Alam pada 1960an, ‘anak-cucu Gerong’ hendak dijauhkan dari ‘keturunan Ora’. Menjadi bertambah buruk saat status cagar alam berubah menjadi Taman Nasional; dan lebih buruk lagi ketika TNK diprivatisasi, diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan bisnis wisata-konservasi asal Amerika Serikat.
Kini, andai rencana Gubernur Viktor Laiskodat dilaksanakan, masyarakat Pulau Komodo, para ‘anak-cucu Gerong’ tak cuma terpisah selamanya dari ‘keturunan Ora’.
Lebih dari itu, mereka terpaksa meninggalkan tanah leluhur, meninggalkan mata pencaharian, berpisah dengan kenangan ratusan tahun.
Grace Susetyo dalam artikelnya, “Trouble in Paradise: Komodo Island, Tourism and Conservation” (indonesiaexpat.biz. 29/3/2017) menulis kesaksian Nuhung (80 tahun) tentang penyingkiran bertahap terhadap orang-orang Pulau Komodo oleh kebijakan konversasi berwatak ekofasis, dan lebih buruk lagi ketika konservasi hanya menjadi jubah kepentingan bisnis pariwisata.
Pada masa Cagar Alam, masyarakat masih diizinkan mengambil kayu, pelepah lontar, dan ilalang sebagai bahan membuat rumah. Penduduk Pulau Komodo juga masih boleh membuka kebun dan berburu hewan (babi hutan).
Ketika Cagar Alam berubah status menjadi Taman Nasional (1982), penduduk dilarang memanfaatkan kayu di hutan untuk membangun rumah. Di saat bersamaan zona konservasi laut diperkenalkan.
Zona konservasi dibutuhkan untuk mencegah kerusakan terumbu karang akibat praktik penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Tetapi seringkali kebijakan ini tidak disertai pemetaan problem yang serius sehingga rakyat setempat, para nelayan artisanal yang jadi korban.
Di banyak tempat, pengguna bahan peledak adalah nelayan-nelayan yang datang dari pulau-pulau yang jauh. Sementara nelayan artisanal justru merawat wilayah perairan mereka, sebab mereka tak punya cukup sumber daya untuk berlayar mencari ikan hingga perairan yang jauh. Siapa yang sedemikian bodohnya membakar lumbung sendiri?
Kesalahan seperti ini serupa kebijakan konservasi hutan yang melahirkan konflik tapal batas dengan rakyat di pinggir kawasan. Para perusak hutan adalah orang-orang kota yang menebang pepohonan demi papan dan balok sebagai komoditi. Tetapi yang disingkirkan, dijauhkan dari hutan justru masyarakat tepi kawasan, komunitas yang mengambil kayu secukupnya untuk kebutuhan subsistens membangun rumah dan kayu bakar.
Padahal, komunitas masyarakat di tepi hutan lazimnya orang-orang yang menjaga kelestarian hutan sebab kehidupan mereka sangat bergantung kepadanya. Bukannya memberdayakan partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan hutan, pemerintah lebih suka mempekerjakan polisi hutan yang sangat mungkin khilaf terhadap godaan tawaran kerjasama penebang liar.
Seperti masyarakat pinggiran hutan, demikian pula orang-orang Pulau Komodo memiliki kearifan lokal turun-temurun dalam menjaga keberlanjutan alam, sumber penghidupan mereka.
“Nenek moyang kami bekerja mengumpulkan sumber daya alam sebatas kebutuhan. Mengumpulkan sumber daya alam berlebihan adalah tabu. Nenek moyang kami punya kepala suku yang bertugas menentukan musim penangkapan ikan. Mereka mencari tanda-tanda di alam yang mengindikasikan meningkatnya populasi ikan dan udang, dan mengadakan forum komunitas untuk menentukan syarat dan ketentuan musim penangkapan ikan dalam konsensus.” Demikian Grace mengutip cerita Ridwan, ranger Taman Nasional Komodo tentang kebijaksaan orang-orang Pulau Komodo.
Tetapi konservasi berpendekatan ekofasis, apalagi bisnis wisata bertopeng konservasi menempatkan masyarakat lokal, para penjaga lingkungan sesungguhnya justru sebagai tersangka kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap keberlangsungan komodo, ‘saudari kandung’ sendiri.
Maka semenjak Taman Nasional Komodo hadir 1980an, perlahan namun pasti, masyarakat Pulau Komodo diasingkan dari kehidupan berburu, bertani, dan menangkap ikan di laut.
Pada 2016, Gregorius Afioma menulis, privatisasi pengelolaan Taman Nasional Komodo pada 2005 (kontrak 30 tahun) telah menyingkirkan lebih jauh lagi penduduk Pulau Komodo dari sumber penghidupannya (“Konservasi Kepentingan melalui BOP.” Indoprogress.com. 11/11/2016).
Pengelolaan TNK diserahkan kepada perusahaan swasta PT. Putri Naga Komodo (PNK), perusahaan yang sebagian sahamnya dikuasai the Nature Conservacy (TNC), perusahaan manajemen konservasi dan pariwisata yang berbasis di Amerika Serikat.
Privatisasi manajemen TNK ke pemodal industri pariwisata berlangsung bersamaan dengan penegakkan zonasi kawasan TNK yang pada tahun 2000 dibagi ke dalam 9 zona. Kian banyak wilayah larangan bagi para nelayan Pulau Komodo untuk menangkap ikan.
Patroli aparat di wilayah-wilayah larangan diperketat. Masyarakat yang kedapatan melanggar akan berhadapan dengan pemenjaraan dan tidak jarang juga kekerasan fisik.
Saya masih ingat, pada 2004 ketika di Colol, Manggarai sedang berlangsung Musyawarah Besar Petani Manggarai. Hanya beberapa pekan sebelum meletusnya Peristiwa Rabu Berdarah, Farid, seorang staf Walhi Nasional diminta Ridha Saleh (saat itu direktur) dan Erwin Usman pergi dari Labuan Bajo ke Colol.
Sejarah, Darah dan Budaya di Balik Secangkir Kopi Pait Colol (Part 1)
Farid bercerita jika ia baru saja pulih dari cedera hidung akibat dipukuli para preman. Saat itu Walhi berupaya mengadvokasi rakyat dari penyingkiran oleh pemodal bisnis pariwisata yang ‘merangkap’ lembaga konservasi.
Dalam artikel Grace, pemilik warung makanan Taman Nasional Haji Majid menceritakan, penyingkiran total penduduk Pulau Komodo (perampasan tanah mereka dan pengusiran dari pulau itu) sudah pernah jadi rencana pemerintah Orde Baru, tepatnya pada 1988. Rezim Soeharto hendak memindahkan orang-orang Pulau Komodo ke Pulau Flores.
Saat itu penduduk Pulau Komodo tertolong oleh peristiwa memalukan. Untuk menyambut Soeharto, seorang dukun diminta memanggil Komodo agar muncul di Reo, kota pesisir Utara Manggarai. Tak satupun Komodo yang muncul.
Kegagalan itu dimanfaatkan dengan baik oleh penduduk Pulau Komodo. Mereka minta agar tanah tumpah darah mereka tidak dirampas. Sebagai balasan atas kesediaan pemerintah, masyarakat mengadakan upacara adat memanggil Komodo dan berhasil.
Kini, setelah melewati berbagai tahap penyingkiran, semenjak masa cagar alam, beralih taman nasional, hingga privatisasi taman nasional, sebagian besar penduduk Pulau Komodo akhirnya mundur dari mata pencaharian utama mereka. Mereka beralih dari nelayan menjadi para pekerja formal dan informal di sektor pariwisata.
Lantas, apakah Gubernur Laiskodat hendak merampas lagi mata pencaharian baru itu dari mereka?
Setahu saya, di NTT belum pernah ada pemerintah yang sukses menggusur rakyat sekampung utuh-utuh dari tanah tumpah darah.
Beberapa tahun lalu pernah ada upaya Pemerintah Kota Kupang dan Pemerintah Provinsi NTT untuk memindahkan orang-orang Helong dari pemukiman mereka di Kolhua. Di tempat itu akan dibangun bendungan.
Orang-orang Helong-Kolhua, komunitas Helong Daratan terakhir di Kota Kupang (lucunya lambang dan semboyan Kota Kupang berasal dari kebudayaan Helong) menolak keras rencana itu.
Alasan mereka bukan semata-mata ekonomis (ganti rugi yang tidak sepadan dengan sawah, kebun holtikulura, pohon jati dan cendana puluhan tahun di sana), tetapi juga ikatan emosional mereka dengan sejarah peradaban Helong, dengan kubur-kubur nenek moyang, dengan ritus adat yang telah ada sebelum generasi yang kini dilahirkan.
Saat itu Pak Viktor Laiskodat, masih anggota DPR RI, berdiri sebarisan dengan orang-orang Helong Kolhua, menentang rencana pembangunan bendungan di sana.
Kawan-kawan Partai Rakyat Demokratik (PRD) beberapa kali bercerita kalau Pak Viktor berdiri semobil komando dengan mereka, menyampaikan orasi dengan lantangnya, tentang sikap pribadinya, juga sikap Presiden Jokowi, bahwa tak ada pembangunan boleh berlangsung di atas lahan rakyat yang terampas.
Saya tak tahu, bagaimana sikap dan posisi politik Pak Viktor saat ini, semasa menjadi gubernur, terhadap rencana pembangunan bendungan di lahan orang-orang Helong-Kolhua. Apakah masih seperti dulu? Dengar-dengar, rencana pembangunan bendungan itu masih bercokol dalam list rencana projek pembangunan.
Satu hal yang mungkin Pak Viktor tak tahu, penundaan pembangunan bendungan Kolhua bukan semata-mata karena lobi Pak Viktor ke pemerintah pusat.
Di lapangan, rakyat Helong-Kolhua menghunus parang dan tombak, menarik busur panah, berhadap-hadapan dengan aparat yang dimobilisasi pemerintah untuk melakukan pengukuran sepihak.
Andai saat itu masing-masing pihak tidak menahan diri saat berhadap-hadapan di persawahan, rakyat NTT mungkin harus melingkari satu lagi tanggal berkabung. Petani NTT, tuan-tuan, dalam keramahan mereka, saya kira memegang teguh prinsip, tanah leluhur boleh terampas jika tubuh tumpas berkalang tanah.
Saya masih punya harapan, di balik peringai kerasnya, Gubernur Laiskodat bukan seorang yang tega mengorbankan rakyat demi pembangunan. Apalagi jika pembangunan itu hanya akan menguntungkan pemodal swasta besar di bisnis pariwisata.
Saya ingat, mungkin 12 tahun silam, entah tepatnya, dalam pertemuan terbatas dengan sejumlah orang, Pak Viktor Laiskodat yang saat itu masih politisi Senayan, menyampaikan motifnya kembali ke NTT.
Ia katakan, ia ingin dikenang sebagai orang baik dan bermanfaat bagi banyak orang. Sehingga ketika ia mati, ribuan orang datang melayat. Jenazahnya di antar ke pemakaman bukan oleh mobil jenazah, melainkan diusung rakyat.
Kerinduan seperti ini biasanya berangkat dari penemuan atas tujuan hidup.
Memang, tujuan kehidupan adalah melawan kepunahan. Tetapi karena sadar bahwa setiap kehidupan punya limit durability-akan tiba masanya penciptaan sel baru kalah cepat dibandingkan kematian sel tua-individu manusia mempertahankan keberadaanya dengan meninggalkan legacy. Legacy tentu saja berupa hal baik, agar dengan itu namanya abadi dikenang.
Saya yakin, Gubernur Viktor Laiskodat masih punya impian itu, merindukan ketika tiba masanya kelak, ia dilayati beribu-ribu orang, yang menangisi kepergiannya dengan cinta. Bukan sebaliknya, hidupnya dikenang sebagai penyebab beribu-ribu orang mati demi mempertahankan tanah leluhur.
Hanya saja, orang memang cenderung lupa. Demikianlah hakekat manusia itu. Karena itu, mungkin Gubernur Laiskodat butuh bantuan banyak orang untuk mengingatkan. Bukan saja penduduk di kota-kota di Nusa Tenggara Timur, orang-orang di setiap kota di Indonesia perlu bantu ingatkan, berkumpul dan menyatakan sikap agar jangan sampai penduduk Pulau Komodo dipindah paksa dari tanah tumpah darah mereka.
Jika Gubernur Laiskodat punya maksud baik menata pariwisata di NTT, biarlah maksud baik itu dibicarakan sedetil-detilnya, sejujur-jujurnya bersama seluas-luasnya elemen masyarakat, terutama rakyat di Pulau Komodo dan Manggarai Barat yang terdampak langsung kebijakan utak-atik TNK.
Yah. Mungkin boleh dimulai dari sebuah petisi, sebelum menjadi aksi-aksi unjuk rasa di kota-kota.***
Catatan Redaksi: Tulisan ini sudah dipublikasi di laman Kompasiana. Redaksi memuatnya lagi atas persetujuan penulis.