Oleh: Melita Eufrasia Jewaru
Mahasiswa S2 Program Studi Linguistik, Universitas Udayana Denpasar
Pada era digital seperti saat ini pengaruh bahasa asing terutama bahasa Inggris sebagai bahasa global sulit dihindari. Hegemoni ini tampak di mana-mana dan hampir menyentuh seluruh aspek penggunaan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa asing seperti bahasa Inggris bahkan dianggap memiliki prestise yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Ironinya, sebagian besar orang juga menganggap bahwa bahasa Indonesia merupakan salah satu penghambat proses komunikasi yang dilakukan secara global.
Kondisi seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan. Setiap orang tampaknya berlomba-berlomba mempelajari bahasa asing sebaik mungkin dengan berbagai tujuan atau keperluan yang berbeda-beda. Sebaliknya bahasa Indonesia dianggap kurang penting untuk dipelajari sehingga tendensi penggunaan bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari jauh lebih tinggi daripada bahasa Indonesia.
Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi sesuatu yang dianggap asing dan sulit. Sementara bahasa asing (bahasa Inggris) betul-betul dikuasai secara sempurna.
Bahasa asing memang sangat penting untuk dikuasai agar kita mampu bersaing dan berperan dalam kehidupan global. Namun, bahasa Indonesia jauh lebih penting keberadaannya sebagai jati diri dan citra bangsa yang telah mampu membangun keindonesiaan kita dalam mempersatukan berbagai suku bangsa dengan beragam budaya, bahasa, serta adat istiadat yang berbeda-beda.
Era digital yang menuntut penguasaan teknologi dan bahasa asing pada berbagai bidang kehidupan saat ini tampaknya semakin meminggirkan posisi bahasa Indonesia. Dalam hal ini, posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara seolah-olah “dianaktirikan”.
Kemampuan penguasaan bahasa asing menjadi nilai tambah bagi pemakainya. Bahasa asing menyiratkan simbol bagi penggunanya untuk dapat lebih mudah memperoleh akses jejaring global. Bahasa asing (bahasa Inggris) semakin menunjukkan eksistensinya sebagai bahasa internasional yang mutlak harus dikuasai oleh masyarakat sebagai jawaban untuk dapat bersaing dalam era global.
Kondisi ini turut memperjelas kedudukan bahasa Indonesia yang tidak memiliki nilai tambah lebih bagi masyarakat. Pada dasarnya, posisi ini tidak berarti bahwa bahasa Indonesia tidak mampu bersaing dengan bahasa lain di dunia, tetapi lebih pada sikap sebagian besar orang terhadap penggunaan bahasa Indonesia cenderung menunjukkan sikap negatif.
Berkaitan dengan sikap bahasa (language attitude), Marsudi menyatakan bahwa jika bangsa Indonesia sebagai pemilik dan pemakai bahasa Indonesia terus bersikap negatif terhadap bahasa nasionalnya, bahasa Indonesia akan berkembang secara kacau dan tidak pernah menjadi bahasa yang mantap.
Hal yang paling dikhawatirkan akan terjadi adalah kecenderungan sikap bahasa yang negatif terhadap bahasa Indonesia bermuara pada suatu fenomena pergeseran bahasa (language shift).
Pergeseran bahasa biasanya terjadi karena seseorang atau masyarakat bahasa tertentu beralih ke bahasa lain (bahasa domain dan berprestise) kemudian digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama.
Kedudukan Bahasa Indonesia
Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan diamanatkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi negara, digunakan sebagai pengantar dalam pendidikan nasional, digunakan dalam pelayanan administrasi, digunakan dalam nota kesepahaman, digunakan dalam forum nasional atau internasional, digunakan dalam lingkungan kerja pemerintah atau swasta, digunakan dalam karya dana atau publikasi ilmiah, serta digunakan dalam media massa.
Bahasa Indonesia merupakan unsur sekaligus media komunikasi utama masyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu. Dalam penggunaannya, bahasa Indonesia mempunyai beberapa aturan yang harus ditaati agar kita bisa menggunakannya dengan baik dan benar.
Bahasa Indonesia selain menjadi bahasa resmi, juga menjadi bahasa pemersatu yang digunakan dalam berbagai keperluan.
Keputusan politik bahasa tersebut menggambarkan tentang bagaimana pemerintah memperlakukan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia didesain sedemikian rupa agar posisi dan kedudukannya kuat dan bahkan dominan dalam konteks sebagai korpus, status maupun pemakaiannya di masyarakat.
Namun, dalam regulasi tersebut tidak mengatur adanya sanksi dan denda pada pihak yang menggunakan bahasa asing yang tidak sesuai dengan konteks serta ranah tertentu berdasarkan amanat UU No 24 Tahun 2009. Akibatnya penggunaan bahasa asing di ruang publik semakin menggelora.
Bahasa asing menjadi kendala dan potensi yang kuat untuk “mengancam” kedudukan dan peran bahasa Indonesia. Tanda-tanda tersebut sudah mulai tampak seperti dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi dan bahkan pergaulan, bahasa asing tampak lebih dominan pemakaiannya.
Jika hal ini dibiarkan, dampaknya adalah sikap positif terhadap bahasa Indonesia akan semakin menurun.
Sikap Bahasa
Sikap bahasa (language attitude) berperan cukup signifikan dalam menentukan apakah eksistensi bahasa Indonesia akan terus meningkat atau bahkan mengalami degradasi.
Garvin dan Mathiot merumuskan tiga ciri sikap positif terhadap bahasa yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain, kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasa dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, dan kesadaran adanya norma bahasa (Awareness of The Norm) yang mendorong orang menggunakan bahasa dengan cermat dan santun.
Ketiga ciri sikap positif terhadap bahasa perlu ditanamkan sedini mungkin dalam diri kita masing-masing sehingga penggunaan bahasa Indonesia akan semakin meningkat. Sikap positif terhadap bahasa merupakan sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasa.
Namun, jika ciri-ciri positif bahasa itu sudah menghilang atau melemah tentu saja sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda kita. Ketiadaan dorongan untuk mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia merupakan salah satu penanda sikap negatif bahwa kesetiaan bahasa mulai melemah.
Sikap negatif terhadap bahasa juga dapat terjadi bila kita tidak mempunyai rasa bangga terhadap bahasa kita sendiri dan memilih menggunakan bahasa lain yang dianggap lebih bergengsi.
Menguasai bahasa Indonesia bukan berarti membatasi penggunaan bahasa asing. Keduanya dapat digunakan bersama-sama tanpa membatasi satu sama lain karena baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing memiliki peran masing-masing.
Marilah kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik sesuai dengan konteks situasi dan benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku sebagai bahasa pemersatu dan tetap menggunakan bahasa asing sesuai dengan konteks situasi yang terjadi di sekitar kita agar tidak tertinggal jauh dalam mengikuti perkembangan era digital yang kian menggelora.
Sebagai kalangan muda kita harus menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Salah satu bentuk konkret yang menunjukkan kesetiaan kita dalam berbahasa Indonesia adalah dengan terus berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa Indonesia dan bahasa asing (bahasa Inggris) harus dikuasai secara baik dan digunakan dalam berbagai ranah serta konteks situasi yang tentu saja berbeda. Bahasa Indonesia sangat penting dalam mengakomodasi interaksi antar penduduk di Indonesia.
Pengetahuan mengenai berbahasa Indonesia yang baik dan benar haruslah ditanamkan orang tua sejak dini maupun melalui pendidikan formal. Sikap berbahasa yang positif terhadap bahasa Indonesia tidak berarti sikap berbahasa kita tertutup terhadap bahasa lain terutama bahasa asing.