Betun, Vox NTT-Wehali adalah sebuah kerajaan tradisional di pantai selatan pulau Timor bagian tengah, sekarang menjadi Kabupaten Malaka, Provinsi NTT. Pusat pemerintahannya dibangun Builaran.
Kerajaan ini sering disebutkan bersama dengan kerajaan tetangga, sebagai Wewiku-Wehali.
Dari Wewiku-Wehali inilah terbentuk Malaka menjadi Kabupaten sendiri tahun 2013 lalu. Wehali memegang posisi tertua di antara kerajaan-kerajaan kecil di Timor.
Sejarah Wehali
Menurut tradisi lisan, Wehali adalah tanah pertama yang muncul dari perairan yang pernah menutupi bumi. Konon tanah ini menjadi pusat atau asal-usul dunia dari perspektif orang Timor.
Catatan Antonio Pigafetta dari Ekspedisi Magellan, yang mengunjungi Timor pada tahun 1522, menegaskan peran penting kerajaan Wewiku-Wehali di Pulau Timor.
Pada abad ke-17, para penguasa dari Wehali digambarkan sebagai “seorang kaisar”, di mana semua raja di pulau ini mempraktekan upeti, sebagai kedaulatan mereka.
Tradisi Upeti untuk Liurai/Raja ini masih berlaku di jajaran bangsawan Manulea yang meliputi 5 kecamatan di dataran atas Kabupaten Malaka yaitu Sasitamean, Laenmanen, Malaka Timur, Io Kufeu dan Botin Leobele. Ini terjadi saat panen pertama di setiap suku.
Kerajaan ini memiliki hubungan baik dengan Kesultanan Makassar saat itu, tetapi kekuatan kerajaan ini diuji dengan invasi Portugis pada tahun 1642 dan 1665.
Wehali saat itu berada di dalam lingkup kekuasaan Portugis tetapi tampaknya memiliki kontak terbatas dengan kekuasaan kolonial.
Perusahaan Hindia Timur Belanda
Kekuasaan Portugis atas Timor Barat berkurang setelah 1749, dan Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC) memperluas lingkup kekuasaan atas sebagian besar pulau Timor.
Pada tahun 1750-an, Wehali mendekati VOC, dan pada tahun 1756 Liurai Jacinto Correia menandatangani kontrak dengan diplomat Belanda Johannes Andreas Paravicini.
Menurut kontrak ini, Liurai adalah tuan atas sejumlah besar kerajaan Timor, termasuk Dirma, Laclo, Luca, Viqueque, Corara dan Banibani.
Belanda berharap bahwa kontrak ini akan secara otomatis memperluas kekuasaan Belanda ke sebagian besar Timor Timur, tetapi hal ini tidak mencukupi. Pada dasarnya, Wehali terombang-ambing antara pihak Belanda dan Portugis hingga abad berikutnya.
Pemisahan dan Pemerintahan Kolonial
Batas kolonial di Timor akhirnya disepakati pada tahun 1859, membuat Wehali berada di pihak Belanda. Belanda mulai merestrukturisasi pembagian administratif di Belu di tahun 1915-1916, mencoba untuk menggunakan penguasa tradisional sebagai zelfbestuurders (raja di bawah pengawasan kolonial).
Setelah tercapainya kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1949 bentuk-bentuk tradisional dihapus dalam tata kelola pemerintahan, tetapi kelompok bangsawan tradisional masih bertahan hingga kini.
Wehali dan Liurainya
Silsilah Liurai Fatuaruin (Liurai Wehali) yang memerintah:
1. Hoa Diak Malaka
2. Dasin Don Peur
3. Dasin Dinik Liurai
4. Dasin Neken Liurai
5. Dasin Bada Mataus
6. Dasin Don Alesu Fernandes
7. Dasin Liurai Muskita
8. Seran Tae Boboto Rui
9. Dasin Tei Seran
10. Dasin Tere Atok Liurai I
11. Dasin Tere Atok II
12. Dasin Tey Seran Liurai
13. Josef Seran Fatin (Nai Bot Liurai Malaka)
14. Anton Tey Seran
15. Louis Sanaka Tey Seran
16. Petrus Muti Pareira.
Liurai I : DIAK MALAKA
Dikisahkan, pada zaman dulu, liurai pertama adalah seorang wanita yang sangat cantik menawan, disanjung, diberi gelar Diak Malaka.
Ia adalah Liurai feto (Perempuan) dan kawin dengan Seran Taen Boboto Rui Makerek yang diberi gelar ”sui Likusaen, sui wehali” (sui dalam bahasa Tetun artinya : menanduk).
Liurai II : DON PEUR
Dari perkawinan Hoa Diak Malaka dengan Seran Taen Baboto Ruin Makerek ini, lahirlah dua orang anak, salah seorang anak bernama Don Peur yang menggantikan ibunya sebagai Liurai kedua.
Sedangkan anaknya yang lain, seorang putri raja bernama Dona Hodak, kawin dengan raja Loosina bernama Hoa Sina Malaka Liurai.
Turunan dari perkawinan mereka hingga Liurai Liurai VII tidak diberi kehormatan untuk menjabat sebagai Liurai karena saat itu garis hukum keturunan masih diakui dari garis bapak (patriarchat)
Liurai III : DASIN DINIK LIURAI
Lalu Dasi Don Peur sebagai Liurai II menikahi anak raja Dirma bernama Dasin Masaurain. Dari perkawinan mereka lahirlah dua bersaudara yakni Dasin Dinik Liurai sebagai Liurai yang ketiga sedangkan adiknya Dasin Eno Tinik Liurai meninggal sehingga tidak punya keturunan.
Liurai IV : DASIN NEKEN LIURAI
Dasin Dinik Liurai (Liurai III) kawin dengan Dasin Telek Masan Rain II, anak raja Melus Maketan.
Dari perkawinan ini, lahirlah Dasin Neken Liurai sebagai Liurai IV. Dasin Neken Liurai kawin dengan dua orang istri, yakni Dasin Abulorok, anak raja Jenilu dan Dasin Lese Bauk, anak raja Bakiduk.
Masa pemerintahan Liurai IV ini dikenal orang sebagai raja yang piawai dalam membagi tanah Timor. Zaman itulah banyak Raja-raja Wehali keluar dan menguasai tanah Timor.
Liurai V : BADA MATAUS
Keempat anak hasil perkawinan Liurai IV dengan anak raja Jenilu diberi kuasa kuasai memerintah tanah Timor yang sudah dibaginya. Yakni Dasin Bada Mataus dijadikan Liurai V, tinggal di Wehali.
Dasin Ura Mataus Liurai Likusaen berkuasa di Dili. Dasin Soko Mataus Liurai di Kupang Sonbay dan Dasin Neken Mataus Liurai merantau ke Larantuka.
Liurai VI : DASIN DON ALESU FERNANDES
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Liurai keempat (Dasin Neken Liurai) mempunyai dua orang istri. Hasil perkawinan dengan istri anak raja Bakiduk, yakni Dasin Don Alesu Fernandes diangkat sebagai Liurai VI.
Liurai ini dikenal sebagai raja yang menerima tongkat mas dan perak zaman Portugis. Juga sejarah mencatat, Liurai VI ini kawin dengan Dasin Hoa Tuka, anak raja Larantuka.
Liurai VII : DASIN LIURAI MUSTIKA
Perkawinan Liurai VI dengan anak raja Larantuka ini melahirkan Dasin Liurai Muskita sebagai Liurai VII. Sampai di sini selesailah garis hukum keturunan Liurai yang biasa diambil dari garis patrilineal, maka sejarah mencatat bahwa untuk selanjutnya Liurai diambil dari garis matrilineal hingga sekarang sesuai hukum adat warga Wesei Wehali.
Liurai VIII : SERAN TAE BOBOTO RUI MAKEREK II
Muskita memperistri Dasin Bano Tae Liurai dari garis keturunan matrilineal anak raja Babotin, lahirlah Seran Tae Boboto Rui Makerek II, yang diangkat sebagai Liurai VIII dan memerintah di Sasitamean.
Liurai VIII ini turunan langsung dari garis ketururan raja Bobotin bernama Dasin Tere Tae.
Liurai IX : DASIN TEI SERAN LIURAI
Liurai VIII (Liurai Sasitamean) ini kawin dengan Telek Masan Rai III melahirkan Dasin Tei Seran Liurai yang kelak diangkat sebagai Liurai IX dan Nai Kmesak Maunbon.
Liurai X : DASIN TERE ATOK LIURAI
Kelak Liurai IX ini kawin dengan Dasin Telek Bian Manlea. Dari perkawinan ini lahirlah Dasin Tere Atok Liurai yang dimahkotai sebagai Liurai X.
Liurai XI : DASIN TERE ATOK II
Liurai X mempunyai dua isteri. Isteri pertama namanya Dasin Luruk Tey Seran dan dari perkawinan ini lahirlah Dasin Tere Atok II yang diangkat menjadi Liurai XI.
Liurai XII : DASIN TEY SERAN LIURAI
Sedangkan dengan isteri kedua bernama Dasi Telek Tey Seran lahirlah Dasin Tey Seran Liurai, yang diberi gelar Liurai XII, raja Fatuaruin yakni bapak dari almarhum Liurai (Louis Sanaka Tey Seran).
Liurai XIII : JOSEF SERAN FAHIK
Ketika Liurai XII ini meninggal, anaknya (Louis Sanaka Tey Seran) masih kecil.
Ketika itu pemerintah mengambil inisiatif untuk mengisi kekosongan dengan memilih Josef Seran Fahik yang dikenal sebagai Nai Bot Liurai Malaka.
Josef Seran Fatin dalam percaturan politik pembentukan swapraja dipercaya untuk menjadi tampuk pimpinan Swapraja Malaka dan Belu.
Liurai XIV : ANTON TEY SERAN
Dikisahkan, Liurai XII kawin dengan Kolo Bian dari Sonaf Uimriso, turunan Ae Bian Manlea. Hasil Perkawinan ini adalah Anton Tey Seran yang sudah dinobatkan sebagai Liurai XIV tapi mendadak ke Bima, Sumbawa untuk belajar dibiayai oleh pemerintahan Hindia Belanda mengenai kesultanan.
Ia meninggal dan terakhir kerangkanya dipindahkan untuk dimakamkam di Belu.
Liurai XV : LOUIS SANAKA TEY SERAN
Louis Sanaka Tey Seran, adik kandung Anton Manek Tey Seran dinobatkan menjadi Liurai XV. Ia memperisteri Theresia Bete Niis, anak raja Bea Neno / Pah Un Bea Neno dan memiliki 10 anak.
Mereka adalah Gaudensia Luruk Tei Seran, Maria Hoar Tei Seran, Antonius Tei Seran, Magdalena Muti Tei Seran, Demitrius Nana Tei Seran, Natalia Adelina Bendita Tei Seran, Dominggus Arenkian Aria Neno Tei Seran, Yulianus Antonius Liurai, Flora Diana Mako Tei Seran dan Dominikus Hilarius Liurai.
Kerajaan Wesei-Wehali inilah yang sekarang berbentuk daerah otonomi baru dalam sistem pemerintahan Indonesia, Kabupaten Malaka yang berpusat di Betun Wehali. Di desa Wehali inilah, pusat kerajaan Wehali berada di Laran.
Penulis: Frido Raebesi
Sumber : Arsip Belu, Pemimpin dan Sejarah (Cerita Lisan dari Leluhur)