Labuan Bajo, Vox NTT- “Tabir gelap” di balik polemik tanah Toro Lema Batu Kalo di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) kembali dibuka ke permukaan.
Terkini, Ketua Himpunan Pemuda Mahasiswa Manggarai Barat (HIPMMABAR) Jakarta Yosef Sampurna Nggarang menyebutnya “Mereka Masih Angan Dapat Lahan Kerangan”.
Yos mengungkapkan, dari luas 30 haktare lahan Toro Lema Batu Kalo, saat ini luasnya hanya 24 hektare. Luas tersebut berdasarkan Gambar Situasi (GS) yang dikeluarkan oleh Kanwil BPN NTT di Kupang pada tahun 2015. GS yang diterbit tahun 2015 itu adalah milik Pemkab Manggarai Barat.
“Saya mau menguji sedikit tentang klaim, bahwa lahan Pemda itu terletak di pinggir pantai, hamparan rata. Namun mengapa yang diukur 1997 itu di bukit yang memperlihatkan pulau kukusan kecil dan besar? Lalu benarkah Dalu Ishaka menunjuk lahan untuk Pemda itu di lahan rata bawah pinggir pantai?” tanya Yos dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Kamis (26/09/2019).
Dalam rilisnya, ia mengungkapkan keterangan Frans Paju Leok mantan Asisten 1 Setda Manggarai tahun 1997.
Menurut Frans, kata Yos, H. Abubakar Adam Djudje dan Kamis Hamnu (Alm) adalah dua orang kepercayaan sebagai fungsionaris adat Labuan Bajo (Dalu Ishaka) untuk menunjuk dan menata tanah yang diberikan kepada Pemda Manggarai.
Gaspar P Ehok (Alm) sebagai Bupati Manggarai saat itu manyatakan, tanah Toro Lema Batu Kalo bakal membangun sekolah perikanan.
“Oleh Bapak Dalu Ishaka mengiyakan permintaan Bupati Gaspar Ehok. Berapa luas yang diperlukan untuk membangun sekolah perikanan itu? Tanya Dalu Ishaka ke pak Bupati, minimal 30 ha, jawab pak Gaspar Ehok,” terang Yos berdasarkan keterangan Frans Paju Leok.
Yos menambahkan, mantan Camat Komodo periode 1989-1994 Anton Us Abatan mengaku permintaan membangun sekolah perikanan itu terjadi pada tahun 1989.
“Waktu itu pak Bupati diundang oleh pak Bone Daut untuk meresmikan Villa pak Bone Daut di Batu Gosok. Saya sebagai camat ikut dalam rombongan itu. Ada Dalu Ishaka juga dalam perahu motor menuju Batu Gosok. Pak Bupati minta ke Dalu Ishaka tanah untuk bangun sekolah perikanan. Pak Dalu menunjuk itu lahannya (menunjuk ke arah Kerangan yang ada bukit),” kata dia, mengutip keterangan Anton Us Abatan.
Dikatakan, setelah Bupati Gaspar P Ehok pulang dari Batu Gosok, Frans Paju Leok dan Ir. Fidelis Kerong yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Manggarai dipanggil dan diberi mandat untuk melanjutkan secara adat dan administrasi untuk meminta tanah itu.
“Kami secara adat, Kapu Manuk Lele Tuak dan uang 10 juta,” kata Yos mengutip keterangan Frans Paju Leok.
Ia melanjutkan, pada tahun 1997 terjadi pengukuran. Dua utusan fungsionaris adat Labuan Bajo masing-masing H. Abubakar Adam Djudje dan Kamis Hamnu (Alm) ditunjuk untuk menunjuk, menata, dan mengukur.
”Dan lokasinya adalah Kerangan /Toro Lema Batu Kalo yang terlihat pulau kukusan kecil dan besar arah selatan,” ungkap Yos.
Frans Paju Leok dan Fidelis Kerong mengikuti pengukuran itu. “Kami turun dari perahu naik ke atas ada tanah rata sebagian, lalu naik bukit, panas terik waktu itu,” ujar Yos, mengutip pengakuan Fidelis Kerong.
Yos mengaku, saat ia memperlihatkan foto satu album saat pengukuran tahun 1997, Fidelis Kerong lantas menjawab “Ini- ini kami dulu, naik. Saya masih ingat ada pohon Kesambi, ke atasnya padang Savana”.
Soal lahan 30 hektare Kerangan ini, beberapa saksi ditemui Yos.
Kata dia, Gaspar P Ehok sudah membuat surat, bahwa itu lahan Pemda. Surat ini bermaterai dan menjadi dokumen Pemkab Mabar.
“Memang saya belum sempat tanda tangan untuk menjadi administrasi, tapi secara adat sudah,” demikian secuil isi surat Gaspar P Ehok.
Mulai Polemik
Yos menerangkan, sejak tahun 2011, lahan Kerangan ini mulai polemik.
Pemda Mabar berusaha mengadministrasikan lahan yang seluas kurang lebih 30 hektare itu.
Usaha Pemkab Mabar untuk mensertifikasikan lahan ini terhambat.
Menurut Yos, H. Adam Djudje mengklaim lahan 30 hektare itu adalah miliknya. Hal ini dilansir dalam laporan Metro Realitas 2018.
Dasarnya perolehan tanah adat, yaitu penyerahan oleh Dalu Ishaka sebagai pihak pertama kepada H. Adam Djudje sebagai pihak kedua pada 10 April 1990.
“Untuk memenuhi ketentuan adat pihak kedua menyerahkan uang sebesar 10.000 (Sepuluh Ribu Rupiah) kepada pihak pertama. Kata Yos, begitu bunyi surat bukti penyerahan hak tanah adat milik Adam Djudje.
Ia kembali mengingatkan, permintaan lisan di atas Perahu Motor menuju peresmian Villa Bone Daut di Batu Gosok oleh Bupati Gaspar Ehok tahun 1989. Uang penyerahan adat Pemda Rp 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah).
Sebenarnya, lanjut dia, soal lahan Kerangan ini tidak hanya Adam Djudje yang klaim. Ada juga yang lain mengklaim lahan itu. Hanya yang lain ini tidak mengklaim sampai 30 hektare.
Menurut Yos, sejak 2011 Pemkab Mabar terus berusaha mengadministrasikan lahan Kerangan ini.
Pemda juga sudah berapa kali mengundang para pihak yang merasa memiliki lahan itu. Namun para pihak itu tidak pernah hadir di Pemda.
”Tujuan Pemda tentu mengkonfrontir dan mengkonfirmasi atas klaim lahan tersebut,” ujar Yos.
Ia menambahkan, pada tahun 2014 BPN turun untuk mengukur. Tahun 2015, keluar Gambar Situasi (GS ) untuk Pemda Mabar. GS 2015 ini diterbitkan oleh Kanwil BPN NTT di Kupang.
“Pemda terus berupaya, dari GS ini setingkat lagi terbit sertifikat. Namun kurun waktu 2015- 2019 ini, belum juga terbit sertifikat untuk Pemda,” tandasnya.
Dikatakan, tahun 2017- 2018 polemik lahan ini dibuka ke publik. Media Online Floresa.co dan Tim Metro TV turun ke Labuan Bajo untuk meliput dan kemudian menurunkan beberapa seri laporan terkait polemik lahan ini. Publik pun ikut mendiskusikannya.
“Saat itu banyak pesan WA yang masuk ke saya, ” kok ada pembagian tanah adat di Manggarai satu orang 30 ha dan uangnya hanya 10 ribu rupiah? Lalu ada juga yang mempertanyakan soal Alpokad Kondang dari Jakarta dengan profesianal membela orang “kecil” tapi dapat tanah besar?” tukas Yos.
Yos mengaku, baru-baru ini lahan Kerangan diukur lagi. Persisnya Rabu 4 September 2019, BPN turun untuk mengukur.
“Ukur bukan untuk Pemda tapi atas nama pribadi orang lain. Menurut informasi dari orang BPN, pengukuran itu atas pengajuan dari orang Jakarta. Alas haknya H. AD,” jelas dia.
“Ketika saya tanya, bagaimana nasib GS 2015 yang diterbitkan oleh Kamwil BPN NTT untuk Pemda? Mau diapakan? Tidak bisa jawab,” tambah Yos.
Berapa hari kemudian, Yos mengaku bertemu sahabatnya bernama Hendra di Labuan Bajo.
Menurut Hendra, dia bertemu H. AD di tempat fotocopy. H.AD lagi fotocopy lahan Kerangan.
“Kami ngobrol soal lahan Kerangan, dia bilang ini punya saya total 30 ha pinggir pantai sudah ada bangun Villa di sana. Hanya, 20% dari 30 ha itu fee untuk orang Jakarta”. Saya pun terdiam ketika dia memperlihatkan foto obrolan dengan H. AD,” katanya.
Yos merasa aneh tanah Toro Lema Batu Kalo seluas 30 hektare milik H. AD.
Padahal tahun 1997, dia ditunjuk Dalu Ishaka untuk menata dan mengukur tanah yang diberikan kepada Pemda Manggarai.
”Malam sebelum esok harinya ke loksi Kerangan menurut pak Frans (Frans Paju Leok), tidak ada bantahan atau sanggahan dari Adam Djudje kepada Dalu Ishaka bahwa itu tanah yang mau dikasih ke Pemda sudah diberikan kepadanya. Sama sekali tidak ada bantahan,” pungkas Yos.
“Lalu sekarang dia bantah itu bukan lahan Pemda, lahan Pemda itu terletak di Kerangan yang hamparan rata. Tapi sampai sekarang tidak bisa dibuktikan bahwa itu lahan Pemda,” sambungnya.
Yos menambahkan, lahan Pemda berdasarkan dokumen surat, foto ukur adalah lahan Kerangan yang ada di bukit, yang kelihatan pulau kukusan kecil dan besar di selatan dan Djudje jugalah yang mengukur.
“Kalau bilang di hamparan rata, mana bisa kelihatan kukusan kecil dan besar itu (lihat foto bagian bawah, mereka framing itu lahan Pemda),” tegasnya.
“Sampai sekarang mereka berusaha agar 30 ha itu milik mereka. BPN terkesan menyerah. Faktanya mereka ukur, bahkan melibatkan BPN pusat,” tambah dia.
Yos menegaskan, BPN terkesan menyerah. Hal itu menujukkan BPN mengabaikan produk yang mereka sudah keluarkan sendiri, yaitu GS Pemda 2015.
“Lalu mengapa menyerah? Mengutip Metro Realitas” kuat dugaan ada tekanan orang kuat dari Jakarta,” tutup Yos.
Penulis: Ardy Abba