Kupang, Vox NTT – Tingginya angka stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan membuat anak-anak di daerah itu mengalami masalah pertumbuhan.
Sekretaris Fraksi Partai Gerinda DPRD NTT Jan Pieter Windy menegaskan, kondisi itu akan sulit bersaing di tengah dunia yang makin dinamis, kompetitif dan makin menuntut kapasitas personal dan interpersonal yang memadai.
“Stunting bukan sekedar persoalan kesehatan. Stunting adalah persoalan ketahanan pangan rumah tangga, tentang asupan gizi untuk ibu hamil, bukan sekedar tentang langkah-langkah kuratif seperti pemberian makanan tambahan bagi Batita dan Balita,” ungkap Windy saat sidang paripurna DPRD NTT dengan agenda pandangan umum fraksi terhadap pengantar nota keuangan Gubernur NTT atas rancangan APBD tahun anggaran 2020, di gedung utama DPRD NTT, Selasa (29/10/2019).
Untuk mengatasi stunting kata dia, harus menjadi kesadaran dan upaya bersama.
Kesadaran dan upaya bersama itu dimulai dari kampung dan desa dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, penyuluh kesehatan, penyuluh pertanian, pendamping nelayan dan lembaga-lembaga keagamaan.
“Serta mewajibkan dana desa, APBD kabupaten/kota untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, dan upaya-upaya promotif untuk meningkatkan pemahaman tentang asupan gizi bagi ibu hamil,” ujarnya.
Ia menegaskan, masa depan NTT bergantung pada perempuan yang mengandung dan merawat generasi NTT.
Menurutnya, salah satu penyebab yang secara tidak langsung berkontribusi pada tidak meratanya pelayan publik, khususnya dalam upaya pencegahan stuntut growth atau masalah pertumbuhan adalah kacaunya data kependudukan.
“Partai Gerindra melihat pendistribusian pembangunan berbasis penduduk sangat bergantung pada kemampuan negara untuk mengetahui secara baik keberadaan dan kondisi penduduknya, data kependudukan bukanlah sekedar angka-angka statistik,” kata Windy.
Untuk itu tegas dia, Fraksi Gerindra DPRD NTT berpendapat bahwa korelasi yang kuat antara kacaunya data kependudukan dengan tidak meratanya pembangunan kepada masyarakat.
Kemudian, berkorelasi dengan tingginya perdagangan manusia yang memanipulasi data penduduk disebabkan oleh kacaunya data kependudukan.
“Untuk kami dari Fraksi Gerindar DPRD NTT minta agar pemerintah provinsi NTT melakukan konsolidasi data kependudukan secara regional dimasing-masing kabupaten,” ujar Windy.
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 tambah dia, menunjukkan bahwa prevelensi nasional balita pendek dan balita sangat pendek (stunting) adalah 29.6 persen.
“Sedangkan di Nusa Tenggara Timur, prevelensinya adalah 40,3 persen. Artinya masih sangat jauh dari kriteria WHO (Badan PBB yang mengurus masalah kesehatan),” pungkasnya.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba