Ende, Vox NTT-Hukum adat di Kabupaten Ende, Flores, NTT memang masih melekat pada diri setiap manusia.
Tradisi adat istiadat yang kini masih sangat kental di Ende merupakan bagian dari kehidupan masyarakat sebagai penganutnya.
Dari sekian tata cara adat yang sedia kala, ada pula tradisi unik yang dijalankan etnik Ende maupun etnik Lio. Keunikan itu misalnya terjadi perselisihan antar kampung sebagaimana lazimnya sudah tertuang dalam hukum adat.
Dalam tradisi adat di Ende, ada satu kultur yang disebut Tura Jaji. Tura Jaji adalah sebuah perjanjian adat yang berisi tentang hubungan kekeluargaan yang diamanatkan sejak leluhur.
Di Ende sendiri, ada beberapa kampung yang melekat dengan istilah itu sebagaimana suatu keadaban. Misalnya antara kampung adat Onekore dan kampung adat Wolotopo.
Sebab, kononnya, kedua kampung ini memiliki perjanjian adat yang mengikat sejak dahulu. Bahwa, setiap orang secara turun temurun wajib menjalankan aturan adat ini misalnya tidak terjadi permusuhan atau perselisihan apapun.
Kedua persekutuan adat ini meyakini jika ada pelanggaran adat (Tura Jaji) itu maka akan terjadi bencana dan atau musibah berkepanjangan.
Perselisihan Antar Pemuda
Belum lama ini, terjadi ingkar janji antar kedua kelompok orang muda dari masing-masing kampung adat ini. Mereka secara nyata melakukan pelanggaran atas perjanjian adat yang sudah ditanam sejak zaman leluhur.
Para pemuda di Kampung Adat Onekore secara brutal merusaki beberapa unit kendaraan milik warga Wolotopo di area Jalan Udayana.
Sikap anarkis ini sempat didorong untuk diproses secara hukum. Setelah bernegosiasi, pihak Kepolisian akhirnya menyerahkan kasus tersebut ke para Mosalaki untuk diselesaikan secara adat.
Atas aksi sejumlah pemuda Onekore tersebut, menggugah perasaan tetua adat Onekore maupun tetua adat Wolotopo.
Bahwa, perseteruan antar warga kedua kampung tersebut mestinya tak terjadi. Itu disebabkan adanya perjanjian adat yang dengan semboyan menanam sumpah, membangun perjanjian atau yang dinamakan Tura Jaji.
Apabila melakukan pelanggaran itu, mereka meyakini akan adanya bencana yang luar biasa. Para tetua adat kedua kampung ini pun mengakui bahwa kononnya pernah terjadi hal diluar dari kewajaran.
Atas pelanggaran adat (Tura Jaji) tersebut diatas, kedua persekutuan adat ini bersepakat untuk memulihkan kembali melalui ritual adat yang dinamakan “Mi Mina“.
Upacara “Mi Mina” yang digelar di pelataran rumah adat Onekore ini sebagai bentuk pemulihan nama baik agar hal serupa tak terulang. Selain itu, untuk mengantisipasi terjadi bencana seperti yang diyakini kedua belah pihak.
Dalam acara itu, tampak para pemuda kedua kelompok ini saling berbaur dan berbagi dengan mencicipi minuman lokal (tuak) secara bergilir. Minuman tersebut sebagai wujud perdamaian.
Acara cicip tuak oleh para pemuda tersebut disaksikan oleh para tetua adat, pemerintah dan pihak aparat serta melibatkan keluarga dari masing-masing pihak.
Perdamaian Adat
Mosalaki Onekore, Don Bosko Wajo menerangkan bahwa pergelaran ritual “Mi Mina” dilakukan karena terjadi permusuhan beberapa waktu lalu. Kedua kampung ini bersepakat untuk melakukan upacara adat tersebut sebagai bentuk pemulihan dari sengketa tersebut.
“Ini adalah acara adat perdamaian antar kedua kampung ini. Perdamaian dilakukan secara adat. Jadi, rasa dendam, rasa iri hati dan permusuhan sudah mesti dihilangkan. Damai akan tidak bermakna apabila rasa dendam dan permusuhan masih melekat pada diri pemuda-pemuda ini,” ungkap Don Bosko berpesan usai ritual “Mi Mina” di Kampung Adat Onekore pada Rabu (30/10/2019).
Don sendiri mengakui sepanjang sejarah di usianya, baru pertama kali mengalami upacara “Mi Mina“. Sebab, upacara semacam ini, kata dia, bukan menjadi rutinitas ritual sebagaimana lazimnya tertuang dalam kalender tradisi adat istiadat Ende-Lio setiap tahun.
Dia malah bersyukur dengan adanya acara perdamaian adat ini sebagaimana bentuk pembelajaran terhadap generasi Onekore maupun Wolotopo.
Menurut dia, sedianya ada ritual ini dapat memberi motivasi kepada para generasi untuk menjunjung tinggi hukum perjanjian adat yang diwariskan. Sikap saling perselisihan dan permusuhan antar kedua kampung ini sudah saatnya ditiadakan.
“Jadi, ini yang terakhir dan tidak terulang lagi. Leluhur kita sudah berjanji dan mengajar kita untuk bahu membahu menjaga sikap kekeluargaan,” tutur Don.
Ia menambahkan bahwa perilaku saling permusuhan ditandai dalam ritual adat dengan dikurbankan melalui darah babi. Secara tradisi dan keyakinan, hewan ini sebagai bentuk pemulihan hati maupun pikiran pada setiap tingkah kehidupan manusia.
Ancaman Bencana
Yakobus Ari, perwakilan Mosalaki Wolotopo menuturkan bahwa “Tura Jaji” adalah suatu perjanjian antar persekutuan adat dengan tujuan untuk mencegah konflik sosial di tengah masyarakat adat.
Ritus “Mi Mina“, kata dia, sesungguhnya adalah ritus pemulihan dan perdamaian setelah terjadi pelanggaran perjanjian.
Sebab, jika tidak digelar ritus tersebut maka adapun risiko yang harus ditanggung misalnya, terjadinya bencana atau musibah diluar dari prediksi manusia.
“Onekore dan Wolotopo itu sudah terjadi perjanjian adat yakni “Tana Tura, Watu Jaji“. Jadi, yang selisih harus berdamai. Ini bukan hanya sekedar tata cara atau ritus tapi kita sudah seharusnya berubah. Karena hukum adat adalah hukum alam,”katanya.
Ancaman bencana menurut nenek moyang, terang Yakobus, sebagai bentuk sanksi terhadap masing-masing persekutuan adat yang melanggar perjanjian.
Oleh karena itu, sebagai korban atas pelanggaran itu penting dilakukan ritus “Mi Mina” secara simbolik membasuhi batu dan tanah dengan darah babi.
Hewan kurban inilah sebagai penebus atas tingkah dan kelakuan manusianya. Darah babi sebagai bentuk syukur kepada alam semesta karena sudah dilakukan perdamaian.
“Kamu (pemuda) sudah minum moke (tuak) tadi. Jadi acara hari ini tidak sekedar Mi Tana, Mina Watu tetapi harus sampai pada “Mi Ate, Mina Nia” (kebaikan hati dan kejernihan pikiran),” ungkap Yakobus.
Ritual “Mi Mina” oleh warga Onekore dan Wolotopo berjalan hikmat. Disaksikan VoxNtt.com, ritus tersebut difasilitasi oleh tetua adat Onekore.
Puluhan pemuda dua agama (Katolik dan Islam) yang mengingkar janji adat tersebut nampak berbaur dan bersatu. Mereka duduk persis di depan “Tubu Musu” (lambang adat) di halaman rumah adat dengan mengenakan pakaian adat.
Sedangkan para tetua adat dari dua persekutuan tersebut duduk melingkar berhadapan. Mereka menyaksikan ritual yang diperankan empat Mosalaki Onekore.
Dari tahap ke tahap, ritual itu dijalankan. Hingga diakhiri dengan penandatangan surat perjanjian damai dan makan bersama.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba