(Karya: Chan Setu)
Malam kemarin, embun datang memagut beningnya dengan memberi satu harapan tanpa jawaban. Semoga saja malam menunggang kembali mata jangan sampai lebam membekas pada seluruh tubuhnya, cukup matanya; barangkali mata bisa salah menilai, sayangya senyummu masih kupeluk mesra pada hati yang tak pernah berani mengatakan kepada kita untuk benar-benar pergi dari perasaan. Menurutmu?
* * * *
“Angelica, malam kemarin kau malaikat yang tentram pada sebuah nama yang kau tiduri. Ibumu diam-diam menyembunyikan tanda pada sebuah pertemuan yang disengajakan oleh lelaki bisu-berjubah. Waktu itu diingat cerita ibu, saat pagi masih terlalu hangat dipanggang api di tungku api tempat ibu bercermin dengan kopi dan sepiring fillu*, belum sempat juga ayam berkokok dan rumah-rumah para petani masih rapat dengan nyanyian bunga tidur masing-masing juga kau dengar benturan suara ngorok antara anak laki-laki dan perempuan, antara opa dan oma, antara ayah dan ibu, dan antara paman dan bibi. Angelica, namamu kupanggil sehabis dirimu memandikan tubuhmu. Kau tahu lelaki itu yang kemudian menjadi sejarah dihidupmu namanya Gabriel.
Pagi-pagi sekali diwaktu sengang ibumu bercerita dengan tungku api, ia datang menyelinap membawa setangkai bunga mawar dengan selembar kata yang dipagut bibir keringnya “Maria, aku mencintaimu”.
Angelica, kupanggil pulang tubuhmu. Wanita yang malam sepasang lebam terbaring nyaman di bola matamu. Kau tahu aku meriak tangis saat kita terpisah dari perasaan dan tubuh kita selalu mendekat-mendekap “Angelica, aku mencitaimu”. Pada suatu waktu aku seolah mengenang kembali kisah ibumu yang sempat ia ceritakan tanpa tahu aku yang diam-diam bersembunyi di sampingnya saat itu aku mencuri satu fillu dan kubiarkan segelas kopi subuh itu pecah di bawah tanah yang tak pernah lagi dibersihkan bekas hitam kopi itu. Barangkali seperti bekas lebam bola matamu.
* * * *
Pada suatu malam ada sesuatu yang menjadi satu; diantaranya antara ratapan seorang ibu dan kedatangan seorang ibu baru atau antara kehilangan seorang ayah juga tentang kepergiaan yang menjadi asing. Oktober baru saja usai. Kemarin di suatu malam ada mata yang lebam pada sepasang gadis yang kemudian diberi ibunya nama ‘Angelica’ atas kesepakatan yang romantis dengan Gabriel yang baru-baru saat Angelica berusia 7 tahun ia sempat memanggilnya dengan sedikit patah A, Y, A, H, sebab hingga usia itu Angelica masih seperti anomali atas tubuhnya. Ibunya begitu cantik dicermin pagi dengan tungku api yang kemudian aroma segelas kopi menjadi parfum penuh memikat Gabriel, ayahnya.
Pamanya pernah bertanya kepada Angelica, pada suatu malam diacara keluarga mereka “berapa usia ayahmu, Angelica?”. Seperti memahami anomali yang kian waktu semakin cacat Angelica mengisyaratkan agar ibunya memberikan satu buah pena dan secarik kertas. Kalian tahu apa yang di tulis Angelica pada secarik kertas itu? Ia menulis beberapa kata tanpa angka. Saat itu, yang mampu membacanya jadi kian basah hanyalah ibunya sedang ayahnya telah lama menjandakan ibunya sehabis penyakit stroke sewaktu Angelica baru saja mulai mengeja panggilan A, Y, A, H. “Ayahku berusia seperti makamnya yang telah berulangkali ibu bersihkan dan basahi dengan air matanya” setahuku kini di usia 15 tahun sewaktu itu sekitar 8 tahun yang lalu.
Aku mengeja A, Y, A, H tepat saat nafas terakhirnya di bawah ruas jalan antara kota kenangan dan kampung kelahiranku, Angelica membatin. Pamanya lebih diam dari sebelumnya. Membeku-membusur tubuh sambil sembab mata yang meriang akibat haru dan terpukul. “Gabriel yang kemudian akrab disapa Gebi itu meninggalkan seorang gadis belia yang tak tahu betap kerasnya hidup di luar sana kemudian minggat dengan diam dari cahaya rembulan membusung diri pada kebisuannya”. “Tuhan, belumkah Kau paham anak ini butuh tubuh sebelum air mata ibunya semakin lebam berair-berhari-hari”.
Maria, nama ibu Angelica. Telah lama sekali sanak-saudara, sahabat-kenalan, kerabat keluarga lupa menanyakan arti nama Angelica yang kini menjadi tubuh yang kian akrab direbah, dipoles make up, dimandi, dan jadi cacat dengan segala mata yang kian menusuk. Mata selalu pandai menilai sayangnya senyum tak pernah mampu mendiamkan hasrat seorang ibu untuk menyayangi anaknya.
Kini, Maria menyimpan surga kecil dari sebuah tanda. Angelica sang gadis yang tak pernah menyalahkan siapa-siapa atas hidupnya. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun itu, ia lebih memilih diam pada sudut-sudut mata sebab apa yang bisa ia buat? Diam adalah jalan keluar dari mengapa ibunya selalu ingin mendekap-basah tubuh puteri satu-satunya itu.
Aroma kopi dan sepiring fillu menjadi favorit dalam hidup mereka. renyah tawa tiba jikalau ibunya memandang kenangan pada ingatannya. Lukisan-lukisan tua di dinding sejak perkawinan Maria dan suaminya Gabriel jadi tempat tidur dan perkawinan juga kelahiran paling mesra bagi sarang-sarang lebah.
Di pintu dan jendela-jendela rumah dan kamar jadi perselingkuhan paling romantis antara debu dan abu. Lantai-lantai dan kain-kain gorden juga tungku-tungku api, periuk, kuali, termos, rak-rak piring dan buku, apapun yang ada di rumah jadi malam pertama yang paling nikmat bagi kecoak-kecoak dan bakteri-bakteri. Siapa yang peduli? Hidup itu kian dipasung jika ada yang bertanya “bagaimana kabarmu, Maria?”. Lantas senyum dan tawa jadi dua jawaban sekaligus, dan bisa jadi semakin menjadi cerita paling lucu untuk diingat di dunia.
Saban waktu, hujan menyaingi ‘tanah air’, setelah sekian lama kerinduan itu pun tiba ribuan orang berhamburan ramai hilir mudik menunggang dan menjagah air di baskom-baskom, drom, dan ember masing-masing, mulai dari anak-anak sampai kepada orang tua juga kakek dan nenek mereka yang telah lanjut usia (lansia). Apa yang diperbuat Maria? Maria hanya memberi senyum sambil menertawai keramain yang dilihatnya dari bibir jendela ruang tamu mereka dan Angelica? Angelica mencoret-coret pena di kertas entah bagaimana hasilnya hanya dapat kubayangkan saja jika ia sedang menggunakan hujan sebagai bagian dari dirinya untuk mengimajinasikan surga kecil dari rinai hujan dibalik bibir jendela kamar tidurnya.
Lalu seseorang tanpa wajah menyelinap tanya seperti ruh yang diceritakan Ayu Utami dalam novelnya “Bilangan Fu” berapa usiamu, Maria? “Aku dilahirkan sebulan kemudian ayahku meninggal, aku dibesarkan seminggu kemudian ibuku minggat bertemu ayah dan meninggalkan aku pada pamanku, kemudian aku menjadi gadis dan dinikahkan setahun kemudian aku jadi janda satu anak yang suaminya pergi mengakrabkan diri dengan Paulus dan Petrus”. Sekarang kau tanya berapa usiaku? “hitunglah bintang pada malam tiba. Jika kau tahu jumlahnya antara ganjil atau genap tolong sampaikan kepadaku barangkali saat itu, usiaku seusia perhitunganmu meski ganjil atau pun genap. Jika sama sekali tak dapat dijumlahkan kau bandingkan saja dengan jumlah anakmu, jika anakmu berjumlah lima kau kalikan dengan jumlah usia dari masing-masing anakmu itu dengan jumlah lima anakmu itu”. Seandainya kau bingung, aku pun bingung. “saat yang bersamaan Angelica keluar dari kamarnya, mendengarkan jawaban hampa dari Maria, ibunya. Secarik kertas yang digenggamnya memaksa ia untuk menulis sesuatu. Sesuatu yang mengisyaratkan tubuh mohon maaf. Merepotkan dengan segala kegilaan yang semakin tak waras. “Tuhan, kembalikan mereka kepada ketiadaan anomali itu”.
“Angelica, semakin kusut di hadapan secarik kertas. Maria, ibunya kian terpasung dengan air mata”. Sebulan terakhir pamanya tak pernah datang-telah menghilang. Kehilangan tanpa kabar ataupun pesan singkat, seturut dengan kepergiaan yang tak pernah diundang. Rumah hanya jadi bangunan bagi mereka menyelinap-memasung-meniduri juga tak ada mimpi yang patut ditanyakan. Rutinitas ibu dan anak itu, sebatas kamar dan dapur. Gerbang dengan tirai besi itu jadi pengawal yang menakutkan sekaligus seram tertampak buram. Gembok jadi kunci. Bisa jadi ibu dan anak memasung diri pada paham teori gua Plato atau mereka punya hasrat untuk berkata namun sayang nyalih mereka tak mampu membiasakan diri seperti para ‘Sofis’. “Angelica, nama yang akan kembali”. Aku menulis kembali “Angelica, nama yang kupanggil pulang”. Ibunya tak lagi bicara, bahasa tubuh semakin sering diisyaratkan dengan air mata.
Angelica, gadis 15-an tahun itu menatap nanar pada gelap dan pengapnya dunia kecil itu. Pikiranya terpasung oleh tubuhnya, hanya naluri jadi bagian terkecil bagi surga penuh harap. Waktu-waktunya hanya menulis secarik kertas tanpa menyobek keringat yang jatuh. Pelan dan perlahan, tulisan romol itu yang dulu semasa merah putih ibu dan bapak guruku sering mengatakan “tulisanmu mirip cakar ayam”.
Kalian tahu guru-guru itu tak lebih waras dari Angelica. Sungguh dunia kita terkutuk. Apa yang mereka makan, apa yang mereka minum, realitas apa yang mereka bangun, bagaimana dengan cara mereka membuang berak (air besar), mungkinkah tubuh mereka bersih atau sebaliknya penuh borok, badan mereka penuh bau, atau aroma tubuh mulut dan barisan gigi mereka begitu basih? Siapa yang tahu atau sekadar peduli? Sudah lama sekali ibu dan anak itu tak pernah menampakan diri kepada matahari dan bulan tidak hanya itu hitung-hitung cermin jadi bayangan semu sebab pagi dan malam rutinitas mereka membusung-memasung diri pada tungku api dengan segala aroma kopi yang sejak belasan tahun dan secarik kertas dari lembaran-lembaran buku dengan tulisan yang tumpang-tindih dari waktu ke waktu. “Angelica kau paham pada tulisanmu?” tanya seseroang pada dirinya. Angelica menggumam pada siapa yang bertanya? Tak ada siapa-siapa.
Waktu itu hanya ada ia dan tubuhnya di ruang keluarga. Ruangan yang kian jadi akrab baginya. Ruangan yang kian merangsang tangannya bercengkerama dan pikirannya terpasung pada mata seperti mencari kerinduan dari keributan-keributan, canda dan tawa dengan segala kisah yang terbaring bagai jasad di otaknya. Sedang ibunya masih menyanyikan nyayian air mata yang didengar seperti pesta requem dengan perjamuan abu dan asap, debu dan remah-remah ampas kopi serta tungkunya, kayu dan kepingan arangnya. Tanyanya tanpa suara siapa yang bertanya kepadaku? “untukmu semoga namaku yang dipanggil dengan tanda dari ibu-Malaikat”, sebuah nama yang kutulis pada namaku “Angelica”. Aku hanya paham dengan menulis secarik puisi teruntuk hidupku yang kuberi nama “Embun pada Sepasang Mata yang Lebam”
Keterangan
*fillu: kue cucur makanan khas daerah Ende-Lio.