Kupang, Vox NTT- Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) mencatat sedikitnya terdapat sebanyak enam (6) kasus perampasan lahan dengan skala besar di provinsi itu sepanjang tahun 2019.
Keenamnya yakni, pertama, proyek pembangunan lapangan golf di Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat. Lahan ini seluas 164 Ha dan proyeknya dikerjakan oleh PT GSP.
Kedua, proyek pembangunan hotel oleh PT SMK di lahan milik warga yang berlokasi di Desa Patiala Bawa, Marosi, Sumba Barat.
“Modusnya perampasan lahan tersebut pada tahun 1995 menjanjikan kepada warga pemilik lahan dalam kurun waktu lima tahun untuk mebangun hotel bintang lima dan memperkerjakan warga pemilik lahan seumur hidup. Namun tanpa sepengetahuan warga secara sepihak tanah dijual kepihak lain,” jelas Direktur WALHI NTT Umbu Wulang, Selasa (10/12/2019).
Ketiga, jelas Umbu, perampasan lahan di Desa Hobawawi oleh PT IAS (Hotel Nihiwatu) berlokasi di Sumba Barat seluas 1 Ha.
Keempat, pembangunan restoran apung, kolam apung dan jeti apung di Kabupaten Lembata oleh PT Bahana Krida Nusantara.
Kelima, lanjut Wulang, proyek perkebunan monokultur tebu oleh PT MSM di Sumba Timur.
“Dampaknya yakni kerusakan hutan di dua kecamatan, monipoli sumber daya air hingga berdampak kekeringan terhadap lahan milik petani di Desa Wanga dan Desa Patawang Sumba Timur,” ujar Umbu dalam diskusi tinjauan akhir tahun Walhi NTT di kantor LSM itu.
Keenam, proyek cengkih oleh PT Peniti Sungai Purun di Desa Dangga Mangu, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat. Proyek ini bahkan dikawal oleh pihak kepolisian yang bertugas tetap di kawasan PT PSP.
Umbu bahkan menyebut NTT sebenarnya tidak miskin, hanya saja sedang mengalami proses kebangkrutan.
“Dulu kita terkenal dengan Pulau Cendana. Lalu Cendana habis, kita tetap miskin. Lalu disebut sebagai Provinsi Peternakan Unggul yakni sapi timor. Sapi kemudian hilang kita masih juga miskin. Lalu yang berikut adalah provinsi tambang. Itu sama sekali tidak mensejahterahkan masyarakat. Akan tetapi yang kita peroleh adalah kerusakan lingkungan,” jelasnya.
Lanjut dia, investor banyak melakukan pembelian lahan di NTT. Tak sedikit terdapat praktik privatisasi lahan terlebih wilayah pesisir pantai.
“Itu jelas-jelas menyalahi UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Wilayah Sempadan Pantai,” imbuhnya.
Bahkan menurut Umbu, NTT juga kebangkrutan Sumber Daya Manusia (SDM). Tidak hanya Sumber Daya Alam (SDA) yang dieksploitasi, tetapi juga manusia.
“Eksploitasi SDM itu terlihat saat NTT mengalami peningkatan perdagangan manusia,” ujar dia.
Umbu bahkan menyebut Pemerintah NTT memberikan karpet merah kepada investor tanpa pertimbangan bencana alam yang kemudian terjadi di provinsi itu.
Pantauan VoxNtt.com, Selasa (10/12), diskusi akhir tahun oleh WALHI NTT dihadiri oleh sejumlah jurnalis media online dan cetak, LSM dan juga akademisi.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba