Oleh: Erik Ebot*
Film The Two Pope adalah sebuah film drama biografi garapan Fernando Meirelles dan naskahnya ditulis Anthony Mccarten, diadaptasi dari sandiwara 2017 karya Mccarten the Pope.
Film ini diperankan dua aktor kondang Hollywood yaitu Anthony Hopkins sebagai paus Benediktus XVI dan Jonathan Pryce sebagai kardinal Jorge Mario Bergoglio. Film ini umumnya disambut dengan sangat baik oleh para pengkritik dan pencinta Film Hollywod
The Two Popes sukses mendapatkan empat nominasi penghargaan Golden Globes 2020. Pryce yang sebelumnya pernah mendapatkan nominasi untuk pemeran pendukung serial TV terbaik di ajang serupa tahun 1994, kali ini masuk nominasi Aktor Terbaik Kategori Drama.
Film ini juga mendapatkan nominasi untuk Film Kategori Drama Terbaik, Aktor Pendukung Pria Terbaik (Anthony Hopkins) dan Naskah Terbaik (Anthony McCarten). Jumlah nominasi yang didapatkan menyamai yang diperoleh film fenomenal lainnya di tahun 2019, Joker.
Sinopsis
Film ini diawali dengan scene yang memperlihatkan sosok Bergoglio, yang saat itu menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires sedang bekhotbah di hadapan ribuan umatnya di buenos Aires di tahun 2005. Banyak orang datang mendengarkan dia dan menunjukan betapa Figur Bergoglio memang sangat popular dan disukai oleh umatnya di Argentina.
Lalu scene pun berlanjut dengan berita meninggalnya Paus Yohanes Paulus II yang segera pula mengumpulkan para kardinal untuk mengadakan konklaf (sebutan untuk masa ritual pmilihan paus baru) untuk memilih paus baru. Dikisahkan juga persaingan “politis” mewarnai proses konklaf. Kardinal Ratzinger dalam pemilihan itu akhirnya terpilih sebagai paus baru yang kmudian memilih nama Benediktus XVI.
Konflik dan ketegangan dimulai ketika skandal Vatikan atau vatican leaks, terbongkar. Paus Benediktus XVI, yang mulai uzur menjadi sosok yang paling bertanggung jawab dengan adanya skandal-skandal ini. Menghadapi skandal dan juga keraguan diri yang menguat, Paus Benediktus XVI yang mengakui bahwa “Sulit mendengarkan suara Tuhan” bertemu dengan Bergoglio yang waktu itu ke Roma, pusat Gereja Katolik, untuk mengajukan surat pengunduran diri dari jabatan sebagai uskup Agung.
Pertemuan keduanya menandai awal adegan dialog dan perdebatan tentang posisi masing-masing mengenai iman, dokrtin Gereja anka skandal yang terjadi dalam Gereja serta tanggapan Gereja berhadapan dengan zaman yang semakin berubah. Dalam perjumpaan itu, keduannya juga saling membagi pengalaman masing-masing.
Di balik tembok Vatikan, dalam perjumpaan-perjumpaan serta dialog, kedua tokoh agama ini, mulai berjuang antara mempertahankan tradisi atau mengikuti kemajuan zaman, antara bergelut untuk tinggal dalam rasa bersalah atau move on. Antara mengikuti naluri untuk menegaskan posisi menggunakan kuasa secara sewenang-wenang atau memilih untuk belajar mendengarkan demi mendapatkan apa yang dimimpikan semua. Dialog dalam perjumpaan akhirnya brbuah pengampunan, puncak dari perdebatan panjang berakhir di ruang pengakuan. Kedua tokoh agama ini saling memberikan pengakuan satu sama lain.
Pengakuan menyempurnakan dialog serentak mendamaikan perbedaan. pengakuan meredahkan ego masing-masing dan memampukan mereka untuk menghadapi masa lalu mereka maing-masing. Pengampunan memurnikan kepentingan sekaligus membebaskan diri dari kepentingan pribadi sehingga mampu menemukan landasan bersama dan membentuk masa depan bagi miliaran pengikut di seluruh dunia.
Ada kesan bahwa, film ini mengeksploitasi isu-isu sensitif dalam Gereja, yang selama ini berusaha ditutup-tutupi. Isu tentang homoseksual dan korupsi serta skandal memang benar adanya terjadi dalam gereja, tapi tidak ditampilkan secara terang dalam film itu, Akan tetapi secara pribadi, terlepas dari latar belakang itu, saya mengapresiasi film ini karena sudah berani menampilkan dua tokoh agama besar dalam Gereja yang populer di mana pandangan dan sikap mereka turut mepengaruhi kebijakan Global.
Dari keseluruhan cerita, saya amat berkesan dengan adegan yang melibatkan dialog yang begitu panjang yang dilakukan oleh dua tokoh besar alam agama nasrani ini. Dialog-dialog ini tidak hanya panjang, tapi juga memperlihatkan pandangan kedua tokoh ini yang sebenarnya bersebrangan sekali. Dalam beberapa sumber yang saya telusuri, adegan dialog yang menjurus perdebatan sengit antara dua tokoh ini memang tidak riil, tapi sang sutradara sengaja menampilkan adegan ini untuk memperjelas perbedaan latar belakang dan pandangan yang dianut dua tokoh ini yang diperoleh sutradara melalui wawancara dan tulisan mereka masing-masing.
Paus benediktus XVI, seorang Jerman yang sangat disiplin, cendrung kaku dan terkenal konservatif serta sangat protektif terhadap doktrin Gereja berhadapan dengan Jorge borgoglio, seorang campuran Italia dan Argentina, kemudian adalah paus Fransiskus, yang cendrung fleksibel, moderat dan progresif.
Dialog yang Membebaskan
Untuk konteks kita dan apa pembelajaran penting yang kita pelajari dari film ini. Bagi Saya film ini mengajarkan kepada kita tentang perbedaan yang seharusnya dirayakan dengan penuh respect. Sebagai paus yang berkuasa, Dalam menghadapi perbedaan pendapat bahkan posisi dengan Jorge Bergoglio, paus Benediktus XVI tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk membenarkan diri.
Sebagai pemimpin agama dan pemimpin atas Jorge Bergoglio sendiri, paus Benediktus XVI menikmati perbedaan pandangannya serta dialog dengan Bergoglio. Memang kegelisahan, berontak, kemarahan mewarnai perdebatan sengit keduanya, terutama ditunjukkan dengan ekpresi paus Benediktus XVI saat menuding Bergoglio “sesat”.
Akan tetapi, tudingan itu tidak dibalas dengan kemarahan dan kekecewaan dari Bergoglio tapi dimurnikan dengan sikap Benediktus XVI yang mau meminta maaf serta kesediaan mereka untuk melanjutkan dialog beradu argumen sampai pada akhirnya menemukan solusi bagi kepentingan Gereja katolik seluruh Dunia.
Kedua tokoh ini berhasil menunjukkan bahwa pemimpin agama sudah seharusnya saling berdialog dan menyingkapi perbedaan dengan kepala dingin, tanpa memunculkan ketegangan dan saling baku sikut yang kemudian memicu keresahan dalam kehidupan umat. Paus Benediktus XVI, figur yang berkuasa, menampilkan dirinya sebagai pribadi yang manusiawi dan bisa salah. Ia tidak menyembunyikan kegagalan dan kesalahannya dengan mengkambing hitamkan orang lain, atau pihak lain. Kerendahan hatinya untuk berdialog jujur dengan Bergoglio dalam seluruh kesuksesan dan kegagalannya sebagai pemimpin tertinggi Gereja katolik bagi saya juga merupakan sebuah ekpresi kebajikan serta kebijaksanaan.
Bergoglio sebagai partner dialog pun mendengarnya dngan penuh kesabaran, sambil sedikit menantang keputusannya. Bergoglio tidak menghakimi, tapi mendengar Paus Benediktus XVI dengan tulus. Di sini pembelajaran yang penting kita bisa dapat, bahwa melauli dialog, orang akan sampai kepada pemahaman tenta apa yang sebelumnya tidak dipahami yang juga mendorong kita untuk berempati serentak peduli dengan posisi serta kondisi kita masing-masing. Dialog memberi ruang bagi setiap pihak untuk mengungkapkan harapannya, dengan tetap memikirkan harapan orang lain, bukan menegasikannya dan membuatnya terus bersalah seumur hidup.
Dari film yang berdurasi dua jam lebih ini juga, saya menemukan bahwa kekuasaan itu tidak melulu ada di tangan para penguasa. Kekuasaan yang sebenarnya ada dalam bahasa yang kita konkritkan dalam dan lewat dialog.
Dalam konteks film ini, paus Benediktus XVI, yang punya kuasa tidak dapat salah (dalam teologi katolik Paus memiliki apa yang disebut infabilitas, di mana dengan kuasa Roh Kudus, paus dilindungi dari kemungkinan membuat kesalahan untuk mengajarkan ajaran dasar Iman katolik).
Tapi, sebagai pemimpin, ia sungguh menyadari bahwa kekuasaan sesungguhnya ada dalam dialog. Melaui dialog paus Benediktus XVI dengan Bergoglio, kekuasaan bertransformasi menjadi tools untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Melalui dialog, Paus Benedikus XVI dibebaskan dari kungkungan atau kecendrungan untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Melalui dialog pula, Jorge Bergoglio dapat menerima keputusan paus Benediktus XVI untuk mengundurkan diri sekaligus dikuatkan untuk tetap menjadi seorang kardinal.
Keputusan Bergoglio untuk tetap menjadi kardinal kemudian membuat dirinya dipilih menjadi suksesor Paus benediktus XVI, dengan nama Paus Fransiskus. Paus Fransiskus adalah paus Pertama dari benua Amerika Latin.
Ia memilih nama Fransiskus, karena ingin meneladani serta mencerminkan “kemiskinan dan perdamaian”. Fransiskus membawa angin segar bagi Gereja Katolik pasca diterpa berbagai isu skandal yang menerpa. Ia memikul harapan besar untuk menata ulang dan membawa Gereja Katolik agar bisa hidup selaras zaman. Pendekatannya dalam memimpin Gereja jauh lebih human, merangkul perbedaan dan terutama ia paling mampu membahasa ajaran iman katolik dalam bahasa yang bisa dimengerti semua kalangan, bahasa cinta dan belas kasih.
Kita hidup di Indonesia dengan fakta kebhinekaan yang begitu kental. Perbedaan kalau tidak dikelola dengan baik pasti akan memicu khaos. Baik atau tidaknya output dari kebhinekaan sangat bergantung dari cara kita bersikap terhadap perbedaan itu. Bila pemimpin kita menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan kekuasaan untuk membungkan bahkan melenyapkan pihak yang berbeda dengan penguasa maka sulit untuk membayangkan rakyatnya hidup dalam perbedaan yang saling memperkaya dan membebaskan.
Kebajikan dan kebijaksaan pemimpin dalam bersikap terhadap perbedaan serta usaha pemimpin memajukan dan menghidupkan dialog dalam perbedaan sangat menentukan serentak mendesak bagi kemajuan atau kemunduran sebuah negara. Ignas Kleden menekankan citra rakyat sangat tergantung pada citra pemimpinnya. Pemimpin sejati itu harus mampu menciptakan citra yang baik bagi diri sendiri dan juga bagi citra bangsa yang dipimpinnya.
Dalam kemendesakan ini, sangat relevan bila, pemimpin kita, perlu menonton dan belajar dari film The Two Popes, tentang kepemimpinan, kekuasaan, serta urgensi dialog dalam perbedaan.
*Penulis saat ini tinggal di Ledalero, Sikka, NTT