Oleh: Pius Rengka*
Entah bagaimana awalnya, saya kurang mahfum. Tetapi, tiba-tiba saja atmosfir langit sosial di NTT terkesan kacau-balau haru-biru. Caci-maki hardik kutukan mengudara nyaris hampir seminggu lebih. Sumpah serapah pun begitu.
Ini gara-gara warta berita Mario G Klau nikah. Pemenang ajang pencarian bakat asal NTT itu, memang sudah matang untuk nikah. Dia nikah dengan perempuan, belahan jiwa pilihannya. Dia tidak nikah dengan laki-laki.
Sekadar refleksi. Nikah, entah untuk urusan kultural mana pun, memang benar, tak hanya menjadi urusan privat. Nikah, dalam banyak praktek kebudayaan di dunia telah menjadi urusan sosial. Nikah di Eropa, Arab, Amerika, Afrika, Jepang, China, Brazil, Australia, atau juga di sebuah ceruk udik di pedalaman NTT, sudah menjadi urusan orang ramai. Yang membedakan cara nikah di Eropa, Amerika, atau belahan lain di dunia ini, ialah ritus seremonial sebelum peristiwa nikah itu terjadi.
Biasanya, nikah didahului aneka tahapan. Pada awalnya justru dimulai pasangan nikah itu sendiri. Kisah kasih pasangan calon nikah, mungkin saja dimulai saat mereka bertemu di sebuah pesta. Entahkah itu pesta akbar atau pesta kecil.
Mungkin pula jatuh cinta terjadi saat mereka bertemu di sebuah kolam renang ketika satu dengan lainnya menyelam bersilang. Keduanya mengirim senyum di kulum dengan sejumlah makna permakluman yang dibuai buih gelombang air. Atau dua sejoli ini berjumpa di sebuah ruang pertemuan diskusi serius atau di alam terbuka nan bebas.
Intinya, kisah bakal calon nikah biasanya dimulai dengan sebuah perjumpaan entah tanpa sengaja di mana dan kapan dalam situasi apa.
Selanjutnya, dua sejoli itu saling memberi perhatian. Mengirim isyarat bermakna tunggal. Beri ucapan. Beri hadiah, atau beri tanda yang pada intinya berpesan tentang ceritera betapa kuatnya hasrat keduanya untuk hidup bersama sebagai suami istri dalam periode waktu yang lama.
Pada para pasangan remaja, sambil pelukan lekuk pinggang di sebuah tepi pantai, selalu mungkin ada ucapan yang agak irrasional dan jauh dari obyektivitas. Misalnya, terinspirasi entah oleh apa, sang pria berkata santun. “Sayang, dunia ini milik kita, lainnya hanya anak kost”. Atau ada ucapan agak puitik, semisal: “Sayang, dikau belahan jiwaku, dikau bagai cahaya rembulan penyelimut sukmaku yang sedang lara mengembara di jagat cakrawala. Aku ini rela mati demi memperjuangkanmu”. Meski ucapan terakhir ini agak terkesan amat sangat bodoh, karena toh jika satu di antaranya mati, lalu untuk apa nikah lagi.
Namun, hal berbeda dengan kawin. Kawin itu urusan privat. Tak pernah ada dalam urusan kawin istri yang dinikahi menjadi urusan orang ramai di tempat ramai pula. Maka, nikah itu urusan banyak pihak, tetapi kawin urusan privat.
Di lingkup kultur tertentu, ada inisiasi khas sebelum nikah terjadi. Semisal, ritus latihan kawin. Latihan kawin, biasanya dilakoni oleh orang berpengalaman kawin sebelumnya. Tentu saja, tentang siapa petugas pelatih kawin, ada urusan relasi kultural juga.
Di sebuah komunitas kecil di cerukan pegunungan Himalaya, sebagai misal, ada semacam ritus latihan kawin sebelum pasangan kekasih nikah. Ritus kawin dipercayakan kepada pria dewasa yang dianggap sudah sangat mapan mahir dan diduga mantap berpengalaman di urusan khusus itu. Pria pelatih kawin namanya.
Untuk pelatih kawin, tak ada urusan baginya dengan suka atau tidak suka, naksir atau tidak naksir. Intinya, dia adalah petugas. Dia ditugaskan khusus untuk urusan kawin. Dia menjalankan tugasnya begitu tekun dan sungguh-sungguh saja karena diminta oleh adat istiadat. Pasangan kawinnya adalah calon pengantin wanita yang bukan istrinya kelak menerima itu sebagai bagian jalan hidup yang dinikmati begitu saja dengan riang gembira, mungkin penuh dahaga.
Tentu saja, ada di antara para pembaca, memiliki sedikit hasrat yang membara dan mungkin juga berminat cukup kuat untuk terlibat atau ikut serta diajak menjadi pelatih kawin. Karenanya, mungkin, akan sangat bersedia pergi ke sana mengikuti panggilan kebutuhan.
BACA JUGA: Kemolekan Tubuh Putri Indonesia di Pariwisata Premium Labuan Bajo
Memang, nikah di tanah air dan juga di tempat lain, mesti melibatkan banyak pihak. Pelibatan banyak pihak, entah diundang oleh hukum adat istiadat atau bukan, tetapi di sisi lain, acara nikah semacam publikasi (announcement) tentang kepedulian sosial. Tetapi, aneh nian. Banyak orang mengutuk Mario Klau. Koq bisa?
Patut dicatat, di mana pun, hasrat kawin mungkin diduga keliru entah oleh siapa pun. Tetapi kawin itu merupakan hukum alam yang tak terbantahkan sepanjang sejarah manusia. Mahluk hidup lain di muka bumi ini pun begitu.
Bandingkan dengan kisah berikut ini. Pada fase perkembangan biologis tertentu, semua mahluk hidup mesti kawin. Semua mahluk hidup pasti (atau perlu) kawin agar perkembangbiakan eksistensinya terus berlangsung.
Kita justru harusnya menyoalkan jika ada mahluk hidup yang tak kawin. Mahluk yang tak kawin, dikesankan tidak memenuhi sapaan hukum alam. Memang, diakui, ada manusia empirik memilih hidup selibat sebagai cara dia menghayati kemuliaan hidupnya sendiri.
Ada juga manusia lain yang terpaksa tidak kawin biologis bukan lantaran dia tidak mau kawin, tetapi karena tak ada atau belum ada pasangan yang pas untuknya. Hingga usia senja, ada orang tak pernah kawin biologis meski di alam pikirannya terlintas sejenis perkawinan maya dengan segala cara.
Perihal kawin manusia, persis sama dengan kawin kawanan hewan lainnya di bumi ini. Ada musim kawin hewan, kecuali hewan sakit pasti tak terlibat. Begitu pun bunga-bunga atau aneka jenis tumbuhan dan burung-burung di udara. Pasti kawin. Pohon berbunga setelah pembuahan melalui aneka metode alamiah.
Kawanan hewan butuh kawan kawin. Cara (ritual) kawin aneka jenis hewan agak berbeda satu dengan lainnya. Tetapi metode kawin untuk jenis hewan yang sama pasti selalu ajeg, atau tetap. Cara anjing kawin polanya tetap, entahkah itu anjing di Afrika, Asia, Eropa atau Amerika. Entahkah itu anjing jenis buldog, pitbul atau herder. Cara kawinnya tetap. Kadang cara kawin anjing gemar ditiru manusia demi sebuah imajinasi kenikmatan tertentu.
Mahluk hemaprodith berbeda. Bekicot memiliki kelamin ganda. Karena itu bekicot tak membutuhkan lawan main. Dia kawin dengan dirinya sendiri karena di tubuhnya disediakan takdirnya dengan kelamin ganda.
Anehnya, perihal Mario G Klau kawin dengan gadis pilihannya, kok jadi riuh nian. Semua orang berkepentingan dengan urusan Mario kawin. Sepertinya semua orang merasa perlu memberi masukkan atas pilihan Mario.
Ternyata, orang riuh bukan main lantaran artis pelantun lagu-lagu merdu itu pindah agama. Para netizen gaduh bukan main menyusul luasnya gambar/foto Mario Klau yang menikah dengan tradisi berbeda dengan agama yang umum dianut Netizen tentang keyakinan Mario.
Hujatan datang bagai hujan musim. Caci maki naik jauh lebih tinggi ke langit dengki, persis sama hebohnya ketika Mario didukung untuk meraih kemenangan pada ajang kompetisi pencarian bakat.
Jadi, satu-satunya alasan caci maki dan hujatan ialah karena Mario disinyalir pindah agama untuk urusan kawin. Massa netizen sepertinya tak sudi. Jika reaksi netizen seagama Mario berlumuran hujatan dan dengki, sebaliknya penganut agama lain yang berbeda dengan Mario justru tempik sorak.
Maka sesungguhnya, agama inilah yang telah menjadi faktor atau unsur bikin repot dan heboh. Agama menjadi faktor pemicu the power of togetherness.
Tetapi orang lupa, bahwa perihal pilihan atas agama apa yang hendak dianut seseorang, merupakan pilihan bebas yang dijamin oleh konstitusi pasal 29 UUD 1945. Perihal kapan pilihan bebas itu dimulai, ya kapan-kapan saja dan dapat dimungkinkan di mana saja pada siapa saja.
Yang selalu tetap hanyalah perihal kawin. Kadang tidak perlu diberi warna entah oleh budaya apa. Nikah silakan pakai ritus mana saja tak masalah. Tetapi kawin tetaplah urusan privat.
Ketika agama masuk di semua arena sosial, maka yang rusak bukanlah agama itu per se, melainkan manusia penganut agama yang terlibat dalam pentas di arena sosial itu. Kisruh sosial justru kian keruh karena semua hal disuruh mengikuti ritus agama dari para pembuat kisruh. Sedangkan Tuhan yang disembah melalui agama tukang kisruh tetap tak pergi jauh. Bahkan mungkin Tuhan tak pernah menyoalkan hal itu begitu seru seseru para netizen di sini.
Pada konteks gejalanya, di tanah air memang sedang deras mengalir air musim agama. Diskursus konflik agama kian marak, persis ketika banyak cara lain tak sanggup dikelola dengan kanal rasional. Rasionalitas kian lepuh dan tumpul ketika kita mati-matian ekstrim dengan kebenaran tunggal agama yang diyakini. Sementara di lain tempat di dunia ini, agama kian tak menyimpan efek untuk banyak urusan.
Di Israel, misalnya, hanya 12 persen orang meyakini agama masih berpengaruh penting dalam kelola relasi hidup mereka. China pun begitu. Pengaruh agama dalam relasi sosial mereka diduga tersisa 4%.
Amerika, Australia juga nyaris memiliki angka yang sama. Berada di posisi di bawah 20%. Tetapi di Indonesia dan Ethiopia, hampir 90% orang berpikir agama sangat penting pengaruhnya dalam membangun relasi sosial.
Jika ditilik lebih dalam, dapat disimpulkan bahwa di negara-negara industri maju dan ekonomi makmur, pengaruh agama kian lemah dalam membangun relasi sosial, sedangkan di negara-negara miskin justru agama berperan sangat penting dan sangat kuat dalam hampir semua bentuk dan sifat relasi sosial. Akibatnya, agama masuk hingga ke relung-relung politik dan teras figur publik. Pemilihan gubernur di DKI belum lama ini, isu agama menguat. Hal yang sama dialami Mario Klau.
Fakta ini patut dicermati. Barack Obama pindah agama, biasa-biasa saja. Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis itu, pernah tak punya agama, lumrah saja. Nitze menganggap Tuhan sudah mati dan karena itu agama tak penting-penting amat, tak terlalu heboh untuk hari ini. Mike Tyson muhibah ke agama lain, dianggap wajar saja. Pencetak gol indah dari Brazil seperti Ronaldinho, tetap ngelamun tatkala dia masuk gereja dimaklumi lantaran derita miskin yang dialaminya.
Christiano Ronaldo mengocek lawan main hingga tak berdaya tak ada hubungannya sama sekali dengan agama yang dianutnya, meski cara gocek Christiano Ronaldo nyaris serupa dengan Danielson dari Brasil yang Katolik. Mohammad Salah pemain sayap kanan Liverpool berlari sangat cepat lalu menyodok bola hingga gol bertubi-tubi ke gawang lawan yang mayoritas agama berbeda dengannya, tak pernah disoalkan.
Yang justru sungguh patut heboh ialah ketika kalangan terbatas memakai agama menjadi alat legitimasi dan konfirmasi sahih untuk membunuh dan membenci orang lain. Bom bunuh diri dilakukan atas nama bela agama.
Namun, Wafa Idris, perempuan jelita nan cerdik pandai di Palestina, pelaku bom diri pertama wanita, tewas mengenaskan, bukan lantaran agama. Ia mati terkapar dihajar ledakan maha dasyat karena ditindas oleh sistem sosial yang tidak adil yang dialaminya bertahun-tahun di wilayah perbatasan.
Sambil menggendong sebuah ransel kuliah, di depan mall di Tel Aviv, dengan amat sangat tenang dia menarik pelatuk detonator meledakkan dirinya tanpa harus berteriak tentang kebesaran nama Allah.
Bahwa pidato Pemimpin Palestina Yasser Arafat telah menyihir masyarakat Palestina ikut menyumbangkan keberanian Wafa Idris, memang benar adanya. Tetapi, sejak saat itulah kutukan umat manusia sejagat bukan terutama atas adanya konflik agama, melainkan lantaran sistem sosial dan relasi sosial yang terus merengkuh kebebasan manusia dengan jalan tanpa keadilan.
Mario Klau, manusia bebas. Demi dan atas nama kebebasannya itu, dia memilin jalannya sendiri. Pilihan mungkin tidak selalu sama dengan para netizen, tetapi toh kita mesti merasa biasa. Mario Klau tetaplah dikau tekun di jalan sunyi.
Mario teruslah dikau melantunkan lagu pujian ke singgahsana Sang Maha Mengerti, Sang Raja Para Penyair, Raja Yang Merajai Semua Kata-kata. Begitulah.
*Penulis adalah jurnalis senior NTT, PU VoxNtt.com