Oleh: Jean Loustar Jewadut
Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret
Secara geografis, sebagai sebuah ilmu, filsafat lahir di pelabuhan Miletus, di tepi barat Ionia, wilayah Asia Kecil. Itulah sebabnya, para filsuf pertama disebut sebagai filsuf-filsuf dari Miletus atau Ionia. Thales dari Miletos dan beberapa pemikir Eleatik (dari daerah Elea) lainnya dianggap sebagai pendasar filsafat sebagai suatu bidang pelajaran (Kebung, 2007:25-26). Berkat jasa para filsuf tersebut, dalam perkembangan selanjutnya, minat orang untuk mendekat filsafat sebagai sebuah ilmu relatif tinggi, meskipun banyak muncul prasangka negatif terhadap filsafat seperti ilmu yang abstrak, amat teoritis, terlalu melangit, dan tidak berpijak di bumi.
Filsafat dilihat sebagai ilmu yang melatih orang untuk berpikir kritis dan cermat dengan menggunakan pelbagai tata aturan logis. Dalam filsafat, orang juga dapat belajar untuk membuat refleksi yang menuntunnya kepada kebenaran. Dengannya seseorang akan dapat bersaksi dan menghidupkan kebenaran dalam hidupnya. Bapak-bapak filsafat seperti Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) menegaskan bahwa filsafat adalah suatu karya akal budi yang amat luhur dan tinggi, melampaui semua yang dapat diindrai atau segala kenikmatan duniawi lainnya.
Filsafat tidak hanya dipelajari untuk kepentingan pertanggungjawaban iman atau melaksanakan sikap kritis terhadap tradisi religius atau dalam bahasa abad pertengahan filsafat menjadi ancilla theologiae (hamba teologi), tetapi juga untuk mempelajari dan menganalisis konteks yang lebih luas seperti kehidupan bernegara. Studi filsafat mesti menggerakkan keberanian seseorang untuk mencari dan bertanya tentang masalah-masalah aktual yang mewarnai kehidupan masyarakat. Filsafat membuka mata dan mempertajam kepekaan orang untuk menangkap tendensi-tendensi utama dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Semua itu mesti dilakukan oleh filsafat karena pada hakikatnya yang menjadi objek studi filsafat adalah totalitas keterbukaan terhadap realitas kehidupan.
Karl Marx pernah menegaskan bahwa “Para filosof hanya memberi interpretasi lain kepada dunia. Yang perlu adalah mengubahnya.” Marx juga mengambil distansi dengan Feurbach yang hanya berhenti pada kritik agama karena menurut Feurbach agama membuka jalan bagi manusia untuk lari dari realitas kehidupan konkret. Menurut Marx, kritik agama saja tidak cukup dan harus dilengkapi dengan kritik terhadap realitas kehidupan masyarakat yang membuat orang lari ke dalam agama. Atas dasar itu, menurut Marx: kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik (Suseno, 2016:8).
Pernyataan dan posisi Marx sebenarnya memberi satu pikiran dasar bahwa filsafat harus menjadi kekuatan revolusioner dalam kehidupan bersama. Mengapa? Salah satu alasan mendasar yang diungkapkan oleh Marx ketika itu adalah bahwa tidak sedikit dari para filsuf profesional menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengurus dunia idea yang bercorak teoretis dan melupakan urusan dunia real, tempat mereka berada bersama dengan yang lain dan memulai petualangan intelektual. Padahal menurut Marx, dunia yang menjadi tempat mereka merajut kehidupan sudah dipenuhi oleh aneka macam persoalan yang menuntut upaya penyelesaian konkret.
Berbeda dengan setiap ilmu yang memiliki objek tersendiri dan metode pendekatan yang khusus sesuai dengan ciri ilmu dan tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu yang bersangkutan, filsafat memiliki totalitas sebagai objeknya, dan oleh karena itu, ia tidak memiliki objek yang tertutup seperti ilmu-ilmu lain, melainkan suatu keterbukaan total dan radikal terhadap realitas.
Filsafat akan terus bertanya sampai akhir, bahkan filsafat masih akan bertanya mengapa ilmu-ilmu hanya bisa sampai pada titik di mana tujuannya sudah tercapai. Hakikat filsafat adalah usaha untuk mencari secara terus menerus dan dengan demikian kita senantiasa memperdalam ketidaktahuan kita. “Saya tahu bahwa saya tidak tahu. Itulah yang saya tahu”, kata Socraters. Kesadaran akan ketidaktahuan mendorong seseorang untuk tidak pernah merasa puas sehingga terus-menerus mencari, mencari, dan mencari pengetahuan-pengetahuan baru.
Pendekatan yang menyeluruh terhadap realitas menyebabkan filsafat bersifat terbuka terhadap disiplin ilmu-ilmu lain. Dengannya, filsafat dapat bekerja sama dan berdialog dengan ilmu-ilmu lain tanpa harus mengorbankan identitas ilmu masing-masing. Hal ini dikenal dengan istilah inter-discliplinary approach atau juga dikenal dengan istilah cross-scientific fertilization. Pendekatan disiplin ilmu dan bersama dengan ilmu-ilmu lain bertujuan untuk memahami kompleksitas kehidupan dengan sebaik-baiknya sebagaimana apa adanya guna menata kehidupan manusia seutuhnya berdasarkan makna, arti, dan nilai hidup suatu masyarakat. Dalam hal ini, penting bagi seseorang yang belajar filsafat untuk menelusuri dan mempelajari bukan hanya seluruh pustaka yang ada hubungan dengan ilmu yang dipelajari, tetapi juga seluruh pustaka ilmiah lain.
Filsafat yang bernafaskan totalitas keterbukaan terhadap realitas kehidupan tidak bisa bekerja sendiri. Filsafat mesti membuka diri untuk berdialog dengan ilmu-ilmu lain sehingga menjadi senjata yang bisa diandalkan untuk merefleksikan, menilai, mengkritisi, dan memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan konkret dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai seorang yang belajar filsafat, saya merasa sangat penting untuk tidak menyembunyikan filsafat di dalam menara gading kampus, tetapi menerjunkan filsafat ke ranah praksis kehidupan masyarakat dengan semua bentuk tantangan dan persoalan yang muncul.
Pada taraf ini, filsafat bukan terutama soal pandai merangkai kata-kata atau sekadar memberikan hiburan verbalisme kepada publik atau hanya untuk dikenal oleh publik dengan bantuan media-media yang ada, melainkan lebih pada usaha untuk menyuarakan kebenaran, memperjuangkan keadilan, mengkritisi dan mengkritik kinerja pemerintah yang acapkali “melupakan” rakyat dalam pengambilan keputusan tertentu atau pembuatan Undang-Undang tertentu.
Tidak dapat disangkal juga bahwa ada bahaya-bahaya tertentu yang akan muncul ketika seseorang yang belajar filsafat turun ke dunia praksis kehidupan manusia. Bukan tidak mungkin, seorang yang belajar filsafat bisa menjauhkan dirinya dari kebenaran dan kebijaksanaan yang menjadi orientasi dasar filasat atas alasan uang atau jabatan politis tertentu yang mendatangkan banyak profit.
Di ruang publik, filsafat berpotensi sangat besar untuk mengalami pembusukan seperti yang terjadi tahun lalu sehingga memotivasi sejumlah cendekiawan filsafat Indonesia mengadakan pertemuan di Jakarta dan berkomitmen untuk “Menolak Pemiskinan dan Pembusukan Filsafat di Ruang Publik” (Media Indonesia, 13 Februari 2019). Keputusan tersebut tentu lahir dari kegelisahan melihat ulah sejumlah cendekiawan yang menjadikan filsafat sekadar sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan pragmatis. Filsafat yang mengajarkan orang untuk mencintai kebenaran, kebaikan, dan kebijaksaan kehilangan jati dirinya sebagai akibat dari kiprah salah kaprah sejumlah cendekiawan.
Filsafat yang mengutamakan rasionalitas kritis dalam membaca realitas masyarakat menjelma menjadi rasionalisasi sehingga kebohongan yang disampaikan berulang kali di tempat yang berbeda-beda atau melalui media yang berbeda-beda seolah-olah menjadi kebenaran yang mendapat legitimasi publik. Kenyataan miris seperti ini menimbulkan kegalauan akademis di kalangan masyarakat lain yang menaruh kepercayaan kepada para cendekiawan sebagai agen yang memberikan pencerahan publik dan mengusahakan kebaikan bersama di dalam hidup.
Instrumentalisasi filsafat akan terus mewarnai ruang publik kita jika seorang yang belajar filsafat tidak lagi menjadi pribadi yang independen; artinya dia terikat pada seseorang atau terdorong untuk mencapai kepentingan-kepentingan pragmatis tertentu. Di samping publik mengharapkan pencerahan akademis dari orang-orang yang belajar filsafat terkait masalah-masalah dalam kehidupan konkret, tidak dapat dibantah juga ada banyak kritikan yang diberikan kepada orang yang belajar filsafat. Franz Magnis-Suseno mendapat banyak kritikan dari publik ketika beliau menyampaikan bahwa orang yang memilih golput tergolong orang yang bodoh, berwatak benalu, atau secara mental tidak stabil (psycho-freak). Beliau menyadari pilihan kata-katanya menjerumuskannya ke dalam kesalahan dan blunder yang besar (Tempo.co, Sabtu, 30 Maret 2019).
Rocky Gerung yang berlatar belakang filsafat juga sering mendapatkan banyak kritikan karena hanya mengutamakan keindahan kata-kata dan kemampuan beretorika seperti para sofis dulu. Kita juga tentu berharap agar kehadiran Donny Gahral Adian yang berlatar belakang filsfat di dalam istana dengan menjadi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden membuat Jokowi kaya akan narasi-narasi keadilan, kedaulatan dan kesejahteraan rakyat sehingga bisa mengambil kebijakan yang tepat.
Belajar filsafat sangat menyenangkan. Menghidupi filsafat sebagai ilmu dan pandangan hidup bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan komitmen yang teguh dan kerja keras agar filsafat sungguh-sungguh menjadi jembatan yang mengantar orang pada kebijaksanaan hidup.