Oelamasi, Vox NTT-Cerita kelam tentang derita warga eksodus Timor-Timur (kini Timor Leste) sejak bergabung dengan NKRI 20 tahun silam, seolah tak pernah usai.
Hingga kini, nasib mereka masih terkatung-katung. Mereka merasa dianaktirikan dari berbagai aspek pembangunan di negeri ini.
Padahal, dalam berbagai pertemuan dengan VoxNtt.com di beberapa momentum, mereka kerap mengungkapkan kecintaannya terhadap NKRI.
“Kalau mau jujur, kami punya cinta untuk tanah air sangat kuat”. Kalimat ini sering terdengar dari mereka. Derai air mata yang mengalir menguatkan kata cinta itu.
Cinta mereka memang harus diakui teruji. Ya, bisa dibayangkan bagaimana mereka berlumuran darah usai saling tembak dan saling tebas dengan saudara “sekandung” demi mempertahankan pilihan pada 20 tahun lalu.
Akibatnya, pada tahun 2000 silam itu, bumi Timor-Timur bersimbah darah.
Daerah yang sebelumnya terkenal religius itu, berubah menjadi kolam darah manusia. Darah tercecer ke segala arah, melanda seisi kota.
Kota itu menjadi kota mati. Nyawa manusia terkapar di mana-mana.
Bagi yang memilih NKRI, mereka tak rela bumi pertiwi dicabik-cabik. NKRI harga mati. Walau kini di NKRI mereka mati harga.
Perang telah usai, ribuan nyawa sudah melayang, bangunan hangus terbakar, harta benda lenyap ditelan kejamnya perang. Meski telah mengorbankan segalanya, status mereka belum jelas hingga kini. NKRI atau Timor Leste.
Mereka telah meninggalkan tanah tumpah darah dan seluruh harta benda yang tak terbilang. Tak hanya itu, di sana bahkan ada suami, istri, anak dan adik-kakak serahim yang harus mereka tinggalkan. Semua itu demi demi dan atas nama NKRI.
Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Sayang seribu sayang, pengorbanan dan kecintaan mereka yang terpatri bagi NKRI seperti bertepuk sebelah tangan. Perlakuan NKRI terhadap mereka, hingga hari ini tak sebanding dengan pengorbanan.
Setelah 20 tahun, mereka masih mengeluhkan perhatian pemerintah yang sangat minim. Jangankan bicara tentang akses pendidikan dan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih susah.
Mereka tak mempunyai tanah sendiri. Jangankan untuk berkebun, tanah yang kini mereka tempati saja belum jelas status kepemilikannya.
Untuk menyambung hidup sehari-hari, mereka bekerja menjadi buruh tani. Kalau bertemu tuan tanah yang murah hati, mereka diberi lahan untuk digarap meski kesepakatannya harus bagi hasil waktu panen.
Keluhan pilu memang tak pernah habis datang dari warga kelahiran Timor Leste ini.
Pada 2016 lalu misalnya, VoxNtt.com merilis berita tentang 52 kepala keluarga (kk) eks Timor Leste yang menempati tanah seluas 3 Ha di Desa Oebelo, Dusun IV RT 18 RW 007, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang yang belum bersertifikat. Baca: Warga Eks Timor Leste di Kabupaten Kupang Tuntut Kepastian Hukum Atas Tanah).
Keluhan yang sama kembali disuarakan 2017. Di era kepemimpinan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, Senin (25/09/2017), ribuan massa eksodus yang datang dari berbagai daerah di Pulau Timor menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur, Jl. El Tari Kota Kupang. (Baca: Rintih Resah Ribuan Warga Eks Tim-Tim di Kantor Gubernur NTT).
Mereka meminta kepastian status kewarganegaraan dan hak-hak mereka kepada pemerintah Indonesia.
Di tahun yang sama, 126 kepala keluarga (KK) eks Tim-Tim di Naen, Kelurahan Tubuhue, Kecamatan Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) hidupnya terkatung-katung lantaran ketiadaan air bersih dan lahan yang mau digarap demi menyambung hidup. (Baca: Warga Eks Tim-tim di Kefamenanu Krisis Air Bersih).
Akhir Juli 2019 lalu, VoxNtt.com kembali menerima keluhan warga kelahiran Timor-Timur yang mengungsi ke hutan di Desa Rinbesihat, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu setelah menumpang 20 tahun di lahan warga Leun Tolu dan lahan pemerintah di Sukabitetek, Desa Leon Tolu, Kecamatan Raimanuk.
Mereka mengungsi lantaran tanah yang mereka pakai untuk tingggal dijual pemiliknya. (Baca: 20 Tahun Menumpang, WNI Kelahiran Tim-Tim Mengungsi ke Hutan).
Sebulan kemudian, pada Agustus 2019, media ini kembali mengabarkan tentang seorang mantan pejuang Tim-Tim di Kabupaten Malaka yang tinggal di gubuk reot selama 20 tahun di atas tanah milik orang lain. (Baca: Miguel, Pejuang NKRI di Timor Leste yang Hidup di Gubuk Reyot dan Tak Punya Tanah).
Rintihan Kini Terdengar dari Barat
Kini rintihan yang sama kembali terdengar. Kali ini datang dari ujung barat Pulau Timor, Desa Oematnunu, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.
Keluhan pilu ini seperti rantai yang terbentang dari Timur hingga Barat.
Sabtu, 07 Maret 2020, VoxNtt.com menyambangi warga NKRI kelahiran Timor Leste di wilayah itu.
Saat tiba di lokasi, matahari mulai tenggelam di balik Pulau Semau. Dari sana, sang surya memancarkan cahaya kemerahan nan indah memahkotai tanah kelahiran Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.
Sementara kurang lebih 20 KM dari wilayah hunian mereka (warga kelahiran Timor Leste), kepulan asap terus menyembur dari dari cerobong pabrik semen milik pemerintah. Konon, namanya PT Semen Kupang.
Sebelum memasuki rumah, dua orang bapak berusia kira-kira setengah abad, sudah menunggu di ujung jalan lapen, menjemput jurnalis VoxNtt.om. Dari situ butuh waktu kurang lebih 15 menit untuk tiba di rumah, tempat warga sudah menunggu.
Di ruang tamu sangat sederhana, VoxNtt.com mendengarkan banyak kisah perjuangan tentang kemiskinan dan kerinduan akan jamahan pemerintah.
Di atas meja tersedia kacang tanah dan jagung yang direbus seadanya.
“Kita makan dulu. Ada kacang, jagung rebus dan nasi,” ujar seorang ibu paruh baya dengan dialek khas Timor Leste yang muncul dari balik kain horden pintu ke arah dapur.
Di dapur, ia ditemani belasan ibu-ibu lainnya yang sudah berkumpul sejak pagi.
Walau terlihat jenuh karena lama menunggu, namun mereka tetap menyapa sambari melemparkan senyuman khas masing-masing.
“Minum dulu adik. Nanti baru cerita-ceritanya,” ajak seorang ibu yang lain sambil menyodorkan segelas teh hangat.
Obrolan pun makin serius, teh yang paling tulus itu pun hampir habis diseruput bersama asap rokok yang terus mengepul keluar dari mulut bapak-bapak.
Makin lama, makin banyak orang berdatangan. Terakhir, jumlahnya kira-kira 30-an orang. Sebagian besar dari mereka, adalah bapak-bapak.
Kalau sebelumnya mereka bercerita terkait ketimpangan pembangunan dari dana desa di wilayah itu, yang seolah-olah tidak berpihak pada mereka, kini mereka berkisah tentang kemiskinan yang kian mencekam.
20 Tahun Tidak Diperhatikan
Alarico, Ketua pengungsi Timor-Timur di Desa Oematnunu menyebutkan, setelah 20 tahun, jumlah mereka mencapai 108 kepala keluarga (KK).
“Dulu kami dibangun rumah tahun 2001, kami tinggal tahun 2002, sampai sekarang. Itu rumah yang dibangun oleh negara,” ujar Alarico.
Nada bicara Alarico yang terdengar tegas, terukur dan blak-blakkan membuat seisi rumah sontak terdiam.
Sambil seruput kopi dan mengunyah kacang, ia bercerita soal ketimpangan pembangunan yang mereka alami selama 20 tahun.
“Kami di sini total 108 KK ada tiga blok. Dulu rumah yang dibangun itu hanya 96,” ujar Alarico.
Sebagai penanggung jawab atas ratusan warga di Kamp pengungsian, Alarico mengaku hingga kini bantuan sosial pemerintah dari desa bahkan pemerintah Kabupaten Kupang, terasa tebang pilih.
“Saya heran. Apakah kami ini bukan warga di sini. Padahal secara resmi kami sudah ada KTP. Kalau kepala desa sebelumnya, itu pernah datang ke sini. Itu pun satu kali, saat kedukaan. Kalau kepala desa yang sekarang, sudah dua periode tapi tidak pernah datang ke sini,” kata Alarico menjelaskan.
Menurutnya, ada kesenjangan perhatian oleh Pemdes Oematnunu bahkan sejak 18 tahun terakhir.
Potret Kemiskinan
Sebagai ketua kamp, Alarico tahu persis keadaan sosial ekonomi 108 KK ekosodus itu.
Ia menilai, 108 KK itu seperti menanggung kemiskinan akibat pembangunan dan perhatian pemerintah yang tebang pilih.
Bantuan ke desa, seperti bantuan ternak sapi, rumah sehat, dll juga sampai pada jabatan struktural perangkat desa, Alarico menyebut sangat tendensius dan tebang pilih.
“Saya tidak tahu kenapa kalau kami pengungsi ini tidak diberi jabatan entah dusun atau RT. Apakah karena kami pendatang. Tapi kan kami sudah menjadi warga negara Indonesia,” ujar dia.
Sementara Karolino Portelo warga Dusun II, penghuni Blok 19 A, hadir juga dalam diskusi dengan VoxNtt.com.
Pria yang kini memasuki usia senja itu duduk terpaku di pintu masuk. Dengan jaket dan celana motif loreng, mirip seragam pejuang milisi, matanya melotot tajam ke seisi ruangan.
Ia pun diberikan kesempatan untuk menceritakan kondisi keluarganya.
“Saya tinggal satu rumah bersama anak saya yang sudah berkeluarga. Di rumah kami, tinggal 4 (empat) kepala keluarga. Rumah bebak sudah dibangun sejak tahun 2001. Sudah 18 tahun kami tinggal. Rumahnya goyang-goyang. Kalau dulu masih kerja proyek biasanya kami bawah karung bekas semen atau sink bekas untuk pakai tutup agar tidak bocor saat hujan,” ujarnya dengan tatapan tajam.
Karolino mengaku, di rumahnya belum ada bantuan sama sekali.
“WC saja tidak ada. Bebak sudah 18 tahun. Sudah fufuk (lapuk), kalau dari pemerintah tidak ada, kalau dari desa yah mana ada dari dulu,” pintanya.
Warga yang lain, Jhon Saukei mengaku hal yang sama. Namun, ia menyampaikan dengan agak jujur.
“Selama di sini 18 tahun, dulu masih kerja di proyek pake kulit semen. Karena bebak sudah tidak layak lagi. Kalau hujan malam malam tidak bisa tidur. Kami dapat sink bekas dari orang. Selama 18 tahun bantuan desa tidak ada,” akunya.
“Padahal, kalau orang lokal masih SMP saja sudah dapat rumah. Kami tidak diperhatikan. Kami mau ada keadilan. Kami mau bantuan itu ke kami juga,” tambahnya.
Sementara itu, Ana Maria Madera Vonte mengajak VoxNtt.com untuk melihat keadaan rumahnya.
“Kami tinggal selama 18 tahun. Sudah ada banyak yang datang foto rumah bebak miring-miring. Sudah begini lama kami tunggu tidak ada berita apa-apa,” ujar dia.
Rumah itu memang terlihat sudah rusak parah. Selain dindingnya dari pelepah lontar yang sudah membusuk, beberapa bagian sudah ditutupi karung bekas untuk menutupi bagian dinding rumah.
“Rumah sehat. Kalau satu dua tahun kami maklumi. Mungkin kepala desa masih urus masalah ini. Ini sudah 18 tahun. Kami ini masih warga Indonesia atau apa. Ada yang empat KK dalam satu rumah. Rumah mau roboh,” ungkap Ana Maria dengan nada kesal.
Kini, mereka berharap agar pemerintah dari tingkat desa hingga Pusat berkenan mendengar keluh kesah mereka dan menyelipkan kepentingan mereka dalam mengambil kebijakan
Penulis: Ronis Natom
Editor: Boni Jehadin