Oleh: Pius Rengka
Satu setengah tahun kepemimpinan Victor Jos, dihitung telah berlalu. Pasangan Victor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan Josef Nae Soi (JOS) telah mematok mimpi besar dan dasyat, NTT Bangkit NTT Sejahtera.
Mimpi itu, tampaknya tak hanya mewakili kultur bawaan Victor Jos, tetapi sekaligus ini impian mengandung kerangka konseptual filosofis dan ideologis pembangunan NTT. Serentak dengan itu pula, Victor Laiskodat mematok gerakan baru perubahan sosial untuk tidak disebut gerakan sosial model NTT.
Perubahan sosial dimana VBL JOS bertekad membawa dan mengubah cara pandang rakyat NTT dari cara berpikir dan cara kerja lama ke cara berpikir dan cara kerja baru agar NTT keluar dari kemiskinannya. Waktu regulasi untuk pasangan ini 5 tahun.
Namun, api kerinduan yang menyala-nyala pada pasangan ini membakar semangat kerja keduanya tanpa kenal redup. Hal itu amat terang tampak melalui serial kunjungan Gubernur Victor, baik kunjungan kerjanya ke dalam daerah provinsi NTT, kunjungan banding ke provinsi lain di tanah air, juga serial lobby bisnis ke luar negeri. Patut diakui, gerakan ini bukan tanpa tantangan serius. Tantangan yang tampak terang, sedikitnya ada dua hal.
Pertama, Victor Jos tak hanya sedang berhadapan dengan problem kultur kerja internal di birokrat NTT. Dia juga dihadang oleh krisis etos kerja. Problem utama birokrasi dan birokrat NTT ialah kultur kerja birokrasi yang berbasis aturan main baku yang tidak begitu gampang diubah dalam waktu relatif pendek.
Meski narasi dan substansi pidato gubernur sangat menggetarkan bahkan membawa suasana surga ke dunia nyata di bumi (baca: menjanjikan), tetapi gagasan Victor Jos itu belum tentu segera sanggup diimplementasikan dengan cepat dan tepat oleh para staf lapisan keduanya.
Terkesan, Victor Jos, seperti sedang menyerahkan dirinya ke padang ‘pembantaian’ sosial birokrat NTT dengan segala jenis keganasan sosialnya yang lama. Tetapi Victor Jos terus berlangkah. Langkah-langkah politik pembangunannya dibimbing oleh kerinduannya mengubah NTT secara cepat dan tepat untuk mencapai pembebasan NTT dari belenggu rantai kemiskinan.
Pasangan ini, tampaknya sedang menulusuri jalan sunyi yaitu mencari kebaikan dengan kerinduan untuk menemukan, dan menemukan kebaikan itu dengan kerinduan untuk terus mencari. Yang dicari ialah solusi cepat untuk mengatasi kemiskinan NTT. Karena itu, hampir semua narasi Gubernur Victor dan Wagub Jos Nae Soi nyaris diwarnai diksi ajakan, motivasi, bahkan provokatif, terutama kepada para stafnya di lapisan kedua birokrat NTT. Ajakan itu sesungguhnya mendorong birokrat NTT untuk senantiasa bekerja dengan pola pikir out of the box, dan membiasakan diri bekerja sebagai sebuah team work yang solid. The dream team.
Maka, Victor Jos mendesak para birokrat NTT bekerja dengan target jelas, countable dan cepat. Semua jenis kerja birokrasi, tak boleh tenggelam dan larut melayani rutinitas berulang, tetapi seluruh aksi birokrat itu harus dapat dihitung dengan terang antara lain, misalnya, berapa besaran risiko yang mungkin timbul, dan tidak melanggar hukum. Birokrat wajib berpikir dan bertindak solutif. Orientasinya jelas, yaitu membebaskan NTT dari belenggu rantai kemiskinan.
Desakan Victor ini, terkesan membongkar kebiasaan buruk sekat-sekat birokrasi dengan agak banyak keangkuhan sektoral. Victor Jos membongkar cara pikir yang biasa menyebutkan kerja di tempat basah dan di tempat kering, atau lokasi air mata dan mata air. Bagi Victor Jos, semua posisi struktural penting, karena setiap elemen birokasi adalah satu kesatuan sistem besar birokrasi negara yang dituntut bekerja lincah, cepat dan bertarget jelas. Siapa di antara mereka yang tak sanggup adaptif dengan cara pikir ini, kecuali diingatkannya berkali-kali untuk segera mengundurkan diri atau digusur dari posisi jabatannya, juga boleh pensiun dini.
Victor Jos sangat yakin. NTT bukanlah satu provinsi hasil tanah sisa dari tangan Tuhan. “NTT ini kaya, dan karena itu tak pantas miskin,” ujar Victor. Yang memiskinkan ini NTT ialah mereka yang tidak berperikemanusiaan. Mereka membiarkan rakyat NTT hidup dalam belenggu rantai kemiskinan. Pembiaran atas kemiskinan NTT adalah sejenis kejahatan yang tak sanggup diampuni entah oleh siapa pun manusia.
Akibatnya, dalam dialog Victor Jos bersama stafnya, dengan sangat jelas ditanyakan, misalnya, mengapa satu urusan itu begitu lambat dan rumit, staf kerja apa saja, pikir apa saja, berapa biayanya, untuk berapa lama, perlu berapa team kerja.
Kata-kata sifat seperti, bodok, goblok, kerap dilontarkan Gubernur Victor Laiskodat, bukan lantaran dia membenci staf yang dikata-katainya itu, melainkan karena semua stafnya diminta untuk mengubah kultur kerjanya. “Jangan tunggu komando dong. Kerja dengan kerangka besar yaitu solve the problem with high speed,” begitu ucapannya sering saya dengar.
Hal itu dikatakannya, karena diyakini birokrat NTT telah lama bekerja santai. Mereka bekerja dengan kultur petani ladang dan peternak. Petani dan peternak percaya bahwa bekerja santai saja cukup karena diyakini waktu toh akan datang lagi. Masih ada waktu karena waktu akan kembali. Manakala ada naungan sejuk, istirahat sajalah, meski dalam waktu sedang wajib kerja. Akibatnya, banyak jenis tuntutan dan keluhan rakyat tertunda. Victor membenah kultur itu.
Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat, pekan lalu kepada saya mengatakan, di NTT ini banyak orang pintar cerdas, tetapi kebanyakan darinya malas dan tidak peduli pada derita rakyat karena mereka terlalu lama hidup santai. Many of bureaucratic elites here are lazy and had no caring for others problem Pius, kata Victor. “Tetapi, saya yakin mereka tidak bodoh,” katanya.
Kedua, tantangan kultur kemiskinan. Masyarakat telah sangat lama hidup dalam kubangan kemiskinan dan kultur kemiskinan. Petani ladang dan peternak, hidup bergantung pada petuah musim. Tetapi, rakyat memiliki kebiasaan meniru, mimiking, yang sangat kuat.
Petani kopi, misalnya, mereka tanam kopi karena mereka duga harga sangat menjanjikan. Tetapi, mereka terperangah ketika tahu harga kopi tak menentu karena dikendalikan pasar. Pasar dikusai para pemodal besar. Karenanya untuk mengatasi masalah hidup hariannya, petani kopi bergantung pada para tengkulak yang adalah kaki tangan pemodal besar.
Petani tanam sayur, pasarnya pun tidak jelas, apalagi karena ruang pasar dihisap pasar super modern seperti supermarket dan mall. Rakyat kreatif menyadap nira di kampung-kampung lalu memproduksi sopi. Pasar tak jelas, harganya pun cukup hanya untuk kepentingan subsisten rumah tangganya. Tak ada saving. Akibatnya, sopi dimasak sendiri, diminum sendiri, lalu mabuk-mabukkan sendiri. Jangan-jangan mabuk-mabukan itu pun sejenis katarsis untuk membungkus dera derita miskin itu sendiri. Kemudian saat mabuk teriak-teriak di jalan raya atau ganggu tidur tetangga sambil menenteng pedang tumpul bawaan sendiri. Nah, pemerintah mengambil inisiatif agar pasar sopi selalu jelas dan harga selalu pantas.
Begitu pun para peternak memelihara ternak. Asupan gizi ternak cukup dengan rumput pemberian alam. Harga daging sapi, tak kompetitif, padahal kebutuhan daging sapi sehari untuk kebutuhan dalam negeri Indonesia saja ratusan bahkan ribuan ton. Peternak terjepit. Apalagi jika ada serangan virus Afrika untuk babi, antrax untuk sapi.
Sementara itu, ditemukan jargon pembangunan sebelumnya hanya semacam idioms pemerintah sebagai tabir-tabir menutupi kelemahan permanen elit itu sendiri. Akibatnya, para petani dan peternak dibantai habis oleh para tengkulak kampung, dan dihisap habis-habisan oleh para pemodal besar. Pada gilirannya, petani dan peternak tak hanya kalah sekali, tetapi kalah berkali-kali. Lalu rakyat putus asa, malas, tak mau berkreasi lagi, santai, dan masa bodoh dengan soal orang lain. Tampaknya, ada tekanan struktural yang mengerikan. Tetapi, mereka tetap santai saja.
Solidaritas para petani dan peternak pun terkesan lemah. Nilai gotong royong dan kerja sama kian pupus. Masalah hidup yang mereka hadapi bukannya diselesaikan dengan cara kerja sama malah dengan doa. Semua soal hidup mereka segera dilangitkan atau dioper ke atas ke Tuhan yang maha pengurus segala soal. Padahal, soal itu ada di bumi, masih ada di tanah, belum menjadi urusan di atas langit. Tetapi doa dilambungkan saban hari sambil mengatup tangan rapat-rapat, memelas wajah menutup mata, tatkala telinga mendengar deruan roda mesin perubahan. Kemiskinan tetap setia mendampingi kita.
“Tuhan sudah kasih ini NTT begini hebatnya. Tetapi, manusianya itu jadi soal. Kemiskinan adalah fakta tahunan, dan akut. Sayangnya, miskin itu dikira nasib. Nah, realitas inilah yang harus diubah, tetapi kita mulai dari mana?” ujar Gubernur Victor.
Mulai dari pertanyaan. Mengapa propinsi NTT tak pernah bebas dari lilitan belenggu rantai kemiskinannya? Apakah filsafat pembangunannya terlalu mencita-citakan yang sangat positif, seperti kebahagiaan, yang berarti dimulai dengan hasrat untuk membahagiakan rakyatnya?
“Cita-cita itu tidak buruk pada dirinya sendiri. Tetapi, kemakmuran yang dicita-citakan itu seringkali dimanfaatkan oleh para pengubah kemakmuran dengan cara negatif dan manipulatif. Tetapi, pengalaman pribadi saya sebaliknya. Pembangunan dimulai dengan pengalaman negatif. Pengalaman miskin itulah yang hendak diubah, justru dengan pengalaman itu saya menghasilkan perubahan yang positif. Ambil contoh, sebagai misal. Ujaran dan narasi saya, terkesan keras dan kasar, terus terang, lugas. Mungkin, cara ucapan itu ditolak kalangan elit sosial tertentu, bahkan ditolak para elit gereja dan ulama. Tetapi ketahuilah, spirit substantif yang utama di baliknya ialah mengubah realitas kemiskinan rakyat NTT. NTT dikenal sebagai provinsi miskin ketiga di Indonesia. Ini provinsi hypemart penyakit yang tidak disukai umat manusia di seluruh dunia. NTT tidak boleh dideskripsikan dengan bahasa manipulatif, serba membungkus. Harus lugas,” tandas Victor.
“Titik tolak saya berbeda. Pendekatan pembangunan yang saya oikirkan dimulai dengan fakta miskin itu sendiri sebagai realitas negatif. Gerakan pembangunan harus bermula dari pengalaman dan hasrat untuk mengubah realitas itu sendiri. Jika pengalaman miskin itu negatif dan buruk adanya, maka pengalaman itulah yang harus diubah. Dan, manusia riil yang miskin itu ‘kan ada di desa, di kampung, dan di pinggiran kota. Saya tahu masih banyak manusia miskin hidup di kota di NTT,” kata Victor Laiskodat di ruang kerjanya di Jl. El Tari, Kupang, pekan silam.
Victor mengatakan, kemiskinan pada dirinya sendiri mengandung tuntutan sangat kuat untuk berubah. “Tidak ada di dunia ini orang miskin tetap mau bertahan dalam kemiskinannya, kecuali kelompok asketik yang memilih menjauhkan diri dari lingkungan sosial, yang mengucilkan diri di gua-gua permenungan demi sebuah panggilan keyakinan untuk pemurnian hidup rohaninya,” katanya.
Orang miskin, pasti berjuang untuk mengubah keadaannya. Di sinilah, pemerintah berperan jelas. Pemerintah harus sanggup menjadi dinamisator, katalisator, dan menjadi jembatan kukuh perubahan sosial, penentu tonggak sejarah pedoman arah kehidupan rakyatnya. Dengan kata lain pemimpin adalah tokoh gerakan perubahan sosial, jelas Gubernur Victor.
Pengalaman negara lain similar dengan pengalaman NTT, kata Victor. Jadi, pengalaman miskin NTT secara empirik bukanlah merupakan pengalaman isolatif. Di negara lain, perubahan dapat dilakukan dengan cara mengubah kultur kerja manusianya, cara pikirnya atau mindsetnya.
“Kita jangan larut dalam narasi bahwa miskin itu nasib, miskin itu given Ilahi. Omong kosong itu. Miskin itu selalu menjadi realitas negatif yang dari dirinya sendiri mengandung geram semangat perubahan pada manusia miskin. Miskin itu realitas pengalaman negatif manusia yang harus dibongkar,” tandasnya.
Perubahan cara pandang, dan cara kerja disebut revolusi jika semangat perubahan ini dipercepat. Gubernur Victor Laiskodat mengendalikan gerakan perubahan ini bertahap, tetapi berimplikasi luas yang menyentuh semua sektor kehidupan. “Karena itu, gerakan pembangunan model Victor Laiskodat, tak hanya semacam kritik kultural, tetapi sekaligus kritik ideologi terhadap para pemimpinnya,” kata Victor sembari mengepal tinjunya.
“Itulah sebabnya, saya selalu mengatakan, jika rakyat masih miskin, pastikan itu karena Kepala Desa, Camat, Bupati Walikota dan Gubernurnya bodok. Bodoh sekali kita ini, sudah tahu jelas ada masalah, tetapi tidak tahu cara memecahkannya. Kan itu bodoh namanya,” kata Victor.
Ketika ditanya, apakah kebenaran yang diyakininya, menurut Victor Laiskodat, kebenaran itu memang transenden, tetapi kebenaran transenden itu harus mewujud dalam realitas kehidupan sosial setiap hari. Orang baik pun tampak bukan di ucapannya, tetapi di tindakannya terutama terhadap sesama manusia yang sedang menderita. Tindakan pemimpin bertujuan untuk memperpendek jurang pemisah antara yag kaya dan yang miskin.
Menurut Victor Laiskodat, ada polarisasi yang sangat ekstrim , ada kesenjangan sosial yang luar biasa. Orang kaya memiliki segalanya, sedangkan orang miskin tidak ada segalanya. Si miskin tak sanggup mengusir godaan buruk atas realitas kehidupannya sehingga si miskin terkesan sangat permisif untuk segala hal.
Namun, menurut Victor Laiskodat dalam nada agak theologis, manusia miskin mempunyai nama, mempunyai alamat jelas yang karenanya persoalan ada di sana. Mereka itulah wajah telanjang dari realitas derita hidup manusia, sehingga ke tengah mereka itulah locus theologicus untuk kita semua. Apa pun posisi struktural pemerintah dan elit religius, karena ke tengah realitas itulah sikap etis religius kita teruji.
“Jika saya berkata, orang miskin tak pantas masuk surga, itu karena saya berpikir bahwa orang yang membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan jauh lebih jahat dibandingkan dengan para pengubah realitas miskin itu sendiri. Saya ingin datang ke tengah manusia miskin itu karena saya tahu ada peluang besar bagi mereka untuk segera keluar dari penderitaannya itu. Saya kira, saya datang dari latar belakang kaum derita itu, yang kebetulan saya lewati dengan aneka suka dukanya. Saya datang ke tengah mereka untuk mohon ampun dengan cara membebaskan mereka dari derita kemiskinan. Saya mohon ampun karena saya memiliki banyak, dan mereka tidak memiliki banyak. Saya keras karena saya ingin kita sama-sama keluar dari lilitan derita itu. Dan, tugas saya ke NTT adalah itu. Catat itu Pius Rengka,” ujar Victor tandas.
Tahapan Perubahan
Victor Jos, percaya pada teori perubahan bertahap tetapi dengan akselerasi tinggi. Pertumbuhan ekonomi harus digerakkan dengan mesin double gardan, yang dimulai dari sektor paling krusial. Misalnya, ditanyakan mengapa infrastruktur jalan propinsi itu penting?
Jalan propinsi sebagai salah satu strategi jaringan gerakan mobilitas sosial, termasuk mobilitas kultural, pematangan demokrasi, mobilitas kemakmuran ekonomi. Jalan propinsi harus bermutu tinggi. Jalan propinsi disambung teruskan dengan jalan kabupaten, jalan desa dan jalan negara, supaya ada sinergitas akses dan kontrol ke daerah potensial. Jaringan jalan raya yang baik, memungkinkan mobilitas horisontal barang dan manusia bergerak cepat. Mobilitas barang dan manusia beriringan pula dengan mobilitas jasa, mobilitas kultural, mobilitas produksi, mobilitas kemakmuran yang serentak dengan itu terjadi pertukaran nilai-nilai sosial (social values exchange).
Perubahan itu, bergerak dalam skema sentripetal (centripetal) dan sentrifugal (centrifugal). Maksudnya, jaringan insfrastruktur jalan raya mendekatkan rakyat dari dan ke pasar. Pergaulan sosial membawa implikasi besar terhadap meaningful of democracy, juga perlahan melenturkan sekat-sekat primordial kultural yang menutup diri dari perubahan dan bahkan mencurigai perubahan itu sendiri. Karena itu, diharapkan dinas-dinas terkait di propinsi wajib membaca pembangunan infrastruktur ini dengan kaca mata multidimensional dari posisinya masing-masing.
Diharapkan juga para bupati dan kepala desa bergerak dalam formasi yang sama. Mereka patut membaca tanda-tanda jaman ini dengan cermat. Jalan raya propinsi, memang benar menjadi urusan Dinas PU Provinsi, tetapi apa yang mesti dibuat Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Pariwisata, dan Dinas Pendidikan tatkala infrastruktur ini beres? Apakah mutu pelayanan semua dinas di provinsi dan kabupaten desa ikut berubah? Apa kiranya sambutan para bupati walikota dalam perubahan ini? Fokus kita pariwisata sebagai prime mover tetapi harus didahului dengan pembangunan jaringan infrastruktur lain sebagai pendukung kunci.
Misalnya, kata Victor Laiskodat, jalan provinsi Lelogama Bokong. “Pertanyaan saya, adakah Dinas Pariwisata mulai berpikir cara menggerakkan potensi wisata di tepi jalan raya itu dalam konteks sinergi dengan pembangunan infrastruktur kepariwisataan. Begitu pun Dinas Pertanian, adakah dinas ini mengambil inisiatif memaksimalkan pertanian rakyat di sekitarnya. Bagaimana akselerasi urusan sertifikasi lahan untuk memastikan hak-hak atas tanah demi kepentingan mobilisasi kemakmuran petani dan peternak? Mereka tidak boleh menunggu perintah detail Gubernur. Lalu apa kiranya sambutan para bupati, camat dan kepala desa terkait perubahan itu,” tanya Victor Laiskodat retoris.
Kecuali itu masyarakat sipil, seperti organisasi gerawi dan sejenisnya. Adakah mereka memikirkan pola hubungan sinergis dengan pemerintah untuk memaksimalkan kemakmuran umat dalam konteks pembangunan infrastruktur, pariwisata, peternakan dan pertanian?
“Itulah makna ucapan lugas saya kepada para elit gereja (Katolik maupun Protestan) dan elit Muslim. Maksudnya, agar mereka pun memberi bagian terbaik dari mereka dalam proses perubahan sosial. Perubahan dari manusia miskin ke manusia bebas dari kemiskinan agar keadilan sosial terwujud. Itulah solidaritas sejati. Lalu, apa kendalanya, kasihtahu saya. Apa bantuan yang mungkin pemerintah berikan,” kata Victor.
“Jika kendalanya di level birokrat, kasihtahu saya siapa itu, apa hambatannya,” ujarnya tandas dan jelas.
Menurutnya, tahapan perubahan ini, akan berefek ganda. Saling ikut mengikuti. Perbaikan infrastruktur jalan raya, masifikasi pabrik garam industri, kelornisasi, dan pariwisata serta peternakan, justru mendorong dan membangkitkan sektor lain yang selama ini tidur lelap.
Standart kualitas dan kuantitas produk NTT tak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi juga diimpikan agar NTT menjadi bagian penting dalam pertumbuhan ekonomi di tanah air dengan modal alam dan seisinya di NTT ini.
Insentif ekonomi, sosial dan politik bagi rakyat NTT sendiri terpenuhi dengan baik sehingga diharapkan dalam waktu pendek ini, NTT segera menjadi salah satu propinsi yang diperhitungkan di tingkat nasional bahkan di Asia Tenggara. Mungkinkah itu? “Mungkin sekali,” kata Victor. Standarisasi mutu produk dan cara kerja kita tidak lagi hipokrit hanya untuk lingkup NTT sendiri, melainkan standar internasional.
Memang, diakuinya ada selentingan sinis dan kritik dari para cerdik cendekia dan elit agama. Tak apa-apa. “Kritik diperlukan agar pemerintah terus diingatkan untuk tetap lurus dalam opsi mendasar yaitu perubahan masif dan cepat demi kepentingan semua orang. Terus terang, saya sendiri dipuji atau diolok, gak bakal saya simpan. Saya gak ambil pusing dengan itu kritik. Intinya saya jalan terus jika apa yang saya lakukan untuk kebaikan bersama. Titik,” ujarnya.
Dikatakannya, pemerintah memang mesti bekerja ekstra keras karena kita bekerja mengandung janji perubahan masyarakat tempat di mana manusia tinggal. “Saya memang tidak menjanjikan masyarakat untuk masuk surga semua, tetapi saya tahu jalan menuju surga antara lain dengan membebaskan rakyat NTT dari derita miskin,” katanya.
“Saya ingin melihat rakyat NTT tersenyum. Mereka tersenyum bukan untuk melipur lara dan membalut kemiskinannya, melainkan tersenyum karena mereka memang berhak tersenyum. Hukum perubahan adalah tetap, tetapi perubahan cepat adalah niscaya agar kita semua memperoleh kehormatan diri dan harga diri. Harga diri itu timbul justru karena kita bebas dari kemiskinan. Manusia miskin biasanya kehilangan harga diri dan kepercayaan diri. Saya dan Kak Jos Naesoi datang untuk meyakinkan rakyat bahwa kita kaya, daerah kita tidak miskin. Sebutan NTT miskin hanya sejenis manipulasi ideologis yang selama ini dinarasikan elit untuk kepentingan mereka sendiri,” kata Victor menjelaskan.
Jadi, kata Victor, kita perbaiki birokrasinya, benahi kultur birokrasi. Kita konstruksi infrastruktur, kita bangun jaringan jalan ke seluruh level, dan kita hadapi semua hadangan dan hambatan. Bangun pabriknya, jual sopinya, jual pariwisatanya, pelihara ternaknya. Maka, birokrat yang lemah tergusur dengan sendirinya manakala tidak tahan dengan style ini. Dan diharapkan semua elemen masyarakat bergerak dalam formasi yang sama. Secara politik kita sedang berjuang supaya keadilan sosial dan kesamaan sebagai warga negara menyata dalam kehidupan sosial di NTT.
Demi menutup cermatan ini, dikutip tulisan Peter L. Berger (1974). Dikatakan, adalah juga etis jika terpenuhi hak manusia untuk tidak menderita, ketika bertahun-tahun lamanya hak ini justru dilanggar terutama oleh mereka yang kepadanya dipercayakan tugas mulia pembebasan.
Perkembangan yang dialami selama ini, dan yang dinikmati justru sebagian besar dibangun atas pundak-pundak jutaan manusia yang sedang menderita. “Victor Jos, datang membantah dengan cara memulihkan hak rakyat untuk tidak menderita itu,” ujarnya.
Apakah pasangan ini akan sampai mendekati mimpi NTT Bangkit NTT Sejahtera? Mari kita ikuti perjalanan perjuangannya dengan kritis dengan dukungan kultural yang kondusif. Sekian.