Editorial, Vox NTT-Virus is Coming. Ancaman dan petaka corona sudah nyata depan mata. Semuanya jadi porak-poranda berantakan.
Wabah ini seakan ingin memisahkan kita insan manusia. Ia tak ingin kita bersama meski jarak dan waktu memicu rindu untuk bertemu.
Bagi corona, tubuh kita hanya miliknya saja. Tak boleh ada orang yang mendekat, berjabat tangan, apalagi memeluk dan mencium.
Ia ibarat perempuan yang sedang dirasuk api cemburu. Kecemburuannya makin tersulut ketika sang mantan datang merapat hendak bernostalgia dengan masa silam.
Corona juga tak mengenal agama, ras, budaya dan golongan. Ia tak peduli apa dulu Anda eks cebong atau kampret. Komunis atau Kapitalis, Radikalis atau Pancasilais, Nasionalis atau Teroris, Kafir atau Agamais.
Ia menyambar siapa saja yang tak punya daya tahan. Menyasar melalui apa saja yang bisa jadi perantara.
Manusia tak kuasa melawan corona. Kita hanya mampu berkompromi dengan sifat dan kemauannya.
Interaksi sosial kini berubah. Kebersamaan menjadi petaka, bersalaman membawa musibah, dan kerja sama harus mempertimbangkan jarak. Singkat kata, kontak harus dijaga.
Tak hanya kontak, cara manusia berkomunikasi juga ikut berubah. Komunikasi tak langsung disarankan lebih ampuh untuk menahan lajunya virus.
Manusia nyatanya masih pasrah di tengah usaha bersama mendapat obat penangkal. Menyendiri pun menjadi jalan paling mungkin yang dipilih.
Jalanan memang belum sepenuhnya lengang, namun ruang publik mulai tak berbunyi, gereja tak terdengar madah, kantor pemerintah tak ada yang bekerja, pasar tak ramah penjual karena sepi dari pembeli, lorong-lorong nyaris tak nongol orang ngobrol.
Corona menggiring kita ke ruang sunyi untuk bersembunyi. Di tengah kesempitan, ketakutan meraja pikiran. Pemerintah terkesan gagap. Ketidakjelasan informasi merajalela. Rakyat dilanda cemas.
Andai saja corona punya akal, ia tahu benar bahwa INDONESIA adalah bangsa yang paling huru-hara. Watak penguasa dan rakyatnya belum matang menghadap bencana. Sangat gampang jika diserang dan dipecah-pecah.
Lihat saja perilaku elit negeri. Bukannya bahu membahu, malah sibuk sikut menyikut. Ruang publik diisi pejabat politik yang gesit mencari simpati. Alhasil, informasi serba tak pasti.
Di tengah situasi yang semakin pelik ini, penimbun barang penangkal malah mendapat berkah. Harga masker melambung tinggi. Ketahanan pangan terancam rawan. Rakyat miskin bakal merintih dalam pedih dan perih.
Berbeda dengan Cina. Ketika Wuhan dilanda wabah, warga dan pemerintahnya bersatu mengerahkan tenaga. Mereka saling memberi semangat agar kuat dan tegar melawan bencana.
BACA:
- Saat Naik Angkot, ke Area Publik dan Acara Besar, Ikuti Protokol Berikut
- Ini 15 Langkah Antisipasi Covid-19 di Sekolah versi Protokol Pemerintah
- Jika Anda Merasa Demam, Batuk dan Pilek, Ikuti Protokol Kesehatan Berikut Ini
Suasana perang semakin nyata di depan mata. Jangan buang-buang tenaga untuk sesuatu yang memperburuk susasana. Jaga kata-kata agar pemerintah dan pejuang kesehatan tidak kehilangan asa. Sebab merekalah garda terdepan melawan wabah.
Andai kata kebenaran seperti bintang, ia hanya mampu dilihat pada malam kelam. Wabah ibarat kegelapan pekat. Dan bintang ke-Indonesia-an kita, terlihat jelas sedang di ambang prahara.
Kelemahan kita sebagai bangsa terpampang sempurna di mata corona. Virus is coming, mari berefleksi diri. Lekaslah siaga sebelum petaka memangsa Indonesia kita.