Oleh: Anselmus Sahan
Dosen Universitas Timor, Kefamenanu, NTT
Ancaman virus Corona telah berada di depan mata kita. Tidak pernah ada yang berkuasa mengundang atau menantangnya.
Virus itu menyebarkan kuasanya melalui saudara dan saudari kita sendiri yang pernah pergi dan bergumul dengan sahabat-sahabatnya di daerah lain, di luar Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Secara tidak sengaja atau mungkin tanpa sepengetahuannya, mereka ‘membawa’ pulang virus tersebut dan menjadi sebuah ketakutan besar bagi kita semua.
Ketika untuk pertama kalinya Pemerintah NTT mengumumkan bahwa ada satu warga kita yang terkonformasi terserang virus Corona, kita semua seakan tercengang dan takut mendengar berita buruk itu.
Di berbagai media diberitakan begitu banyak komentar miring dan melantunkan tudingan, hujatan dan tindakan provokatif lainnya. Itu semua seakan-akan mau manandaskan bahwa kita semua bakal terserang Corona.
Kita beruntung, saudara kita itu, melalui Youtube, secara terbuka dan berani mengumumkan dirinya sebagai pasien virus Corona. Apa yang dia ungkapkan memviral dalam hitungan detik.
Semua netizen menampilkan videonya di berbagai postingan Facebook, Instagram, WA dan media lainnya. Jika tidak ada ‘testimoni’ itu, saya yakin, banyak orang akan mengejar dan bahkan mungkin “membunuh” dia.
Waktu terus bergerak dan saudara kita ini, Puji Allah, telah dinyatakan sembuh sekalipun masih menjalankan perawatan lanjutan. Kita berharap agar dia akan benar-benar sehat.
Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Medis
Menghadapi virus ini, fasilitas kesehatan dan tenaga medis menjadi garda terdepan. Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang tertuang dalam Profil Kesehatan Provinsi NTT tahun 2018, jumlah tenaga dokter (termasuk dokter spesialis, dokter umum, dokter spesialis gigi dan dokter gigi) yang tersebar di 22 kabupaten/kota di provinsi ini pada tahun 2018 ialah 1.447 orang.
Mereka tersebar di Sumba Barat (43 orang), Sumba Timur (65 orang), Kupang (43 orang), Timor Tengah Selatan (54 orang), Timor Tengah Utara (76 orang), Belu (86 orang), Alor (42 orang), Lembata (30 orang), Flores Timur (35 orang), Sikka (99 orang), Ende (58 orang), Ngada (44 orang), Manggarai (71 orang), Rote Ndao (20 orang), Manggarai Barat (38 orang), Sumba Tengah (19 orang), Sumba Barat Daya (46 orang), Nagekeo (27 orang), Manggarai Timur (9 orang), Sabu Raijua (20 orang), Malaka (53 orang), dan Kota Kupang (469 orang).
Pada tahun yang sama, jumlah perawat ialah 9.481 orang. Mereka tersebar di Sumba Barat (318 orang), Sumba Timur (571 orang), Kupang (268 orang), Timor Tengah Selatan (227 orang), Timor Tengah Utara (394 orang), Belu (700 orang), Alor (292 orang), Lembata (289 orang), Flores Timur (458 orang), Sikka (463 orang), Ende (463 orang), Ngada (226 orang), Manggarai (790 orang), Rote Ndao (63 orang), Manggarai Barat (380 orang), Sumba Tengah (256 orang), Sumba Barat Daya (440 orang), Nagekeo (242 orang), Manggarai Timur (822 orang), Sabu Raijua (161 orang), Malaka (378 orang), dan Kota Kupang (1.280 orang).
Profil Kesehatan Provinsi NTT tahun 2018 dari Dinas Kesehatan Provinsi NTT, menyebutkan bahwa terdapat 6.083 bidan. Mereka tersebar di Sumba Barat (78 orang), Sumba Timur (292 orang), Kupang (201 orang), Timor Tengah Selatan (319 orang), Timor Tengah Utara (306 orang), Belu (197 orang), Alor (231 orang), Lembata (263 orang), Flores Timur (350 orang), Sikka (364 orang), Ende (297 orang), Ngada (103 orang), Manggarai (649 orang), Rote Ndao (89 orang), Manggarai Barat (286 orang), Sumba Tengah (118 orang), Sumba Barat Daya (60 orang), Nagekeo (218 orang), Manggarai Timur (694 orang), Sabu Raijua (144 orang), Malaka (302 orang), dan Kota Kupang (522 orang).
Sedangkan menurut data Sensus BPS NTT tahun 2017, terdapat 50 buah rumah sakit, yang tersebar di Kabupaten Sumba Barat (2 buah), Sumba Timur (3 buah), Kupang (1 buah), Timor Tengah Selatan (2 buah), Timor Tengah Utara (3 buah), Belu (4 buah), Alor (2 buah), Lembata (3 buah), Flores Timur (1 buah), Sikka (3 buah), Ende (2 buah), Ngada (1 buah), Manggarai (2 buah), Rote Ndao (1 buah), Manggarai Barat (2 buah), Sumba Tengah (1 buah), Sumba Barat Daya (1 buah), Nagekeo (1 buah), Manggarai Timur (0), Sabu Raijua (1 buah), Malaka (1 buah) dan Kota Kupang (13 buah).
Menurut data Kementerian Kesehatan tertanda 10 Maret 2020, dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 169 Tahun 2020 tentang Penetapan RS Rujukan Penanggulangan Penyakit Infeksi Emerging Tertentu, terdapat 132 rumah sakit rujukan terbaru COVID-19 di Indonesia.
Karena itu, hanya ada tiga RS di NTT yang menjadi rujukan penanggulangan penyakit infeksi emerging tertentu. Ketiganya ialah RSUD Prof. Dr. WZ Johannes Kupang, RSUD Dr. TC Hillers Maumere dan RSUD Komodo Labuan Bajo. Belakangan, jumlah RS Rujukan di NTT bertambah 8 buah sehingga semuanya menjadi 11 buah.
Dari 53 RS diberi kode rumah sakit utama rujukan penanganan COVID-19 oleh pemerintah pusat, rumah sakit first line rujukan penanganan COVID-19 oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur dan Rumah sakit second line rujukan penanganan COVID-19 oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Rinciannya adalah sebagai berikut: Kabupaten Sumba Barat (2 buah; 1 first line), Kabupaten Sumba Barat Daya (2), Kabupaten Sumba Tengah (1), Kabupaten Sumba Timur (3; 1 first line)), Kabupaten Sabu Raijua (1 buah; first line), Kabupaten Rote Ndao (1 buah), Kota Kupang (13 buah; 4 second line dan 1 utama), Kabupaten Kupang (1 buah), Kabupaten Timor Tengah Selatan (2 buah; 1 second line), Kabupaten Timor Tengah Utara (3 buah; 1 second line), Kabupaten Belu (4 buah; 1 first line), Kabupaten Malaka (1 buah; second line), Kabupaten Alor (2 buah; 1 first line), Kabupaten Flores Timur (1 buah; second line), Kabupaten Lembata (3 buah; 1 fisrt line), Kabupaten Sikka (3 buah: 1 Utama/Pusat), Kabupaten Ende (2; 1 fisrt line), Kabupaten Ngada (1 buah: second line), Kabupaten Nagekeo (1 buah), Kabupaten Manggarai (2 buah; 1 second line), Kabupaten Manggarai Timur (1 buah), dan Kabupaten Manggarai Barat (2 buah; 1 utama/pusat dan 1 second line).
Kesiapan Kita
Menurut Provinsi Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2020, jumlah penduduk NTT sampai tahun 2019 ialah 5.456.200 orang. Jika jumlah dokter (1.447 orang) dibagi dengan jumlah penduduk maka seorang dokter bisa menangani sekitar 3.770 orang.
Ini sebuah angka yang sungguh-sungguh mencengangkan. Apalagi, jika 53 rumah sakit yang ada dibagi dengan jumlah penduduk NTT maka 1 RS bisa menampung 102 ribu lebih pasien.
Angka ini mengandaikan semua masyarakat NTT terserang virus Corona. Kita berharap agar semuanya masih sehat sehingga baik rumah sakit dan dokter serta tenaga medis dan pihak terkait lainnya yang ada saat ini tidak pusing tujuh keliling mencari solusinya.
Angka di atas juga mengingatkan kita semua bahwa kesehatan kita masih merupakan kendala terbesar dalam pembangunan sumberdaya manusia di provinsi tercinta ini. Entah karena Pementah Pusat kurang peduli dengan kita ataukah kita yang tidak berani membuka akses ke Jakarta dan melakukan lobi-lobi trategis, belum diketahui. Atau apakah anggota Dewan kita di Senayan kurang menatap dan memasang telinga terhadap tangisan atau rintihan masyarakatnya atau kita juga yang kurang terbuka dengan datangnya investor yang hendak membangun rumah kita, belum juga terlihat alasannya.
Mungkin yang pasti selama ini kita semua kurang bersatu pikiran, perkatan dan perbuatan untuk membawa masalah kita ke Pusat. Kalau ada yang sudah memperjuangkannya, mungkin ada pula yang menghalanginya.
Optimisme dari Desa
Semua provinsi hingga kabupaten atau walikota sedang berjuang melawan dan menghalangi penyebaran massif virus Corona. Masyarakatnya giat membangun Posko Covid-19. Di tingkat desa, di bawah pimpinan kepala desa, masyarakat mulai mengawasi setiap orang dari luar desa dan jika ada, mereka menyemprotnya bersama barang bawaannya dengan disinfektan dan mengajaknya untuk dikarantina di rumah yang sudah disiapkan. Makan dan minuman serta kebutuhan lainnya menjadi urusan desa bersama keluarganya.
Saya yakin, gebrakan masyarakat di tingkat bawah sudah mulai terlihat hasilnya. Tinggal kepala desa, camat dan aparat di atas lainnya untuk mendukung, memonitor dan mengawasi gebrakan tersebut. Sebab jangan sampai, gebrakan yang sudah bagus itu diciderai oleh perbuatan kurang terpuji oknum di desa. Misalnya, perilaku lisan aparat Posko yang kurang bersahabat, yang menuduh ‘tamu’ tersebut sebagai sumber penyakit. Ini bisa memicu lahirnya konflik baru.
Menghadapi konflik yang bakal timbul, edukasi terhadap aparat Posko desa perlu dilakukan. Ini bukan saja peranan aparat desa, tetapi juga kecamatan dan pimpinan wilayah di atasnya. Semua perlu bersatu hati mengamankan suasana wilayah dan meyakinkan masyarakat bahwa pengawasan pergerakan orang baru masuk ke desa atau keluarah harus perjadi perhatian bersama.
Kita perlu ingat bahwa menghadapi virus ini, kita harus bermental baja. Itu berarti bahwa kita semua harus mematuhi imbauan pemerintah, seperti mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan massa. Terkait dengan keempat hal ini, Pemerintah mengingatkan kita agar mobilitas yang tidak terlalu penting dan jauh dari rumah atau tempat tinggal dan kerja kita, seperti pulang kampung atau mudik, hendaknya dihentikan dulu. Sebab itu bisa menjadi saluran penyebaran virus ini kepada keluarga kita yang ada di desa atau di mana saja kita pergi.
Jika imbauan ini saja kita remehkan, jaringan penyebaran virus Corona akan sangat sulit dihentikan, dideteksi dan dilacak. Kelemahan ini akan memudahkan virus ini terus menyebar dan menyerang semua warga dan kemungkinan besar akan sangat sulit dihentikan.
Lihat saja, antara lain, di Amerika Serikat, Italia dan Spanyol, atau negara-negara yang meganggap dirinya telah sangat maju dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Mereka tidak peduli pada imbauan Pemerintah. Malah mereka menganggap pemerintah mengekang kebebasan pergerakan dan kehidupan mereka.
https://www.youtube.com/watch?v=tK7gLvN9nPw&t=1s
Masyarakat di negara-negara maju berbeda dengan kita. Menghadapi virus ini, mereka umumnya mengandalkan teknologi canggih di bidang kesehatannya.
Kita tentu saja tidak sama dengan mereka. Jika teknologi kesehatan yang harus dihadapkan dengan penyebaran virus ini, mengapa banyak dokter dan tenaga medis lainnya menjadi korban dari keganasan virus ini?
Itu berarti bahwa ada faktor-faktor lain yang turut berperan serta untuk menghentikan Corona, seperti pola pikir besatu, hidup sehat, pergaulan teratur, gerakan sosial masif dan kohesif.
Keempat pola inilah yang masih dimiliki masyarakat kita. Ini yang saya maksud sebagai keunggulan komparatif yang menggelorakan optimisme, yang terlahir secara spontan di seluruh desa dan keluarahan, bahkan kampung-kampung di seluruh wilayah Indonesia.
Hanya dengan keempat pola ini, saya yakin, kita, masyarakat NTT, siap menghadapi serangan virus Corona. Kita juga tidak hendak mengklaim bahwa tenaga dokter dan rumah sakit tidak dibutuhkan. Tidak. Keempat pola ini bertujuan untuk menekan jumlah penderita, dan pada akhirnya kita semua, masyarakat di tingkat bawah, berusaha meringankan beban tenaga dokter, medis dan pihak terkait lainnya, dalam menyelesaikan serangan virus ini. Dan akhirnya, pola-pola tersebut merupakan gebrakan yang mendukung dan sejalan dengan imbauan Pemerintah untuh menghentkan virus Corona. (***)