Ruteng, Vox NTT- Bupati Manggarai Timur (Matim) Agas Andreas merespon adanya dugaan kandungan mangan di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
Lokasi ini dalam rencananya akan mendirikan pabrik semen oleh PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai.
Ada pihak yang menduga bahwa di lokasi tersebut lebih dominan kandungan mangan, ketimbang batu gamping, yang nantinya sebagai material pabrik semen.
“Siapa bilang, kandungan di sana (Lingko Lolok) dominan mangan?” celetuk Bupati Agas saat dikonfirmasi sejumlah awak media di ruang kerjanya, Kamis (23/04/2020) lalu.
Menurut dia, pernyataan kandungan mangan lebih dominan di Lingko Lolok itu adalah asumsi. Ia pun mengaku, tidak percaya dengan asumsi seperti itu.
“Kita ini, asumsi semua toh. Saya juga tidak percaya itu asumsi. Orang mau bangun pabrik semen, kalau mangan bukan urusan kita juga,” imbuhnya.
Dikatakan, perusahaan yang rencananya akan beroperasi di Luwuk dan Lingko Lolok nanti mendapatkan izin pabrik semen. Itu berarti materialnya ialah batu gamping, bukan mangan.
“Prinsipnya begini, kalau dia (perusahaan) izin pabrik semen dengan sumber material batu gamping to. Kalau ada tambang mangan, itu tidak boleh dikelola dong,” tegas Bupati Agas.
“Kalau izin dia batu gamping, tambang mangan dia tidak boleh kelola. Itu aturannya. Pidana juga dia (perusahaan) itu, kena. Kalau gamping, gamping,” imbuhnya.
Ada Dugaan Kamuflase
Sebelumnya, Ferdy Hasiman, peneliti di Lembaga Alpha Research Database Jakarta juga menyoroti rencana Pemkab Matim dan Pemprov NTT untuk mendirikan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok.
Ia bahkan menduga pabrik semen itu nantinya hanya penyamaran atau kamuflase, tetapi sebenarnya yang diincar ialah tambang mangan.
Ferdy menduga belum ada kalkulasi biaya investasi dan keuntungan. Selain itu, biaya lingkungan dan kerusakan alam dari investasi juga belum dihitung dengan cermat.
“Biaya lingkungan hidup harus masuk dalam basis perhitungan investasi,” imbuh putra asli Matim yang berdomisili di Jakarta itu.
Menurut Ferdy, kalau benar nanti di salah satu daerah Lamba Leda bagian utara itu memproduksi semen, maka bisa dipastikan investornya tidak memakai hitungan komprehensif.
“Memang pasar semen Flores berapa sih? Dominasi Semen Indonesia untuk Indonesia timur belum bisa tertandingi,” tegasnya.
Pertanyaan lain yang layak muncul, lanjut dia, berapa dana investor untuk membangun pabrik semen di Lingko Lolok? Apakah bisa dalam 10 tahun investor bisa return on aquity (balik modal dari investasi) semen di tengah oversupplai nasional?
Apalagi, perusahaan semen di Lingko Lolok nanti harus berjibaku bersaing dengan perusahaan-perusahaan semen nasional yang sudah menguasai pasar NTT dan Indonesia timur.
“Ini semua pertanyaan yang harus diketahui publik. Jangan sampai itu hanya kedok saja pabrik semen, tapi bisa jadi mangan,” tukas Ferdy.
Apalagi menurut dia, ke depan mangan menjadi salah satu komoditas mineral paling strategis dalam pembuatan baterai untuk program mobil listrik.
“Semen Kupang saja yang sudah dapat keringanan bayar utang ke Bank Mandiri masih sulit bersaing di pasar oligopoli semen,” sambung Ferdy.
Ia menyatakan, PT Semen Kupang (Persero) hingga kini belum bisa menjangkau pasar di negara tetangga Timor Leste dan NTT. Hal tersebut lantaran dominasi PT Semen Indonesia (Tbk) sudah sangat kuat dan menguasai 60% pasar semen di Indonesia timur.
“Semen Kupang itu pernah mati karena nggak punya modal, salah kelola dan tak mampu membaca pasar. Ini semen di Matim mau supplai ke mana? Di tengah oversupplai semen nasional,” pungkas Ferdy.
Penulis: Ardy Abba