Ruteng, Vox NTT- Sebentar lagi sinar mentari bertandang ke sudut terbarat cakrawala. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.22 Wita. Senja pun segera tiba.
Lusia Ueng, wanita berumur 85 tahun, sedang terbaring di dalam gubuk reyot berukuran sekitar 1,5 x1,5 meter.
Gubuk itu dirancang setinggi kurang lebih dua meter dan dalam bentuk tenda. Manusia lain masuk ke gubuknya pasti harus jongkok lantaran kurang tinggi.
Dinding gubuk itu terbuat dari pelupuh bambu. Di bawah tenda tempat Nenek Lusia menghabiskan malam ada tungku api, tempat ia memasak.
Kemudian atapnya dirancang dari beberapa lembar seng, diikat pada bilahan bambu. Sedangkan, pintunya hanya dirancang dari berbagai kain bekas yang sudah usang.
Mendengar teriakan panggilan agak keras dari luar gubuknya, Nenek Lusia bangun terpekur diwarnai raut wajah kaget. Ia lalu keluar dari gubuknya dengan gundah. Bola matanya menatap kosong.
Bajunya sudah lusuh. Rambutnya yang sudah uban tampak tidak terawat. Jalannya sudah membungkuk karena termakan usia.
Berbagai sapaan silih berganti dari para awak media yang datang. Ia hanya merespon dengan bahasa tubuh. Suara sapaan pun harus meninggi. Nenek Lusia ternyata menderita bisu dan tuli.
Nenek Lusia tinggal di ketinggian, agak jauh dari pemukiman warga. Di keliling gubuknya, tumbuh tanaman produktif berupa kemiri, jambu mete, pohon pisang, dan lain-lain. Sementara bagian baratnya, ada tebing yang cukup curam.
Nenek yang tidak ada pasangan hidupnya ini adalah warga Purang Wara, Desa Golo Munga, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut keponakannya, Paulinus Mahing (24), Nenek Lusia sudah 6 bulan tinggal sendiri di gubuk itu. Sebelumnya ia menetap bersama Remigius Sami, saudaranya.
“Dia (Nenek Lusia) tidak mau tinggal bersama kami dan ingin sendiri di pondok ini hanya mau bebas. Dia tidak mau repot dengan orang lain,” terang Paulinus saat ditemui di sekitar pondok Nenek Lusia, Rabu (29/04/2020) lalu.
“Jarak gubuk ini dari rumah kami sekitar 600 meter,” sambungnya.
Menurut dia, Nenek Lusia semasa mudanya bisa bekerja kebun. Bahkan sangat rajin. Namun sekarang energinya sudah terkuras karena temakan usia. Keluarganya pun terpaksa menyiapkan beras, sabun, dan minyak tanah untuk kebutuhan Nenek Lusia setiap hari di gubuk itu.
Misi Kemanusian Arsy
“Perbuatan baik tidak akan hilang, orang yang sopan santun menuai persahabatan, orang yang menanam kebaikan menuai kasih sayang”
Kata-kata Muhamad Agus Safii, pendiri rumah Amali ini hampir mirip dengan semangat Polisi Arsy. Dalam kamus hidupnya, ia hanya bercita-cita terus berinvestasi kebaikan untuk masa depan anak-anaknya.
Kisah gundah yang boleh dialami Nenek Lusia ternyata sudah masuk dalam misi kemanusian Arsy.
Siapa yang tidak mengenal pemilik nama lengkap Arsilinus Lentar itu. Ia adalah polisi yang berpangkat Bripka dan bertugas sebagai Bhabinkamtibmas di Desa Nampar Tabang, Pospol Benteng Jawa, Polsek Dampek, Polres Matim.
Jika Anda bertandang ke Lamba Leda, nama Polisi Arsy pasti tidak asing lagi bagi kebanyakan masyarakat. Sejak tahun 2005, ia bertugas di Polpol Benteng Jawa, Kecamatan Lamba Leda.
Di Lamba Leda, Arsy terkenal sebagai aktivis kemanusian. Ia kerap membantu kaum-kaum tidak mampu dan disabilitas dalam banyak hal. Termasuk ia sudah memberikan sumbangan Sembako untuk Nenek Lusia.
Suami dari Herlinawati Sarce itu kemudian berkisah tentang awal mula berjumpa dan jatuh hati dengan Nenek Lusia.
Perjumpaan yang singkat itu sekitar Maret tahun 2019 lalu. Kala itu, Arsy lewat dengan sepeda motornya dari Benteng Jawa menuju Nampar Tabang, desa binaanya.
Di samping jalan, pria kelahiran Hita Manggarai Barat, 7 Agustus 1981 itu melihat Nenek Lusia sementara bungkuk. Saat mendekat, ayah tiga anak ini melihat Nenek Lusia sedang memungut biji kemiri.
Awalnya, dalam benak Arsy sudah berpikir hal lain karena seakan nenek itu tidak bernapas. Sebab, dari badan jalan ia melihat Nenek Lusia dibungkus dengan kain dan tampak tidak bergerak. Namun, hatinya terasa lega saat ia menyentuh tubuh Nenek Lusia dan bisa bergerak. Tetapi memang tidak bisa berbicara.
“Mulai dari situ, saya dengan mama tua ini dengan warga di Purang Wara ini agak familiar sudah,” ucap Ketua Karitas Paroki St. Yusuf Benteng Jawa itu.
Sejak saat itu pula, setiap kali lewat di Kampung Purang Wara menuju Desa Tampar Tabang dan bertemu Nenek Lusia, Arsy kerap menyapanya. Jika ada recehan di saku pun Arsy kerap memberikan kepada nenek itu.
Beberapa hari lalu, ia mengaku kaget setelah mendengar informasi bahwa ternyata sudah 6 bulan lamanya Nenek Lusia tinggal di gubuk reyot. Selama ini yang ada dalam pikiran Arsy, Nenek Lusia tinggal bersama keluarganya.
Ia pun memutuskan untuk mendatangi gubuk tersebut dan mengambil foto, selanjutnya diposting di media sosial facebook.
Saat ini, kata dia, semua warga sedang diperhadapkan dengan wabah virus corona atau Covid-19. Pemerintah pun tidak tinggal diam. Salah satunya dengan memberikan bantuan Sembako kepada warga yang terkena dampak.
Arsy sendiri berkomitmen menjalankan misi kemanusian di tengah merebaknya wabah virus corona dengan menggalang bantuan Sembako ke berbagai pihak, untuk kemudian diserahkan kepada warga yang memiliki keterbelakangan. Salah satu bantuan Sembako yang dibagikan Polisi Arsy menyasar kepada Nenek Lusia.
“Sekalipun Mama Lusia ini dianggap memiliki keterbelakangan, tetapi bukan karena faktor itu dia ditelantarkan seperti ini,” tegas Polisi Arsy.
Sebab itu, ia berharap agar pemerintah dan semua pihak agar secara bersama-sama memperhatikan Nenek Lusia.
Di tempat yang sama, Kepala Desa Golo Munga Hubertus Juni berjanji akan membantu Nenek Lusia. Polanya, kata dia, setiap aparat desa itu akan urunan 20 ribu-25 ribu per bulan untuk menyumbangkan Nenek Lusia.
Selain itu, kata dia, Nenek Lusia juga dipastikan masuk dalam daftar Bantuan Langsung Tunai (BLT) Covid-19.
Kades yang baru dilantik Desember 2019 lalu itu mengaku, selama ini ia tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah karena terkendala administrasi kependudukan.
Salah satunya, sebut Kades Hubertus, Nenek Lusia belum memiliki Kartu Keluarga. Selama ini Pemeritah Desa Golo Munga sudah berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencataan Sipil Matim untuk mengurus administrasi kependudukan.
Namun demikian rujukan administrasi Nenek Lusia masih belum ditemukan.
Bukan Kali Pertama
Kembali ke Polisi Arsy. Kisah pilu yang boleh dialami Nenek Lusia bukan yang pertama kalinya tergores hati Arsy untuk kemudian membangkitkan misi kemanusiannya.
Ia juga kerap menjadi “motor” penggerak dalam kegiatan bakti sosial berupa perbaikan jalan dan lain-lain.
Yang paling menonjol gerakan kemanusian Arsy ialah membantu menggalang bantuan ke donatur untuk membangun rumah layak huni bagi janda lanjut usia dan keluarga yang dianggapnya sangat miskin.
“Saya tidak sedang bangun pencitraan. Tapi saya lakukan ini untuk investasi kebaikan bagi anak-anak saya,” ujar anak ke-5 dari 10 bersaudara pasangan Wihelmus Pude dan Agatha Jenia itu.
Awalnya, alumnus SMA Garuda Surabaya-Jawa Timur ini hanya sebagai anggota polisi biasa, yang tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberi perlindungan, pengayom dan pelayan kepada masyarakat.
Namun kini di balik perawakannya yang keras, tersimpan semangat besar untuk membantu warga miskin dan kaum disabilitas di Kecamatan Lamba Leda.
Semangat Arsy terus membara untuk membantu keluarga miskin lewat aksi penggalangan dana pasca melihat kondisi kehidupan Nenek Paulina Lawus pada Februari 2018 lalu.
Wanita berumur 70 tahun itu berasal dari Deru, Desa Compang Deru, Kecamatan Lamba Leda.
Polisi Arsy mengaku jatuh hati dengan kondisi Nenek Paulina yang hidup di tengah gempuran kemiskinan tanpa bantuan pemerintah. Itu terutama rumahnya yang berdindingkan pelupuh bambu dan berlantai tanah.
Baca: Arsy Lentar, Polisi Peduli yang Bawa Asa Jadi Kenyataan
Nenek Paulina tinggal dengan anak perempuan semata wayangnya yang diduga mengalami cacat mental.
Dalam semangat kemanusiannya, ia menanamkan misi dalam hati agar Nenek Paulina bisa terlepas dari jeratan ritme hidup yang pelik.
Ia berpikir tak ada kata mustahil untuk membawa asa Nenek Paulina menjadi kenyataan. Itu terutama harapan menghabisi masa-masa tuanya di dalam rumah layak huni.
Alhasil, berkat bantuan semua pihak melalui Polisi Arsy, rumah layak huni Nenek Paulina Lawus berhasil dibangun dalam tenggat waktu tiga bulan.
Tak hanya itu, ia juga sebagai koordinator utama penggalangan dana pembangunan rumah layak huni milik Mama Anastasia Undik.
Janda berumur 40 tahun itu berasal dari Kampung Lompong, Desa Golo Lembur, Kecamatan Lamba Leda.
Sejak ditinggal suaminya pada tahun 2010 lalu, Mama Anas dan kelima buah hatinya terus meratap dalam keterbatasan ekonomi.
Mirisnya, tak hanya soal kekurangan ekonomi kisah pahit dalam kehidupan Mama Anas. Kondisi rumah wanita kelahiran Lompong, 6 Januari 1980 itu pun memprihatinkan.
Ukurannya sekitar 4×5 meter. Dinding dan atapnya terbuat dari pelupuh bambu. Lantainya tanah. Keluarganya tampak berdesakan saat tidur malam.
Tempat tidur mereka juga dibuat Mama Anas dari bambu dalam bentuk tenda. Tak ada kamar khusus untuk keluarga dan tamu, selayaknya model rumah dari kebanyakan orang.
Tak ada kasur di tenda itu. Alas tidur mereka hanya berupa tikar yang dijahit dari sak semen.
Tak ada sekat dalam rumah yang serba dirancang dari bambu itu. Yang ada sekat hanya dapur, tempat Mama Anas memasak untuk anak-anaknya. Itu pun tak berdinding, bagai pondok di tengah sawah.
Realitas kemiskinan yang terus mendera kehidupan Mama Anas ternyata turut menggerakan hati Polisi Arsy.
Ia selanjutnya menggalang dana untuk membantu merehab rumah Mama Anas, baik lewat media sosial, juga bertemu secara langsung dari rumah ke rumah.
Saat menggalang bantuan untuk membangun rumah Mama Anas, ia bekerja sama dengan Pastor Paroki Benteng Jawa, Pemerintah Desa Golo Lembur, crew media online VoxNtt.com, OMK Stasi Pusat Paroki Benteng Jawa dan sejumlah pihak lainnya.
Berkat bantuan Arsy, para donatur dan berbagai pihak lainnya, rumah layak huni tersebut berhasil dibangun.
Baca: Anas Undik, Janda yang Bertahan Hidup di Tengah Gempuran Kemiskinan
Terkini, ia sedang membantu menggalangkan bantuan untuk membangun rumah pasangan Fransiskus Dura dan Valentina Miting, warga Kampung Laci, Desa Nampar Tabang, Kecamatan Lamba Leda. Orangtua dua anak ini juga mengalami keterbatasan ekonomi.
Pantauan VoxNtt.com, Kamis (30/04/2020) lalu, rumah milik pasangan Fransiskus Dura dan Valentina Miting berukuran 4×5 meter memang sudah dibangun. Namun lantai, pintu dan beberapa jendela belum dibangun lantaran keterbatasan biaya.
Penulis: Ardy Abba