Oleh: Ambros Leonangung Edu
Dosen Unika Santu Paulus Ruteng
Di bawah kolong langit ini, tidak ada seorang pun yang percaya bisa bebas dari ancaman virus korona. Korona tidak mengenal belas kasihan. Semakin Anda melawan, semakin ia merajalela. Doa-doa Anda sama sekali tidak menolong karena ia tidak ber-Tuhan. Ia tidak kenal kompromi.
Amerika Serikat dengan hegemoninya lantaran menganggap diri sebagai laboratorium sains dunia, memiliki teknologi perang tercanggih, dan bangsa paling cerdas, ternyata tidak berkutik di hadapan korona. Bagi korona, hanya ada dua pilihan: hidup atau mati. Ini pilihan eksistensial.
Dunia memang harus berperang terhadap korona. Perang ini tidak seperti antara manusia dengan hewan raksasa, atau antara dua kelompok manusia yang berusaha memusnahkan satu sama lain karena alasan ideologis-nasionalistik. Perang terhadap korona tidak dapat direspons secara politis. Penting untuk tidak mempolitisasi perjuangan melawan korona. Sebagai contoh, orang-orang beragama tidak dapat mengklaim kalau wabah korona itu ujian dari Tuhan, cobaan dari Yang Mahakuasa. Setega itukah Tuhan?
Juga tidak seperti banyak sosialis yang mengatakan bahwa stimulus ekonomi dan pemberian alat-alat medis secara gratis dari pemerintah kepada rakyat telah membuktikan bahwa asumsi-asumsi sosialisme selama ini benar adanya (Robinson, 2020). Atau, misalnya, korona adalah permainan elit negara-negara besar untuk mengontrol populasi dunia (de-populasi) agar komunitas tertentu saja yang eksis di jagad ini suatu saat nanti. Satu-satunya yang mungkin dipahami orang-orang awam adalah merespons perang ini secara biologis dengan memperbaiki kinerja tubuh.
Membongkar Hegemoni atas Tubuh
Satu-satunya cara melawan korona adalah mempelajari kelemahannya. Kelemahannya stamina atau antibodi manusia. Ini senjata terampuh, selain vaksin, untuk berperang. Jika Anda ragu dengan senjata antibodi ini, Anda harus lari sekuat tenaga dan bersembunyi. Itulah teori perang korona. Anda harus ada di rumah, jaga jarak fisik, makan makanan bergizi tinggi, istirahat yang cukup, dan rajin berolahraga.
Kehadiran pandemi korona menjadi lonceng kematian atas globalisasi (terutama perekonomian) sekaligus lonceng kematian atas hegemoni (kekerasan) dan kontrol kaum kapitalis atas tubuh. Di era globalisasi selama ini, tubuh telah disulap kepada entitas biologis yang diagung-gungkan.
Credo utama globalisasi: “segala sesuatu adalah uang dan meng-uang-kan segala sesuatu” (the financialization of everything), seperti diwakili David Harvey (A Brief History of Neoliberalism, 2007), mengubah tubuh menjadi aset ekonomi.
Globalisasi mendorong perekonomian industrious yang menginginkan akumulasi modal. Di situ, strategi kerjanya adalah “normalisasi” atas tubuh, di mana tubuh-tubuh pekerja harus taat di bawah kontrol sang majikan. Irama tubuh harus disiplin dan produktif untuk menghasilkan target keuntungan yang besar kepada pemilik modal (Primariantari, 1998).
Strategi perekonomian modern yang industrious itu juga menampilkan produk populer sebagai komoditi massal yang berciri dominan dan peka terhadap kepentingan sepihak (majikan) berdasarkan gender. Iklan-iklan makanan terus-menerus menghadirkan perempuan sebagai jualannya. Perempuan terus-menerus diingatkan akan “keharusan” memiliki tubuh langsing seksi dan pada saat yang sama diminta berpikir tentang diet makanan (Eviandaru, dkk., 2001). Tidak mengherankan kalau cara “baru” memandang tubuh manusia modern menjadi paradoksal: membingungkan, kacau, penuh persaingan, dan terkadang membahayakan satu sama lain.
Mie instan dan makanan siap saji (fast food) adalah jawaban atas keletihan tubuh manusia masa kini. Dulu kita diajarkan untuk makan sayur, buah, makan apa saja dari alam dan hidup di alam kebebasan dengan semesta luas, tubuh manusia modern lebih banyak dikontrol oleh baik jam kerja maupun makanan-makanan. Makanan bagi tubuh bukan lagi sekadar “bahan bakar”, melainkan oleh pemodal telah dipakai sebagai “alat” untuk mengendalikan dan mengeksploitasi tenaga kerja. Tubuh harus diukur dan diatur dengan protein dan kalori melalui mie dan makanan siap saji (fast food) supaya secara disiplin dan efisien melayani dunia kerja. Kontrol kedisiplinan atas tubuh tak jarang ditopengi asumsi-asumsi ideologis seakan-akan spiritual (Primariantari, 1998).
Pada sisi lain, globalisasi melahirkan macam-macam tawaran gaya hidup, seperti materialisme, hedonisme, dan sekularisme. Ideologi-ideologi ini, oleh Joseph Ratzinger, dianggap sebagai “diktator” karena mengajak orang-orang untuk bersenang-senang, posesif atas barang, suka mengumpulkan harta, dan gonta-ganti merek. Orang tidak memuja “kebahagiaan” melainkan “kesenangan”. Dengan senang-senang, maka tubuh adalah taruhannya. Dengan tubuh, duniaku indah. Tubuh milikku. Dengan tubuhku, aku memperoleh uang. Dengan uang, aku bergaya, dan dengan bergaya maka aku ada. Bergaya-gayalah, maka aku ada.
Kesenangan itu berwujud dalam apa yang disebut fashion. Fenomena tampil beda masyarakat masa kini mendorong tubuh-tubuh mereka diubah sana-sini dan dibentuk seindah mungkin ibarat bulan, melati, dan anggrek. Tubuh sebagai mikrokosmik (alam kecil) didekorasi secara artifisial berupa tato dan anting di bibir, telinga, alis, pusar, dan hidung. Menurut Baudrillard, fashion adalah ideologi tanpa tujuan karena mentransformasi tubuh secara radikal untuk diperlakukan sebagai materi biasa, dan tak bedanya dengan plastik dan bionik.
Peran di Balik Korona
Pandemi korona yang secara telak mematikan langkah globalisasi dengan tawaran-tawarannya yang berorientasi matre dan gaya-gayaan, sekarang sudah mati gaya. Korona membawa pesan untuk menghargai tubuh (kesehatan). Karol Wojtyla atau mendiang Paus Yohanes Paulus II (The Acting Person, 1997), mengatakan bahwa tubuh itu konkretisasi pribadi, wujud nyata dari sosok ontologis bernama pribadi. Pribadi adalah sosok yang tak terlihat namun mengambil wujud kelihatan melalui tubuh. Seseorang tidak dapat memahami tubuh tanpa mengakui bahwa tubuh itu adalah pribadi. Menghargai tubuh sama dengan menghargai pribadi. Jika kita melukai tubuh seseorang, kita merendahkan pribadinya.
Di masa pandemi ini, menjaga hidup (tubuh) jauh lebih mendesak dari sekadar gaya-gayaan. Wabah korona sekaligus kritik terhadap produk-produk makanan para kapitalis yang menguasai pasar, yang sarat dengan pewarna atau pemanis buatan. Makanan dari alam adalah yang terbaik bagi tubuh. Korona juga terbersit pesan kritis terhadap paradigma developmentalisme penguasa, di mana pembangunan infrastruktur dan perekonomian dengan investasi sana-sini sebagai hal utama. Hanya konsep ketahanan pangan yang mampu hidup di masa sulit ini.
Jika berkaca pada dunia pendidikan, anak-anak dididik untuk tangguh menghadapi masa depan yang penuh persaingan. Ketangguhan itu dimulai dari fisik (tubuh) yang kuat dan sehat melalui nutrisi prima dari keluarga. Anak yang tidak makan makanan bergizi berarti anak yang tidak cerdas sekaligus tidak kuat menghadapi masa depan, termasuk menghadapi penyakit-penyakit baru di masa depan sebagai akibat ledakan penduduk.