Kupang, Vox NTT – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (DPRD NTT), Emi Nomleni turut berkomentar terkait polemik antara pemerintah provinsi dengan warga Besipa’e, Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Ia menegaskan, harus ada pendekatan kultur budaya.
Nomleni berharap langkah Pemprov NTT untuk menempuh jalur hukum agar bisa berhati-hati.
“Saya menyampaikan supaya, ya berhati-hati teman-teman untuk menyampaikan beberapa hal keputusan sebelum itu betul-betul final supaya itu tidak menjadi kegaduhan di luar,” kata Nomleni kepada wartawan di kantor DPRD NTT, Jumat (15/05/2020).
Kata dia, dalam kondisi pandemi Covid-19 ini tidak boleh ada kegaduhan antara pemerintah dan masyarakat.
“Saya mengatakan untuk harus ada advokasi, pendekatan sosial. Kenapa perempuan TTS bisa melakuan seperti itu,” tegas Politisi PDIP itu.
Menurut dia, apa yang dilakukan perempuan TTS itu tidak bagian dari budaya.
“Tetapi kalau kita memandang kejadian itu bisa bisa dilihat dari beberapa faktor,” katanya
Perempuan kata Nomleni, kalau pada titik tertentu dia akan bisa melakukan apa saja ketika ingin mempertahankan sesuatu yang dianggap paling hakiki.
“Tetapi juga itu harus datang dari kesadaran diri bahwa ini yang saya harus dipertahankan melakukan. Tetapi kalau misalnya terjadi karena ini justru bagian dari skenario advokasi yang lain itu harus ditolak karena itu akan terjadi eksploitasi terhadap perempuan atau kelompok rentan anak-anak,” ujar Nomleni.
“Saya mengatakan itu, saya bilang perempuan yang berteriak di depan seorang pejabat dan yang duduk bernegosiasi itu adalah laki-laki. Dia harus dipanggil untuk didengar. Bukan hanya berteriak. Dia mendengar sebagai pribadi individu kenapa dia melakukan itu,” sambung dia.
Baca: Soal Aksi Telanjang di Besipa’e, Pemprov NTT Jangan Cari ‘Kambing Hitam’
Pemerintah tegas dia, hadir sebagai untuk mengayomi masyarakat. Dia harus memberikan ketenangan bagi masyarakat.
“Sehingga, saya mengingatkan kita semua agar berhati-hati untuk mem-publish sesuatu yang belum pasti,” katanya.
Kalaupun pemerintah tetap menempuh jalur hukum terhadap perempuan dengan tidak melihat kondisi-kondisi tegas dia, mungkin kalaupun salah Nomleni siap berdiri bersama-sama perempuan.
“Karena saya menganggap itu bukan sesuatu yang harus sampai ke ranah hukum tetapi justru bentuk yang kita lihat sebagai apa yang kita lihat selama ini sebagai apa yang selami ini kita kerjakan. Kenapa masyarakat sampai kepada tataran itu dan yang korban adalah perempuan. Berarti ada kelemahan di kita juga terhadap advokasi banyak hal,” ungkap Nomleni
“Mereka bisa saja ada dalam ketidaktahuan, ketidakmengertian yang mereka lakukan yang bisa menuntut orang dengan cara begitu. Tetapi itu menjadi preseden buruk. Nanti kita bisa terus memakai perempuan sebagai garda terdepan untuk menuntut sesuatu. Tidak. Tidak boleh,” sambungnya.
Ia pun dengan tegas menolak jika persoalan itu sampai ke ranah hukum.
“Saya menolak kondisi itu. Ya, kalaupun sampai ke ranah hukum juga pasti kami berdiri untuk tidak boleh. Sampai pada titik yang seperti itu. Harus ada koordinasi yang baik, diskusi yang baik, dialog yang baik untuk menemukan jalan keluar,” tegasnya
Ia meminta kepada pemerintah untuk tidak boleh dengan cara pendekatan hukum. Tetapi harus mengayomi.
“Mengayomi, karena itu yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, harus ada advokasi dan pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan.
“Memberikan pencerahan terus kepada masyarakat, dia menutut hak-haknya dengan cara-cara humanis,” harapnya.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba