Oleh: Hans Pohar
Alumnus FE Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Ibu Yeni Veronika, anggota DPRD Provinsi NTT bersama bupati Manggarai, Kamelus Deno membagi sembako kepada warga desa Bere-Cibal Barat (15/05/2020). Sejumlah politisi, DPRD, aparat kepolisian dan TNI turut hadir, tak peduli Covid-19.
Dalam rekaman video berdurasi 4 menit 1 detik, Ibu Yeni berpidato berapi-api di halaman SDK Akel yang dihadiri banyak warga. Dalam pidatonya, Ibu Yeni mengatakan, tak ada unsur politik, bupati dan DPRD hadir di desa Bere.
“Beliau masih bupati sampai dengan nanti Februari 2021. Kenapa saya sampaikan, karena ada orang-orang tertentu di Media Sosial. Apa yang dikerjakan pak bupati sebagai ketua Gugus Tugas dan kami DPRD, turun di setiap kecamatan, keluar masuk desa memberikan bantuan, memberikan sosialisasi tentang Covid-19, kadang-kadang dipelintir bahwa itu politik. Ini tidak ada sama sekali” kata Yeni.
Politik Permen
Bagi saya, sulit membedakan secara emosional Ibu Yeni sebagai DPRD dan istri bupati dalam pembagian sembako di desa Bere tersebut. Pembagian sembako di tengah pandemik Covid-19 dan menjelang pilkada Manggarai mengundang banyak curiga. Salah satunya, Covid-19 dikapitalisasi menjadi suara.
Ini semacam candi politik, politik permen, merayu warga agar mengalihkan pilihan. Politik merayu dengan permen ini seringkali dilakukan para calon incumbent di berbagai daerah menjelang Pilkada. Ini bukan hanya terjadi di Manggarai, tetapi juga terjadi di daerah lain.
Candi politik itu bentuknya banyak rupa. Bisa saja dalam bentuk pembangunan jalan raya menjelang masa jabatan berakhir dan yang paling terang mengambil kesempatan di tengah pandemik membagi-bagi sembako. Apalagi jika sembakonya sejenis, beras, telur dan bahan-bahan pokok terkait dapur warga negara selama krisis.
Selama Covid-19, warga negara tak bisa berproduktif, tak bisa mencari uang. Kesempatan ini digunakan betul oleh incumbent untuk menarik simpati rakyat. Meskipun dalam konteks pembagian sembako yang dilakukan Ibu Yeni bisa jadi itu uang reses, karena BPK-RI sudah memperbolehkan wakil rakyat mengalihkan dana reses untuk sembako dan kebutuhan bahan pokok rakyat di tengah pandemik.
Pembagian sembako dengan tatap muka langsung apalagi mengumpulkan banyak orang syarat dengan nuansa politik. Pada titik ini kita boleh menilai, Deno memiliki jaringan bukan hanya mesin birokrasi, tetapi jaringan politik di DPRD yang note bene adalah istrinya sendiri. Kehadiran Ibu Yeni sebagai DPRD turut memperkuat posisi Kamelus Deno sebagai calon bupati. Jadi, status perkawinan kemudian berubah menjadi perkawinan politik.
Ini bukan kali pertama bupati Deno membagi sembako dengan mengumpulkan warga. Pada awal Mei lalu, Bupati Deno juga membagi sembako di Satarmese dan Satarmese Barat. Ini pembagian sembako pertama yang di lakukan Deno. Pada Pilkada 2015, dua daerah ini menjadi pusat kantong suara lawan politik Deno.
Boleh jadi, pembagian sembako dengan tameng pencegahan Covid-19 adalah momen politik bagi Deno mengubah citra dirinya dihadapan warga Satarmese dan Satarmese Barat. Pembagian sembako di Cibal Barat, Satarmese dan Satarmese Barat adalah strategi Deno dan Yeni merebut suara pemilih.
Sembako adalah bagian dari jembatan menuju kekuasaan. Ibu Yeni tak perlu terbawa perasaan (baper) jika warga di media sosial curiga dengan kehadiran Deno di tengah masyarakat dengan membagi sembako yang penuh syarat kepentingan politik.
Media sosial adalah tumpuan baru demokrasi dalam masyarakat modern. Ibu Yeni perlu memahami bahwa dengan perkembangan teknologi informasi yang canggih, gerakan masyarakat sipil sekarang banyak berpindah ke media sosial. Mereka merebut ruang-ruang publik dengan berbagai gagasan dan pemikiran. Mereka juga melakukan gerakan dan konsolidasi melalui media sosial untuk menekan rezim yang abai terhadap rakyat dan rejim yang menyalahkan wewenang. Masyarakat sipil sekarang sudah berubah menjadi cyber civil society.
Mereka bukan orang-orang berpikir picik, licik dan sempit sebagaimana diungkapkan Ibu Yeni dalam video yang diunggah itu. Mereka adalah masyarakat sipil yang cerdas. Ibu Yeni tentu terganggu sekali dengan kekritisan mereka di media sosial. Maka, Ibu Yeni perlu sadar, prilaku dan budaya politik kekuasaan sangat mudah diakses dan di monitoring di media sosial.
Politik pembagian sembako ini sangat efektif dalam budaya politik yang masyarakatnya memilih berdasarkan kedekatan emosional, kekerabatan, bukan berdasarkan track-record dan pertarungan gagasan.
Rakyat lebih tergiur memberikan hak suaranya karena uang, harta dan rayuan sembako. Ini adalah cikal-bakal pemilih tak rasional. Tak terkecuali, pemilih Manggarai juga banyak tak rasional dan memilih karena kedekatan emosional. Pemilih model begini tak bisa menghasilkan seorang pemimpin berkualitas, kompeten dan visioner membangun daerah.
Daerah, seperti Manggarai harus dipimpin orang-orang berkompeten agar mampu mengubah nasib rakyat menuju kesejahteraan. Pemimpin kompeten tak pernah lahir dari rahim candi politik, lahir dari pembagian sembako, tetapi lahir dari ketulusan.
Lantas apakah kehadiran Pak Deno- Bu Yeni di desa Bere benar-benar menunjukan ketulusan hati pemimpin membantu warga negara? Saya kira jawabnya jelas, tidak!
Bupati Deno sudah diberikan kesempatan memimpin Manggarai selama 15 tahun, dua periode menjadi wakil dan kemudian menjadi bupati. Tetapi, belum ada perubahan menjanjikan di Manggarai yang lahir dari kebijakannya. Dia hanya melanjutkan proyek pembangunan bupati sebelumnya, tetapi belum menyentuh kepada kesejahteraan.
Masih banyak kemiskinan, angka pengangguran tinggi. Warga Manggarai sulit mendapat kerja dan sektor-sektor primer, seperti pertanian tak pernah mendapat perhatian serius. Atas ketidakseriusan itulah, Bupati Deno sendiri pasti ragu jika rakyat sudah tidak simpatik. BUpati Deno juga pasti sudah mulai sadar banyak rakyat yang mulai mengalihkan pilihan. Maka, politik pembagian sembako di tengah pandemik adalah berkah baginya. Berkah untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Manggarai.
Covid-19 Petaka Bagi Orang Lain
Pandemik Covid-19 mengubah relasi antar manusia. Relasi pemimpin dan rakyat juga berubah. Covid-19 menjungkir-balikan semua relasi yang dibangun mapan selama ini. Kehadiran wajah dan tatap muka di tengah Covid-19 bisa membawa petaka bagi orang lain.
Virus Corona ini menular antar manusia. Kontak fisik (jabat tangan) dan sentuhan pada benda atau barang merupakan media penyebaran virus corona ini. Jika Ibu Yeni peduli dengan warga negara di tengah Covid-19, dia tak perlu hadir di tengah masyarakat dan mengumpulkan masyarakat untuk membagikan sembako. Cukup dia mengirim sopir dan mobil untuk membagikan sembako ke tengah masyarakat Bere.
Ibu Yeni juga bisa membawa petaka bagi warga desa Bere, karena dia datang dari zona merah (kota Kupang) Covid-19. Kehadiran Ibu Yeni, Pak Deno, aparat kepolisian dan TNI di desa Bere justru melanggar protokol kesehatan.
Protokol kesehatan di tengah Covid-19 adalah menjaga jarak, hindari kontak langsung dan dilarang mengumpulkan banyak orang di suatu tempat. Ibu Yeni dan Bupati Deno mestinya mencari cara lain untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 tanpa harus turun langsung bertemu masyarakat.
Di tengah Covid-19, pemimpin tulus tak perlu hadir langsung bertatap muka dengan warga. Jika dia tulus, meskipun dibagikan melalui cara lain seperti delivery, rakyat pasti tetap selalu mengingat kebaikan dan perhatiannya.
Ibu Yeni sebagai anggota DPRD seharusnya benar-benar merepresentasikan tugas konstitusi. Ia semestinya banyak menyerap aspirasi rakyat bukan membagi sembako. Contoh menyerap aspirasi rakyat adalah mendengar keluhan masyarakat terkait dana BLT, dana PKH, pembagian sembako bagi masyarakat miskin dan harga-harga barang komoditi. Aspirasi-aspirasi ini akan dia sampaikan ke pemerintah provinsi untuk di sampaikan secara langsung kepada gubernur NTT. Itu adalah fungsi representasi DPRD.
Menyerap aspirasi rakyat itu bukan dengan tatap muka secara langsung bersama warga. Banyak politisi di tengah covid-19 sekarang ini menyerap aspirasi rakyat melalui virtual media (webinar/seminar virtual). Ibu Yeni bisa menggunakan cara-cara ini untuk mengumpulkan aspirasi tersebut.
Contoh, Christina Aryani, anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar menggunakan virtual media untuk menyerap aspirasi warga di daerah pemilihan DKI-Jakarta. Anggota Komisi V DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda (PDI-P) melakukan terobosan dalam menjalankan aktivitas kedewanan melalui reses virtual sebagai solusi menyerap aspirasi warga kabupaten Barito Kuala (Batola).
Ibu Yeni semestinya belajar bagaimana mendekatkan diri dengan rakyat tanpa harus melanggar protokol kesehatan di tengah pandemik. Dia harus mampu membuat terobosan dan inovasi terbaik di tengah pandemik Covid-19.
Pengawasan
Pengawasan publik Manggarai melalui media sosial untuk meredam penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat urgent. Itu karena incumbent sangat mudah menggunakan kesempatan di tengah pandemik untuk menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik.
Anggaran sembako adalah fasilitas negara yang disediakan untuk dibagikan ke warga di tengah pandemik. Anggaran Covid-19 bukan anggaran untuk politik meraup suara.
Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) semestinya meredam dan bisa mencermati politik permen seperti ini. Jika ada pelanggaran harus diteguran dan sanksi sesuai prosedur yang ada.