(Refleksi Kritis atas Sikap Manusia Ditengah Pandemi Covid-19)
Oleh: Simon O. Lebo
(Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta)
Sejak Desember 2019, Covid-19 telah meneror kota Wuhan, Cina tempat awal kemunculan virus ini. Secara cepat dan tak terkendali, Covid-19 menyebar ke pelbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, setelah dua orang dinyatakan positif Covid-19 pada 2 Maret 2020, masyarakat pun mulai was-was. Lalu, pada 13 Maret 2020, Pemerintah membentuk Gugus Tugas Penangganan Covid-19, disusul perintah untuk menutup semua tempat wisata (Tempo,16-22 Maret 2020).
Tak hanya berhenti pada dua orang itu, Covid-19 sampai saat ini menjadi ancaman paling menakutkan di Indonesia. Data yang dihimpun oleh Gugus Tugas Percepatan Penangganan Covid-19 per Senin, 25 Mei 2020 mencatat penambahan kasus baru 526 sehingga totalnya menjadi 22.271 positif corona. Sedangkan pasien sembuh menjadi 5.402 dan kasus meninggal menjadi 1.372 dengan penambahan 21 orang.
Sejauh ini kita pun terus mencari cara, tetapi tetap saja tak berdaya menahan laju persebaran Covid-19. Lalu, adakah sesuatu yang perlu ditawarkan dari sikap kita menghadapi Covid-19 ini?
Indonesia sedang Menderita?
Covid-19 telah menyebabkan akses ke tempat-tempat umum ditutup. Kegiatan keagamaan juga serentak dibatasi. Rumah-rumah ibadat seperti Gereja, Mushola, Vihara, Pura, dan tempat keagamaan lainnya menjadi sepi.
Umat Katolik tidak bisa merayakan Paskah tahun 2020 secara bersama di Gereja. Begitu juga dengan umat Muslim yang tidak dapat menjalankan ibadah puasa secara bersama pada bulan Ramadhan ini dan hari Raya Idul Fitri.
Aktivitas perkantoran banyak dihentikan, tenaga kerja di PHK. Kegiatan belajar-mengajar juga terpaksa diliburkan (belajar dari rumah). Kenyataan ini membuat manusia mengalihkan perhatiannya pada peran teknologi. Teknologi menjadi satu-satunya ruang yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan tersebut.
Covid-19 memberikan petunjuk kepada manusia bahwa ada sesuatu yang sedang kita alami. Saya sendiri menamakan Covid-19 ini sebagai sebuah penderitaan. Penderitaan karena manusia tidak bisa melakukan pergerakan bebas, semuanya dibatasi. Penderitaan karena ada orang yang menjadi korban demi orang lain.
Hal ini merujuk pada peran tenaga medis yang berjuang sekuat tenaga mengalahkan virus ini. Dalam perjuangan itu, tenaga medis tetap kewalahan, bahkan harus gugur lebih dulu.
Namun, di sisi lain kita juga menyaksikan orang-orang yang merasa dirinya kuat. Bahkan tak tanggung-tanggung menilai virus ini hanya sebagai ancaman saja.
Karena itu, tidak heran orang memilih mengabaikan arahan dari tenaga medis dan pemerintah. Orang-orang tetap menjalankan aktivitas dalam kerumunan. Di Indonesia sendiri orang tetap mengabaikan perintah untuk sosial distancing, tinggal di rumah, cuci tangan, dan mengunakan masker.
Wajah Ke-Indonesiaan kita
Terlepas dari penderitaan yang kita alami, ada baiknya kita menengok spirit ke-Indonesiaan yang melekat dalam diri kita. Wajah ke-Indonesiaan yang mesti kita gali adalah kekayaan nilai-nilai dalam Pancasila yang menjadi pegangan kita bersama.
Mengenai Pancasila ini, Yudi Latif menerangkan demikian, “Sejak disahkan secara konstitusional pada pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar falsafah negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur pemersatu dalam perikehidupan dan kebangsaan Indonesia”.
Menurut Yudi Latif Pancasila adalah sumber jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan keselamatan bangsa (Yudi Latif, Negara Paripurna, 2014). Pernyataan dari Yudi Latif itu sendiri bertolak dari pernyataan Soekarno sebagai the founding father akan hakikat Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Pancasila telah memberikan spirit yang paling kaya bagi keberlangsungan hidup kita. Pancasila bukan saja soal ideologi negara yang membentuk sistem-sistem formal kenegaraan kita, tetapi pancasila adalah the way of life bangsa Indonesia.
Di dalam Pancasila terkandung makna persatuan, perjuangan bersama, gotong royong dalam menentang berbagai hal yang bertentangan dengan keberadaan bangsa Indonesia.
Maka, dalam kasus Covid-19 spirit Pancasila mesti mengema sampai ke pelosok Indonesia untuk bersatu melawan Covid-19 ini. Spirit yang diinterpretasi disini adalah adanya usaha dari warga Indonesia untuk saling membantu, gotong royong, memiliki rasa persatuan menentang Covid-19 dengan cara dan sikap yang sama.
Sekalipun kecil, sikap-sikap yang menunjukan rasa persatuan, gotong royong itu antara lain: berdiam diri di rumah, menaati protokol pemerintah dan tenaga medis (mengunakan masker, cuci tangan, larangan untuk berkumpul).
Kerja sama Memutus Laju Persebaran Covid-19
Belajar dari spirit Pancasila, maka ditengah Pandemi Covid-19 ini manusia Indonesia mesti memiliki sikap sense of belonging akan ke-Indoneisaan kita. Kita harus bertekad untuk bekerjasama memutus rantai persebaran Covid-19 ini. Hal nyata yang mesti kita perjuangkan adalah adanya kerendahan hati untuk menerima arahan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Ajakan seperti sosial distancing, cuci tangan, mengunakan masker sampai PSBB sebenarnya menyadarkan kita untuk melihat makna ke-Indonesian kita.
Makna ke-Indonesiaan kita ditengah Covid-9 harus direalisasikan dalam wujud kerjasama. Kerja sama yang paling nyata tentunya adalah mengikuti semua protokol dari para medis dan pemerintah.
Selain itu, sebagaimana pemerintah yang selalu mengharapkan kerjasama dari seluruh masyarakat Indonesia, maka pemerintah juga senantiasa bekerjasama dan memiliki kepedulian. Antara pemerintah pusat dan daerah harus memiliki konektivitas. Hilangkan keegoisan, persaingan atau perdebatan politik yang tidak perlu.
Mengenai kerja sama antara pusat dan daerah ini saya sependapat dengan R. Siti Zuhro, Seorang Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lipi yang mengatakan bahwa masalah Covid-19 ini bisa diselesaikan dengan cepat jika pemerintah mampu membangun sinergi, sinkronisasi, kolaborasi, dan komunikasi antartingkat pemerintahan (dengan perspektif yang sama).
Setiap tingkatan pemerintahan tidak boleh jalan sendiri-sendiri karena ini akan menganggu kebangsaan dan kesatuan Indonesia (Kompas,11 Mei 2020). Covid-19 adalah musuh bersama. Karena itu, semua mata harus tertuju kepadanya.
Selain kerja sama kita juga perlu membangun solidaritas dimasa pandemi Covid-19 ini. Solidaritas itu harus meninggalkan sekat-sekat primordial. Kosa kata gotong royong adalah adalah upaya menyeluruh mengatasi persebaran Covid-19 ( St. Sularto, Hidup 3 Mei 2020).
Melalui mimbar keagamaan, para pemimpin agama menyerukan kerjasama, solidaritas dan harapan. Jhon Piper mengambarkan sebuah pengharapan ditengah pandemi Covid-19 demikian:
Pengharapan adalah kekuatan; kekuatan di masa sekarang. Pengharapan mencegah orang-orang untuk bunuh diri sekarang. Pengharapan membantu orang-orang untuk bangun dari tidur dan pergi bekerja sekarang. Bahkan dikala isolasi, bekerja dari rumah sekarang. Pengharapan membebaskan kita dari ketakutan yang egois dan ketamakan sekarang. Itu menguatkan kasih, menimbulkan keberanian mengambil resiko dan rela untuk berkorban sekarang (Jhon Piper, Christ and Coronavirus, 2020).
Akhirnya, belajar dari spirit Pancasila yang memiliki makna terdalam akan ke-Indonesiaan kita, Pandemi Covid-19 pasti akan berlalu dan manusia Indonesia tetap menjadi pemenangnya.