Borong, Vox NTT- Polemik rencana pemerintah untuk membangun pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT hingga kini terus bergulir.
Pengamat sosial politik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Lasarus Jehamat ikut menyoroti rencana pendirian pabrik semen yang akan dikelola oleh PT Singa Merah NTT dan PT Istindo Mitra Manggarai itu.
Dalam rencananya dikabarkan PT Singa Merah NTT bakal mengurus pabrik semen di atas lahan milik warga Kampung Luwuk. Sedangkan, PT Istindo Mitra Manggarai bakal mengurus pertambangan batu gamping sebagai bahan baku semen di atas luas lahan 599 hektare milik warga Kampung Lingko Lolok.
Baca: Wagub NTT Respon Soal Pabrik Semen di Matim, Pengamat Cium Aroma “Politik Saku”
Jehamat mengatakan, semen bisa dibeli di mana-mana sejauh infrastruktur pertanian, perkebunan, jalan, jembatan, pendidikan, dan kesehatan di Matim diperhatikan dengan sungguh.
“Ini penting! Tanah itu tidak bisa didapat dengan mudah. Tanah tidak bisa ditukar dengan semen. Tapi semen, bisa dibeli dengan hasil tanah. Itu tesis besarnya,” tegas Jehamat kepada VoxNtt.com, Selasa (26/05/2020) kemarin.
Dosen sosiologi Undana Kupang itu menegaskan, pemerintah harus melihat konteks pro dan kontra pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda dalam kaca mata obyektif.
Menurut dia, masyarakat pada salah satu desa di Kecamatan Lamba Leda bagian utara itu bukan hanya yang menerima tambang atau pabrik semen, tetapi juga yang menolak.
“Benar di lokasi ada masyarakat yang dipaksa menerima kesepakatan dengan tawaran macam-macam. Tapi, masih ada segelintir orang baik yang mempertahankan tanah dan airnya,” imbuhnya.
Dia menambahkan, pemerintah provinsi semestinya terbuka terkait kebutuhan semen di NTT.
“Kalau masih pro dan kontra, dan Pemprov ngotot mengeluarkan izin, baiknya Pemprov terbuka dengan elemen lain di luar untuk memaparkan data terkait kebutuhan semen. Itu baru fair,” katanya.
Apalagi jelas Jehamat, ada data lain yang menyebutkan NTT malah mengalami surplus semen sekitar 600 ribu ton. Ia pun menginginkan Pemprov harus menerima pihak lain untuk memaparkan data kebutuhan semen.
“Apa benar bahan baku hanya ada di Matim? Kalau pun benar, apa Pemprov tidak memikirkan dampak lain seperti lingkungan dan perubahan struktur budaya dan adat setempat?” tukasnya.
“Kalau izin tetap keluar, ini yang disebut arogansi kekuasaan. Di mana negara ketika berbagai sarana fisik dan pertanian di Manggarai Raya hancur? Mengapa negara begitu mudah pergi ke Matim untuk memuluskan langkah modal ditanam di sana? Maaf, saya lebih melihat ini dalam konteks ‘politik saku’,” ujar Jehamat.
Politik saku, urai Jemahat, adalah mekanisme memperoleh untung oleh siapa pun yang telah dan akan diberikan oleh kapital kepada otoritas negara, pemerintah dalam konteks ini.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba