Oleh: Alvino Latu*
Tidak bisa dipungkiri musibah pandemi covid-19 sudah banyak mempengaruhi tatanan sosial masyarakat. Begitu banyak aktivitas keseharian yang terganggu dan terkena dampak dari pandemi ini.
Anjuran karatina mandiri, PSBB atau lockdown serta penerapan Social/Physical Distancing dalam beraktivitas menjadi keharusan dalam memutuskan mata rantai penyebaran virus korona. Kebijakan ini dianggap cukup tepat dan ampuh di tengah situasi yang serba carut marut seperti saat ini.
Tatanan Kehidupan Baru (New Normal)
Selain mengubah laku keseharian manusia. Virus ini juga mengubah sekaligus membentuk tatanan kehidupan baru manusia atau di sebut new normal. Pemberlakuan kebijakan new normal oleh pemerintah akan diterapkan di wilayah yang sudah termasuk zona hijau.
Argumentasi dasar dari new normal ini menghendaki masyarakat untuk kembali melakukan aktivitas keseharian seperti (ekonomi, politik, sosial, pendidikan, pemerintahan, agama dan lainya) dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Walaupun tidak terbiasa, kita mesti perbiasakan diri dengan terus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Jika kita tidak berubah, maka petaka bisa merenggut nyawa.
Lebih jauh, new normal sebenarnya mendamaikan dua kepentingan yang saling menopang dalam kehidupan bernegara. Kepentingan tersebut adalah kesehatan dan ekonomi.
Kebijakan normal baru adalah usaha agar kedua sektor ini tetap menang dalam menghadapi pandemi. Sebab jika salah satunya kalah, akan mempengaruhi sektor yang lain.
Masyarakat tidak mungkin bisa bekerja dalam keadaan sakit, demikian pun sebaliknya, orang yang tidak bekerja tidak bisa mendapatkan makan dan tentu akan jatuh sakit karena kelaparan.
Memang benar adanya, virus kelaparan menjadi ancaman baru di tengah gelombang eskalasi virus korona yang merebak ke segala arah dan bidang kehidupan.
Ancaman kekurangan pangan dan suplay makanan di tengah wabah menjadi persoalan primer dan headline. Ketenangan dan kenyamanan perut menjadi cikal bakal imun dan aman seseorang menghadap terjangan wabah.
Kontrol Diri
Karena itu, agar kebijakan new normal bisa berjalan dengan efektif, kontrol diri menjadi perangkat kunci dalam diri manusia yang harus perkuat. Bentuk kontrol diri tersebut berupa disiplin diri, motivasi dan solidaritas.
Disiplin diri berkaitan dengan upaya meredam perilaku ‘normal’ agar sesuai dengan kebijakan normal baru. Masyarakat diharapkan tetap memakai masker, menjaga kebersihan diri, dan peka terhadap protokol kesehatan.
Motivasi berkaitan dengan upaya menanamkan sugesti melalui keyakinan yang kuat bahwa kita bisa menghadapi pandemi ini. Dalam beberapa kasus yang saya baca di berbagai media, keyakinan dan tekad yang kuat justru obat yang paling mujarab melawan wabah. Salah satu contohnya dibuktikan oleh seorang nenek berusia 84 tahun di Ambon yang berhasil sembuh dari Covid berkat keyakinan dan tekad yang kuat.
Selain itu solidaritas sosial juga harus selalu dijaga sebagai tameng sosial menghadapi pandemi. Bantuan sosial yang digalang berbagai pihak akhir-akhir ini adalah bukti bagaimana modal sosial terbukti cukup ampuh menahan dampak ekonomi wabah Korona.
Solidaritas, secara sosiologi juga bisa menghidupkan kembali kohesi sosial yang selama ini retak akibat polemik kepentingan, kecemburuan sosial maupun kesenjangan sosial.
Hadirnya Korona pada satu sisi memberi dampak positif agar hubungan sosial yang retak tersebut dipulihkan kembali melalui aksi solidaritas.
Catatan pentingnya, semangat solidaritas ini tidak hanya terjadi selama masa pandemi, tetapi menjadi gaya hidup pada masa yang akan datang. Di sana juga tertanam spirit gotong royong sebagai landasan dasar Pancasila, falsafah bangsa kita.
Solidaritas dengan Alam
Rasa solidaritas tersebut juga tidak cukup diterapkan pada sesama manusia, tetapi juga dalam perspektif kosmologi yang lebih luas yakni solidaritas dengan alam dan lingkungan.
Pandemi Covid-19 lebih jauh adalah ajakan kepada manusia untuk melakukan pertobatan ekologis. Perilaku manusia yang serakah merusak keutuhan alam perlu direfleksi kembali.
Investasi maupun pembangunan berskala besar yang memiliki daya rusak lingkungan perlu diredam agar virus, bakteri, dan patogen tidak berpindah ke tubuh manusia.
Dengan menjaga alam, kita sebenarnya menjaga diri kita sendiri dari serangan virus. Korona adalah virus yang berpindah dari binatang ke manusia. Dia berpindah mencari rumah baru (baca: tubuh manusia) karena habitatnya telah rusak akibat deforestasi dan pencemaran lingkungan.
Jangan sampai kita menggenjot ekonomi tanpa memperhatikan keutuhan alam. Lalu, ketika alam rusak dan murka, kita menghabiskan banyak sumber daya ekonomi untuk memulihkannya. Krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini adalah catatan kritis atas keserakahan manusia menghancurkan alam.
Maka, berpuasa diri dari keangkuhan, ketamakan dan kesombongan menjadi keharusan, agar kita semua dapat selamat dari wabah ini.
*Penulis adalah Mahasiswa Fisip-UNDANA Kupang, asal Pocoranaka, Manggarai Timur