Oleh: Albertina Yosefina Samu
Peminat Masalah Tambang
Belakangan ini, media baik itu media sosial maupun media elektronik santer membahas tentang rencana pembuatan pabrik semen di Luwuk dan Lengko Lolok, Manggarai Timur.
Berdasarkan data dari beberapa media online yang pernah saya baca, 98% warga Luwuk setuju dengan rencana pembuatan pabrik semen di desanya. Sementara 2% lainnya menolak.
Awalnya saya secara pribadi juga dilema. Antara ya dan tidak. Saya sadar sepenuhnya bahwa bukan wewenang saya untuk menerima atau menolak keputusan itu. Atensi saya hanya karena saya peduli.
Jika ditakar secara matematis, angka 98% itu merupakan jumlah yang besar. Jika keputusan itu diambil dengan cara voting, sudah pasti kelompok itu menang.
Sayangnya, ini bukan masalah suara terbanyak seperti pada acara pemilihan ketua kelas pada saat masih sekolah dulu atau seperti pemilu sekarang yang menggunakan rumus 50 + 1.
Ini masalah tanah yang menjadi ciri orang Manggarai dan tanah itu akan dijadikan tempat pabrik semen. Kehadiran tambang dan pabrik semen ini juga berdampak pada kampung dan desa-desa sekitarnya, apalagi dari berbagai sumber yang saya peroleh, industri skala besar ini bakal diikuti dengan PLTU dan Pelabuhan sendiri. Tentu dampak lingkungannya semakin luas.
Karena itu, penting disadari bahwa kehadiran tambang dan pabrik semen bukan hanya berkepentingan orang Luwuk dan Lolok tetapi juga menyangkut masa depan kosmologi kehidupan semua orang.
Dua pandangan
Di sini saya akan melihat dari dua perspektif. Perspektif pertama dari pemilik tanah yang pro dengan rencana pembangunan pabrik semen ini dan perspektif kedua dari mereka yang kontra (yang menolak pembangunan pabrik semen).
Jika kita berdiri dari sudut mereka yang menolak, kita pasti akan berkata ‘betapa bodohnya ke 98% masyarakat yang pro itu karena menerima keputusan itu begitu saja tanpa memikirkan dampak buruk yang akan terjadi dikemudian hari dan berbalik mengasihani kelompok yang 2% itu’.
Sebaliknya, jika kita berada di kelompok 98%, kita pasti mengatakan ‘betapa bodohnya mereka yang 2% itu karena tidak mendukung program pembangunan semen’.
Setiap orang bisa saja mempunyai alasan untuk melakukan sesuatu. Kelompok 98% mungkin berpikir bahwa pabrik semen bisa membawa perubahan bagi kehidupan mereka nanti; mengangkat derajat kehidupan sosial mereka dari petani menjadi pengusaha misalnya. Itu pertama.
Kedua, kelompok 98% bisa saja mengatakan pro pembangunan pabrik semen sebagai bentuk kekesalannya kepada pemerintah atas pembangunan fisik infrastruktur selama ini.
Dalam pandangan ini, pemerintah dianggap gagal dan sepertinya sudah ‘lepas tangan’ atas berbagai kehidupan masyarakat Luwuk dan Lengko Lolok khususnya dalam hal infrastruktur. Mungkin masyarakat berpikir, kalau kami setuju, jalan diperbaiki oleh inverstor, rumah diperbaiki, ekonomi meningkat, dan lain-lain. ‘Tunggu pemerintah, sampai kapan??’.
Di sini, sang investor dianggap sebagai juru selamat yang membawa Luwuk dan Lengko Lolok keluar dari keudikannya. Dan itu fakta. Jalan-jalan di Luwuk dan Lengko Lolok sudah mulai diperbaiki. Jika demikian, siapa yang disalahkan?
Bagaimana dengan kelompok 2%? Seorang ibu yang lagi viral setelah video penolaknya terhadap pembuatan pabrik semen di Luwuk adalah 1 dari 2% itu. Dia mengatakan bahwa tanah itu tidak beranak. Tepat. Inilah alasan yang paling fundamental penolakan pembangunan pabrik semen. Tanah adalah manusia dan manusia adalah tanah.
Tanah itu warisan leluhurnya yang menghidupkannya sampai sekarang. Saya sepakat. Mereka menyadari bahwa pabrik semen berdampak buruk bagi sosial kemanusiaan dan ekonomi mereka ke depannya. Uang, katanya akan habis seketika tetapi tanah tidak akan habis. Logis.
Posisi Negara
Berdasarkan banyak sumber media yang saya baca, Bupati Matim, Agas Andreas sudah menyetujui pembangunan pabrik semen tersebut. Saya heran, mengapa dengan gampangnya beliau menyatakan persetujuannya. Padahal saya sangat yakin bahwa beliau tahu benar dampak negatif yang akan terjadi pada masyarakat di wilayah kekuasaannya itu ke depan. Kok Tega? Tahu dan mau melakukan itu pada masyarakat desa yang polos dan lugu.
Analisis saya begini, pertama dari segi politik, mengapa pak bupati tega mengizinkan pembangunan pabrik semen karena mungkin pada saat pemilihan beberapa tahun lalu, warga Luwuk dan Lengko Lolok tak banyak yang memilihnya. Prinsipnya, ya sudahlah, biar saja investor datang. Toh mereka dulu tidak memilih saya. Ada hukum ke’tega’an di sana. ‘Mau hancur ya hancur. Emang gue pikirin’.
Kedua, dari segi ekonomi, proyek besar itu sudah pasti memberikan income yang besar bagi pemerintah Manggrai Timur (semoga bukan ke kantong pribadi).
Ketiga, dari segi budaya. Bupati mungkin berpikir budaya sudah tidak ada artinya lagi jika masyarakatnya miskin. Meski demikian, untuk Manggarai, manusia boleh pindah tetapi compang (mezbah untuk memuja nenek moyang) tidak akan bisa dilakukan.
Ketika saya mengikuti seminar yang dibawakan oleh Prof. Robert Lawang dan Prof Meribeth Erb, beberapa hari lalu, saya tertarik dengan kalimatnya yang begini, ‘di Manggarai itu siapa yang menjadi tim sukses waktu pilkada, pasti akan mendapatkan kedudukan yang bagus ketika jagoannya terpilih’. Mungkin inilah yang terjadi di Manggarai Timur sekarang.
Di mana anggota DPRD Matim; wakil rakyat Manggarai Timur sekarang? Di mana semua mereka yang dulu datang dan memberikan janji-janji manis untuk berpihak kepada rakyat kecil?
“Di hati dan lidahmu kami titipkan, suara kami (rakyat) tolong dengar lalu sampaikan. Kami tak sudi memilih para juara, juara diam, juara ehemm, juara hahaha“.
Saya berharap semoga saja anggota DPRD Matim tercinta bukan dari kelompok para juara yang dimaksud Iwan Fals dalam kutipan lagunya tadi.
Saya semakin terusik ketika menyaksikan video Bupati Matim yang beredar belum lama ini. Dalam videonya, keras dia katakan bahwa masyarakat jangan hanya melihat sisi negatifnya, tetapi pikirkan juga keuntungan yang diterima selama ini.
Pak, sekarang masyarakat dilema, cemas dan galau. Seharusnya Bapak datang membawa angin sejuk, datang sebagai pelita dalam kegamangan mereka. Bukan datang untuk memperburuk situasi. Membuat mereka takut dan terpuruk.
Maksud Bapak mungkin baik, tetapi cara Bapak menyampaikannya kurang etis. Bicaralah seperti saat bapak menginginkan suara mereka dulu waktu menjelang pemilu. Halus, merdu, dan mau menjadi pendengar yang baik dan tulus bukan modus.
Ingat baik-baik!
Pertanyaannya, apakah pabrik semen itu nantinya benar-benar meningkatkan ekonomi rakyat Luwuk dan Lengko Lolok atau Matim dan Manggarai Raya secara keseluruhan? Saya tidak yakin.
Apakah dengan adanya pabrik semen itu, pengangguran berkurang? Saya lebih tidak yakin. Kenapa? Kita tahu dan sadar, masyarakat Desa Luwuk dan Lengko Lolok dari dulu berprofesi sebagai petani. Hidup dari hasil kebun dan sawah.
Apa mungkin mereka dipekerjakan di pabrik semen itu kelak? Bisa saja tetapi sebagai pegawai rendahan. Dengan kata lain, warga akan menjadi buruh untuk sapu-sapu (cleaning service) atau pekerjaan kasar lainnya. Sudah pasti dengan gaji yang relatif kecil juga. Apakah itu bisa meningkatkan ekonomi? Tidak.
Saya yakin mreka akan semakin terpuruk. Dulunya masyarakat menghasilkan padi, jagung, dan lain-lain, berubah menjadi menghasilkan uang yang juga akhirnya untuk membeli beras dan makanan. Impas. Semakin memburuk bahkan.
Jadi, saran saya kepada para pengambil keputusan, pikirkan rencana pembangunan semen itu baik-baik. Sayangi masa depan rakyatmu, masa depan alammu, dan masa depan anak cucu kita. Mimpi indahmu untuk meningkatkan ekonomi rakyat Matim mohon dipikirkan kembali. Masih banyak sumber daya alam yang bisa kita pakai untuk memajukan tanah congkasae. Jangan sampai indahnya mimpimu hanya kau rasakan dan nikmati sendiri. Salam tolak tambang.