Ruteng, Vox NTT – Kami memantapkan rencana untuk berkunjung ke Pantai Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Rabu (10/06/2020).
Tim kecil ini memutuskan berangkat dari Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai menuju pantai di wilayah utara Kabupaten Manggarai Timur itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 Wita, kami berempat mulai serius berdiskusi untuk memantapkan waktu keberangkatan.
Di tengah diskusi penuh santai siang itu, seorang teman mengusulkan agar sebelum berangkat harus mengurus surat rekomendasi perjalanan dari Tim Gugus Penanganan Covid-19 Kabupaten Manggarai.
Teman itu beralasan bahwa saat ini sedang ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat wabah virus corona atau Covid-19. Kami sepakat untuk mengurus surat rekomendasi perjalanan.
Urusan administrasi perjalanan ternyata bukan perkara mudah. Beberapa instasi di Ruteng, harus kami lalui.
Sesuai prosedur, sore itu pertama kali kami menyambangi Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Manggarai. Di sana, kami mengambil surat permohonan rekomendasi perjalanan.
Setelah itu kami mengisi identitas asing-masing. Pukul 16.20 Wita, kami kemudian membawa surat permohonan rekomendasi perjalanan tersebut ke Klinik Pratama Panti Nirmala yang berlokasi di Jl. Golocuru, Nomor 01, Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong.
Di sana, kami diperiksa satu per satu. Seorang petugas kesehatan menggunakan thermogun untuk mengukur suhu tubuh dan tensi aneroid onemed untuk mengukur tekanan darah.
Selanjutnya, hasil screening awal Covid-19 ini kami bawa kembali ke Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Kabupaten Manggarai.
Setelah memasukan berkas hasil pemeriksaan kesehatan, kami kemudian mendapat surat rekomendasi perjalanan dan ditandatangani oleh Sekretaris Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Kabupaten Manggarai, Frumencius L.T.K.
Selanjutnya, kami berangkat menuju Reo, ibu kota Kecamatan Reok sekitar pukul 17.30 Wita.
Kami memacu sepeda motor ke utara, di atas jalan berhotmiks. Jalan yang berliku menuju Reo menambah semangat kami untuk segera menyantap kepermaian alam Pantai Luwuk.
Dari Kota Ruteng, kami melewati Pagal ibu kota Kecamatan Cibal, lalu menuju Reo.
Dalam perjalanan, kami disajikan banyak spot pariwisata. Misalnya, bentangan sawah di Watu Alo, Kecamatan Wae Ri’i, yang turut memanjakan mata.
Di Reo, kami tiba malam hari. Kami pun memutuskan menginap, sambil mempersiapkan diri untuk keesokannya menuju Pantai Luwuk.
Tak hanya karena malam kami menginap, jarak tempuh menuju Luwuk memang sangat jauh, sekitar 60 KM dari Ruteng.
Keesokan harinya kami pun bergegas menuju Pantai Luwuk. Dari Reo, kami melewati jembatan Gongger. Jembatan ini berada di perbatasan Manggarai dan Manggarai Timur di wilayah utara.
Karena masih dalam masa pandemi Covid-19, kami pun harus diperiksa terlebih dahulu oleh panjaga posko jembatan Gongger, sebelum masuk ke wilayah Manggarai Timur.
Penjaga posko memeriksa identitas dan surat rekomendasi perjalanan. Petugas kesehatan juga memeriksa suhu tubuh pelaku perjalanan.
Sekitar 500 meter perjalanan dari jembatan Gongger, belok kiri untuk menuju Kampung Luwuk.
Sebelum ke Luwuk, kami mendapat saran untuk membawa bekal yang lengkap karena di sana belum ada fasilitas yang memadai.
Termasuk menjaga stamina, sebab medan perjalanan cukup menguras tenaga.
Ke Luwuk juga harus membawa kendaraan pribadi seperti mobil atau sepeda motor. Itu karena lokasinya yang masih tersembunyi, sehingga belum ada angkutan umum yang melintas.
Sepeda motor kami harus mengurangi kecepatan dan jalan penuh hati-hati.
Sebab, hingga kini jalan menuju kampung Luwuk tak kunjung diaspal. Kami harus melewati jalan bebatuan yang licin sekitar tiga kilometer.
Ruas jalan tersebut tidak ada tanda-tanda pernah diaspal. Tampak luput dari perhatian pemerintah.
Di tengah perjalanan, tepatnya di Kampung Sirise, Desa Satar Punda tampak lahan bekas penampungan mangan hasil tambang.
Di tempat itu masih meyisakan batu kerikil berwarna hitam yang sebagian tak lagi ditumbuhi tanaman.
Beberapa mesin dan bangunan reyot milik PT Istindo Mitra Perdana juga masih berada di tempat itu.
Dari papan nama di lokasi, perusahaan itu mendapat izin tambang sejak tahun 1999-2009.
Kehadiran perusahan tambang sepertinya tidak berdampak pada infrastrurktur khususnya jalan raya, listrik dan air minum bersih.
Selain itu juga tidak berdampak pada kondisi tempat tinggal warga di sekitar lokasi tersebut.
Sebab, di sekitar lokasi itu terdapat beberapa rumah warga yang kondisinya masih memprihatinkan.
Rumah berukuran kecil, dindingnya terbuat dari pelupuh bambu dan berlantai tanah.
Sepanjang perjalanan memang sudah ada tiang listrik yang baru saja dipasang, namun belum ada aliran listrik.
Kami tiba di Kampung Luwuk sekitar pukul 14.00 Wita. Sinar matahari yang cukup panas membuat dahaga dan ingin meminum air.
Namun, saat itu kami memilih untuk tidak minum air mineral biasa. Kami memutuskan untuk meminta air kelapa milik warga.
Beruntung saat itu kami bertemu dengan salah satu warga Luwuk, Agustinus Fan. Ia mengajak ke kebunnya. Jaraknya sekitar 500 meter dari kampung Luwuk arah timur.
Di kebun itu, tampak bentangan sawah yang cukup luas dan padi yang bertumbuh subur.
Bukan hanya tanaman padi, di sekeliling itu juga ada tanaman pisang, kelapa, dan tanaman lainnya yang bertumbuh subur.
Saat ditelusuri, salah satu faktor kesuburan beberapa tanaman itu karena banyaknya mata air.
Untuk menghilangkan dahaga, kami disuguhkan dengan air kelapa muda yang baru saja dipetik dari pohonnya.
Rasa capeh dan haus perlahan berkurang setelah menikmati air kelapa yang begitu segar dan manis.
Sunset di Pantai Luwuk
Usai menikmati air kelapa, Agustinus Van kembali mengajak kami ke Pantai Luwuk pada pukul 16.30 Wita.
Mendengar nama Pantai Luwuk mungkin sedikit asing di telinga wisatawan, termasuk kami yang baru pertama kali ke kampung itu.
Jangankan wisatawan dari luar kota, bagi masyarakat Manggarai sendiri nama Pantai Luwuk termasuk jarang didengar.
Walau belum jamak di mata kebanyakan orang, Pantai Luwuk ternyata menawarkan pesona alam yang asri dan menakjubkan.
Pantai ini tepat di samping lapangan sepak bola di kampung Luwuk.
Hamparan pasir putih yang terbentang luas membuat mata yang memandang tak ingin berkedip.
Pantai ini juga menjadi salah satu area favorit yang digunakan untuk memancing ikan oleh warga Kampung Luwuk dan Lingko Lolok.
Kendati dekat dengan pemukiman warga, namun pantai itu tampak bersih dari sampah rumah tangga.
Rupanya warga Kampung Luwuk sangat mencintai alam. Buktinya, mereka tidak membuang sampah sembarangan di pantai itu.
“Ini bukan karena ada larangan dari pemerintah atau pihak lainnya. Tapi murni kesadaran masyarakat Luwuk untuk tidak membuang sampah di tempat ini,” ungkap Agustinus Fan kepada VoxNtt.com.
Kami menikmati deburan ombak yang menggelitik kaki-kaki saat bermain di tepi pantai dan indahnya suara bergemuruh ombak di tengah laut.
Dan yang paling ditunggu, duduk di bibir pantai menanti matahari tenggelam atau sunset.
Saat matahari mulai terbenam di ufuk barat, kehangatan sinar kemerah – merahan yang menerpa wajah seolah memberi kabar sang bintang akan segera datang.
Hal yang tidak kalah menariknya adalah pemandangan para nelayan mengayuh sampannya untuk kembali ke pesisir, usai menjala ikan di laut.
Pastinya momen seperti ini adalah momen yang sangat dinantikan bagi para fotografer dan videografer, atau sekadar mengabadikan momen untuk diunggah ke media sosial.
Tidak cukup menggambarkan keindahan sunset di Luwuk dengan untaian kata menjadi kalimat yang dirangkum dalam alinea.
Sebab, keindahan yang ditawarkan sangat sulit dituangkan dalam tulisan. Namun setidaknya gambaran secara nyata lewat tulisan bisa memberikan bayangan tentang keindahan tersebut.
Ketika pandangan mata jauh ke depan, menatap sendu keindahan sang perkasa matahari yang siap meredup berganti dengan gelapnya malam.
Pesona kecantikan destinasi wisata ini membuat kami terpesona, terutama saat matahari akan tenggelam. Langit dan permukaan laut akan berubah warna.
Pantai Luwuk memang menawarkan sunset dengan keindahan yang eksotis. Sore itu, kami dengan bebas berkencan bersama langit kemerahan saat matahari berada di garis terbarat cakrawala.
Pada spot ini, mata kami dimanjakan dengan lukisan langit senja yang persis berada di atas laut Flores, bagian utara Manggarai Timur.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba