*) Cerpen Marselus Natar
Semua orang berbaris rapi di tanah lapang itu. Sementara operator musik belum menghidupi sound sistem yang menggunduk di pojok lapangan.
Hari ini bertepatan dengan hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Sebagaimana lazimnya, berbagai macam acara disiapkan untuk merayakan hari raya Kemerdekaan. Dari berbagai acara yang ada, yang menarik perhatian mata massa penonton adalah tarian Gemu Fa Mi Re.
Gemu Fa Mi Re adalah judul sebuah lagu ciptaan Frans Cornelis Dian Bunda atau akrab disapa Nyong Franco yang mengangkat kearifan lokal masyarakat Maumere Flores, Nusa Tenggara Timur lewat alat musik khas yaitu gong wani yang mendominasi lagu tersebut.
Bagi pencinta senam di Maumere atau bahkan di seluruh pelosok nusantara, Gemu Fa Mi Re adalah lagu pilihan untuk mengiringi senam. Alunan musik khas gong wani di sertai beberapa penggalan syair lagu yang membuat kaki, pinggul, tangan dan seluruh anggota tubuh lainnya tidak pernah lelah dalam irama senam.
Penggalan syair yang dimaksud berbunyi demikian, putar ke kiri e… nona manis putarlah ke kiri.. ke kiri… ke kiri dan ke kiri.. ke kiri manis e.. Sekarang kanan e.. nona manis putarlah ke kanan… ke kanan.. ke kanan dan ke kanan… ke kanan manis e…. Syair inilah yang menjadi pemantik semangat pencinta senam.
Aku tidak menghiraukan seberapa terik dan garangnya sinar matahari di bawah langit kota Maumere. Musik sudah mulai berdendang. Lautan manusia memenuhi lapangan yang luas itu.
Perlahan-lahan kaki dan tangan lautan manusia itu mengikuti irama alunan musik nan indah. Mulai dari orang tua hingga orang-orang muda, remaja hingga anak-anak berpacu dalam melodi gong wani nan syadu. Tidak pelak, hadirin penonton ikut menggerakkan kaki dan tangan mereka dari pinggir lapangan.
Sebagai penonton yang mencintai lagu Gemu Fa Mi Re sekaligus mengagumi senam, aku tidak mau ketinggalan menyaksikan kreativitas mereka dalam bersenam. Satu hal yang membuatku tersentak dan menjatuhkan air mata di tengah kerumunan penonton adalah eksistensi lagu Gemu Fa Mi Re yang sungguh di luar pikiranku.
Bukan soal tua dan muda atau remaja dan anak-anak yang tengah berekspresi dalam senam akan tetapi jauh di balik itu. Para pencinta senam yang sedang menari datang dari berbagai latar belakang budaya, suku dan agama.
Senam Gemu Fa Mi Re seolah-olah hadir sebagai perekat persatuan dan kesatuan yang ada. Di tengah sentakan kaki, dalam amanah lagu ke kiri..ke kiri… dan ke kiri… ke kanan…ke kanan… dan ke kanan… terlihat jelas bahwa mereka saling melemparkan senyuman disertai candaan yang mendamaikan. Inilah Maumere yang sesungguhnya. Maumere yang menjadi mozaik kerukunan, kedamaian dan semangat persaudaraan yang menjadi ujung tombak persatuan dan kesatuan bangsa.
Terlintas dalam ingatanku, bahwasannya lagu Gemu Fa Mi Re memang telah mendunia. Di layar televisi dan hand phone, aku sering menyaksikan di beberapa daerah di belahan dunia ini sering melakukan senam bersama diiringan lagu Gemu Fa Mi Re. Para pencinta senam pun datang dari berbagai latar belakang. Mereka merajut persatuan dan kesatuan dalam bingkai perdamaian dan persaudaraan dibawa hentakan kaki, ke kiri.. ke kiri… dan, ke kanan… ke kanan.
Irama lagu ini sungguh memacu adrenalin, seolah-olah memiliki kekuatan tersendiri sehingga semua kaki, tangan dan seluruh anggota tubuh para penari dengan mudah bergerak mengikuti irama lagu tersebut.
Debu dalam tubuh semilir angin menghalau pandanganku. Tidak pelak, beberapa butir debu itu menerobos masuk menembus bulu mataku. Aku pun terjaga dari lamunanku. Aku melihat beberapa penari bersimbah keringat. Pakaian mereka basah semuanya. Selain karena bergerak dalam irama ke kiri dan ke kanan, iklim kota Maumere yang terkenal panasnya menjadi penyebab utama terjadinya keringat.
Cuaca panas bukanlah sebuah kendala atau rintangan bagi para pencinta senam. Semangat mereka tidak pernah surut di bawa terik matahari. Sementara irama musik gong wani memecah kesunyian kota, gerombolan awan di pratala terlihat ikut berdendang ria mengikuti irama musik.
Di tengah kerumunan penonton serta kerasnya bunyi musik, tiba-tiba pikiran saya terusik dengan kalimat Gemu Fa Mi Re yang adalah judul dari lagu yang tengah didengar. Dalam bahasa Maumere, Gemu berarti memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Sedangkan Fa Mi Re adalah notasi.
Pada mulanya, lagu ini diciptakan dengan tujuan untuk menghibur. Namun dalam perjalanan, kebanyakan orang menggunakan lagu ini sebagai lagu pengiring senam yang kemudian dikenal dengan sebutan senam Gemu Fa Mi Re. Semuanya bermula dari Maumere. Kemudian merambah ke segala penjuru tanah air, dari jalanan hingga ke istana Presiden.
Para penari pun datang dari berbagai kalangan dan latar belakang. Menyadari eksistensi lagu tersebut di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia, spirit dari tersebut tidak hanya terbatas pada mengantar orang kepada kebahagiaan akan tetap lebih dilihat sebagai lagu dengan spirit mempersatukan.
Ya, lagu tersebut sangatlah pantas diputar pada moment perayaan hari ulang tahun bangsa Indonesia tercinta atau pada hari raya yang bersifat kebangsaan lainnya. Kehadiran lagu ini sungguh mendukung apa yang menjadi perjuangan dan harapan masyarakat Indonesia yaitu menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gemu Fa Mi Re merupakan perekat di tengah keberagamaan dan kemajemukan masyarakat Indonesia.
Gemu Fa Mi Re merupakan ujung tombak persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia menuju sekaligus mendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Pikiranku kembali terjaga, ketika mendengar suara ucapan terima kasih kepada para penari yang diucapkan oleh seorang master of ceremoni atau MC yang memandu berlangsungnya kegiatan. Semua para penari duduk di bawah rimbunan pohon di pinggir lapangan.
Beberapa jam kemudian, panitia penyelenggaraan perlombaan mengundang semua para penari senam Gemu Fa Mi Re menuju podium. Semua penari berhak mendapatkan hadiah dari pihak penyelenggara. Semua orang merasakan sukacita, kedamaian, rasa syukur serta sedikit menenggak bulir air segar kemerdekaan.
*Marselus Natar adalah seorang rohaniwan katolik pada Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. Beberapa cerpennya pernah dipublikasikan di media Pos Kupang, Flores Pos, Majalah Cakrawala NTT, Majalah OIKOS, media daring Dian Timur, Lontar Pos dan Horizonipantara. Selain sebagai penulis cerpen lepas, penulis juga seorang penikmat kopi, pencinta lagu Nenggo (lagu atau nyanyian rakyat Manggarai). Sekarang tinggal dan menetap di komunitas biara St. Aloysius Ndao, Ende – Flores.