*) Puisi Gusti Seriang
Panggil saja aku jahanam. Biar puas lepas yang kau tak paham. Kelangsungan hidupku telah jauh dari kalam, hanyut dalam larut malam kelam.
Seseorang telah pergi. Waktu berhenti. Ruang menyempit dalam seloki. Aku remuk dalam teguk mabuk, sepi dalam sopi. Mabuk adalah pelampiasan dari sunyinya kesendirian. Sunyi berarti senyapnya suara batin.
Perjuangan kehidupan memperlihatkan kisah sysiphus, jatuh dan bangkit. Terus bergerak meski sakit. Ia merengkuh kebahagiaannya dengan mengejek segala kemurahan hati.
Aku telah menempatkan dirimu sebagai arah. Aku melangkah dengan pongah. Percaya bahwa kau tak menunjukan jalan yang salah. Aku jauh meninggi tanpa lelah. Tapi tiba-tiba kau berubah. Kau marah lalu beranjak menuju entah. Aku kalang-kabut limbung goyah hilang papah.
Dari sana sebuah kisah telah melahirkan pepatah : di dalam hati yang patah terdapat masa depan yang terpecah.
Bohemian
Malam ini
Angin ricik
Dingin risik
Gerimis rikuh
Bulan ringkih
Malam ini
Mereka tak lagi jadi piranti semesta
Melebur satu dalam aku
Berbaur dengan botol-botol sopi
Malam ini
Pukul dua belas tertuju lambat
Sekeliling lamat-lamat terlihat
Kembali satu gelas terteguk
Lantas kemudian tiba-tiba ada yang mengetuk
Sempoyongan aku membuka pintu
Aku terkejut-tergugu
Kamu masuk sembari menyelutuk
“ berengsek, kamu mabuk lagi keluyur lagi.
Kalau begini bisa rumah-tangga kita bentuk?”
Sekejap itu terterlihat pula mata sangsi ayahmu
Samar-samar terlihat senyum kecut bibir ibumu
Sebuah tanda dari mereka bahwa aku tak sanggup
“ mampus saja”, lantas pintu lekas keras tertutup
Bayangan wajah dan segala tuntutanmu lepas lesap
Biar sendiri melenggang, menggelandang dalam malam lengang
Jangan kamu turut menumpang, perkawinan tak lebih dari nafsu ranjang
Sebuah sistem yang sudah usang, tertinggal nilai belis yang tak lekang
Apalagi kau tahu nasib hidupku lempang pukang
Dan kegelisahan memang tak bosan-bosan mengekang.
Pukul dua belas :
hari baru tertambat
bulan makin pucat
isi botol habis pepat
akalku tumpat.
***
*Tentang Penulis
Akrab dipanggil Gusti Ginta, bergelar Sarjana Hukum namun Sastra merangkul jiwanya dalam menelusuri seluk beluk, liku kehidupan.