Oleh: Pius Rengka
Staf Khusus Gubernur NTT
Sudah tiga bulan belakangan, saya sangat dekat dengan Gubernur NTT. Dekat tak hanya karena pernah ada kisah khusus pada masa silam di tahun 90-an, tetapi mengenalnya dalam banyak aspek dan segi.
Saya mengenalnya lama, sejak saya menjadi salah satu penghubung penting untuk penggabungan politik Victor B. Liskodat dan Kak Gaspar P. Ehok, sebagai satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, 20 tahun silam.
Peran saya strategis. Saya penghubung politik antarkedua tokoh ini. Demi peran itu saya dimungkinkan menginap gratis dua minggu di salah satu Hotel Bintang Lima, di Legian Denpasar. Saya ditugaskan antara lain oleh Kak Frans Skera, Kak Feliks Pullu, Kak Mundus Lema dan kawan-kawan lain yang biasa hidup dalam satu front politik dengan saya, pada masa itu.
Tugas saya agak berat, memang. Bagaimana saya harus meyakinkan Kak Gaspar P. Ehok yang sangat akademik itu agar sedia menjadi calon wakil gubernur dari Victor B. Laiskodat, yang saat itu berusia 36 tahun dan dikenal lumrah di Kupang amat sangat nakal. Super nakal bahkan.
Singkat kisah, keduanya tak jadi berpasangan, malah keduanya lawan tarung dalam kompetisi elektoral di dewan perwakilan rakyat NTT.
Kini, saya menjadi lebih dekat dengan Victor Laiskodat, Gubernur yang amat sangat fenomenal ini. Saya kian kenal karena saya ditunjuknya (melalui kompromi serius beliau bersama Kak Jos Nae Soi, tentunya) menjadi satu dari 8 staf khusus Gubernur NTT yang dikoordinatori Prof. Daniel Kameo dan sekretaris mantan Ketua DPRD NTT, Anwar Pua Geno.
Saya nyaris tiap hari bertemu Gubernur Victor dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi. Entah dipanggil untuk urusan khusus, maupun datang sendiri ke kantor untuk menerima penugasan khusus, tentu saja untuk hal-hal khusus pula. Tidak ada staf khusus mengurus semua hal, sebagaimana gosip yang berkembang liar di mana-mana. Tidak benar pula staf khusus menjadi corong untuk placement staf birokrat. Tetapi, khusus saya, tugas saya, tak berat amat.
Sejak itu, saya mengenalnya lebih dekat, lebih jauh dan lebih dalam. Akibat terdekat untuk saya ialah perspektif saya berubah total tentang Victor Laiskodat. Tadinya, maaf dengan segala hormat, saya pikir, Bung Victor ini sekadar salah satu orang kaya NTT yang beruntung terpilih menjadi Gubernur NTT.
Apalagi, sebelumnya saya amat sangat kecewa dengannya, ketika pernah satu saat kepada saya dikatakannya dirinya tak bakal ikut maju dalam kompetisi pemilihan Gubernur NTT setelah Frans Lebu Raya. Tetapi, perspektif saya atas Victor Laiskodat salah fatal.
Saya berubah sikap, bukan lantaran honorarium yang diterima sebagai staf khusus agak baik, tetapi karena saya terpukau akan kedalaman pengetahuan dan wawasan Bung Victor atas problem sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, bisnis dan kehidupan manusia. Apalagi perspektif humanisme yang dihayatinya sebagai mahluk peziarah beriman dan bersejarah.
Sekali waktu. Saya pergoki Beliau sedang mendalami pikiran pemikir filsafat Yunani antic, seperti Socrates, Aristoteles dan Plato. Bahkan dirinya juga menyinggung tentang The Great Thinker Thomas Aquinas, sang pemikir legendaris itu.
Tetapi, jika kepadanya ditanya, siapa gerangan filsuf yang paling digemarinya atau sekurang-kurangnya yang cenderung disukainya dalam tatakelola hidup ini. Dengan tandas dijawabnya, Socrates. Filsuf yang tak pernah menulis catatan dan buku ini, disukai Victor justru karena sikap tandas dan tegasnya tentang kebenaran yang dibelanya, meski atas sikapnya itu, Socrates harus menerima hukuman mati dengan minum racun.
Socrates, katanya, satu dari filsuf yang agak meragukan demokrasi sebagai sistem politik yang sanggup membebaskan manusia dari kungkungan sejarah buruk rejim politik. Tetapi, dunia umumnya sudah menerima demokrasi sebagai salah satu sistem politik terbaik secara empirik.
Itulah alasannya, mengapa banyak negara di dunia ini seperti kesurupan membela rezim demokrasi itu. Padahal dalam demokrasi ada sedikitnya tiga serat penting menjadi syarat lahirnya pemimpin berkarakter kuat yaitu, constituency, capacity and integrity.
Celakanya, kualitas demokarasi justru pertama terletak pada variable constituency karena penentuan seseorang pemimpin duduk di kursi kekuasaan ditentukan oleh para pemilih.
Para pemilih mayoritas lemah di dua soal esensial yaitu pendidikan dan ekonomi yang masih sangat memprihatinkan. Ekonomi lemah lunglai itulah yang memungkinkan membiaknya money politics ke mana-mana bagaikan virus mematikan.
Socrates menggugat hal ini 5 abad sebelum Masehi karena bahaya utama demokrasi ialah konstituen memilih orang buruk dan bodoh untuk menyelesaikan masalah orang banyak melalui pemilihan umum. Jika demokrasi mengandaikan pemilih itu adalah orang terdidik dan kaya, maka demokrasi hari ini ternyata menghasilkan hal berbeda.
Prinsip one vote one value, memproduksi kursi untuk diduduki orang keliru. Vote to seat persis akan sangat berbahaya jika actor politik terpilih adalah orang bodoh dan minus moral. Bagaimana mungkin orang bodoh diajak ikut menyelesaikan problem maha rumit dari rakyat yang dipimpinnya? Itulah bahaya aktual demokrasi, kata Victor B. Laiskodat.
Namun, lihatlah Amerika hari ini. Bagaimana memaknai pandangan ahli strategi politik seperti Rick Wilson dalam bukunya Everything Trump Touches Dies (2018). Kata Rick Wilson, semua yang disentuh Donald Trump hari ini mati. Bahkan lainnya menyinyalir, demokrasi telah mengalami involusi dan bahkan againts itself. Democracy is failing.
Kali lain saya jumpai dirinya dalam sarung tarung pengetahuan tentang teori perubahan sosial ekonomi dan pembangunan global serta perilaku empiric manusia bebas, semisal, pengaruh gagasan Etic’s Adam Smith dalam Adam Smith Ethics: The Ethics of a Free Society yang menurut Victor Laiskodat sungguh realistis hari ini. Smith mengajarkan tentang etik penilaian perilaku. Etika Smith sangat bergantung pada penilaian perilaku orang (baik kita dan orang lain) dan pada menerima umpan balik. Dia mengatakan bahwa kita secara alami mengharapkan orang untuk bertindak sopan santun – artinya mereka akan bertindak dengan cara yang menurut orang lain dapat diterima. Tidak ada garis terang di antara perilaku terpuji dan tercela. Tetapi, apa yang kini terjadi justru kebebasan itu persis seperti apa yang pernah dibayangkan Adam Smith.
Lain kali, dalam diskusi terbatas, Victor menyinggung teori-teori perubahan menuju Negara modern. Meski ada di antaranya yang sangat familiar di kepala saya, seperti Andre Gunder Frank, Walt Whitman Rostow yang berbicara tentang stages of economic growth model. Atau tentang teori Maslow yang mencermati kebutuhan manusia dari basic needs hingga aktualisasi diri.
Bahkan di waktu yang lain, ditemukan pula Victor Laiskodat sedang asyik masuk ke dalam tema filsafat teologi yang membongkar semacam kepalsuan ajaran kebebasan dan pembebasan manusia melalui sejarah gerakan teologi belaka. Misalnya, digugat, apa kiranya sumbangan filsafat dan teologi atas perubahan nasib manusia.
Bagaimana pula teologi berteologi dari konteks menuju konteks yang lain? Lalu, apa pula tugas teologi pada dunia empirik yang kian menggerus ajaran-ajaran suci moral semua agama? Bagaimana pula agama Katolik dan Protestan memahami pertanyaan Jesus: “Menurut kamu siapakah Aku ini atau pertanyaan yang ditandas dalam Kitab Suci tentang hai maut di manakah sengatmu?”
Pada satu masa tertentu, katanya, ada ajaran agama yang dianggap tidak masuk akal terutama oleh akal kalangan orang beda agama. Tetapi, lihatlah, hari ini. Ajaran yang dianggap tidak masuk akal itu, kini telah niscaya. Hari ini, ilmu pengetahuan menjawab everything is possible. Bahkan ketika virus corona melanda dunia, ditemukan ritus agama, ritus cultural, cara berelasi antarmanusia berubah signifikan.
Semua lokasi wisata dunia pun redup menyusul badai virus korona-19. Tetapi, diyakini, tahun 2022 ekonomi dunia bangkit lagi, meski akan melalui pengalaman pahit tahun 2021. Untuk itulah NTT tak boleh lemes, tak boleh redup, melainkan harus tetap bersemengat bekerja dan menyiapkan datangnya badai wisatawan dari berbagai belahan dunia.
Victor loncat dari satu tema ke tema lain begitu cepat. Akibatnya ada bagian yang tak lagi cepat ditangkap lantaran dia menyentuh tema bisnis internasional dan tarung bisnis model baru di masa depan. Victor yakin apa yang kini sedang disiapkannya untuk NTT adalah bagian dari metode keterlibatan NTT dalam pentas pergaulan di panggung dunia. Masuk akal jika infrastruktur yang tak terurus begini lama, terutama 15 tahun belakangan ini, diupayakannya lekas tuntas tahun 2021, paling lambat awal 2022.
Masuk akal pula bila ikan kerapu di beberapa tempat (perairan Waikelambu Riung, dan Mulut Seribu Rote) dipacunya lebih lekas untuk mencapai pasar. Dimengerti pula mengapa garam industry perlu segera digarap yang, rencananya akan panen perdana pada 23 Agustus 2020 mendatang. Dan, dapat dimaklumi ketika dibayangkannya sapi NTT masuk dalam hitungan bisnis kelas atas nantinya ketika dia mengajak ahli Jepang untuk membagi ilmu pengetahuannya di NTT. Dimaklumi pula ketika Victor Laiskodat berbicara tentang destinasi wisata NTT yang bakal mendunia dan dunia akan memperhatikan NTT melalui aneka aktivitas seperti pertemuan G-20 di Labuanbajo 2023 nantinya. Rupanya, semua itu dalam satu scenario akbar.
Meski dia nyaris berbicara banyak hal tentang isu sosial ekonomi dan pembangunan, tetapi satu hal selalu tampak jelas yaitu tindakan, ucapan, kelakuan, gerakannya diarahkan dan terarah serta terbimbing ke satu tujuan yang tidak pernah berubah.
Apa itu? Dia ingin menjadikan ini NTT sebagai salah satu tempat perhatian dunia pada satu saat. Semua tindakan, ucapan, gerakan, biaya dan perilaku sosial serta interaksinya dengan banyak orang di seantero dunia ini, mengarah pada keyakinannya ke tujuan tertentu itu.
Karena itu tidaklah heran, misalnya, dia kini merajut hubungan kerja sama dengan Rusia. Gandum ditanam di atas lahan ribuan hektar milik NTT di negeri itu. Tahun depan, NTT memiliki satelit mini yang dapat mengakses dan mengintrol informasi ke seantero negeri ini. Kecuali itu, hubungan multilateral dengan Negara-negara Pacific Selatan (dalam terang Paficic Rim, Patricia Aburdene) dibangun, terutama dalam cakupan kawasan Melanesia.
Melihat kecenderungan itu, terkuak sedikit berbicara tentang filsafat Christian Wolf, filsuf Jerman abad 18. Wolf, filsuf pertama yang menyebut istilah teleology. Diyakininya, segala sesuatu dan segala tindakan menuju pada tujuan tertentu.
Dengan kata lain, tak ada tindakan tanpa tujuan dan akhir yang pasti. Semua kejadian di semesta ini menuju pada tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu dapat dirancang sebelumnya atau malah mengikuti jalan takdir tindakan itu sendiri meski tanpa disadari manusia. Tampaknya, Gubernur Victor dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi dengan sangat terang benderang mengarahkan gerakan politik, ekonomi dan sosio kulturalnya menuju impian yang sama dan tetap yaitu menjadikan NTT sebagai center of gravity perhatian dunia. Karenanya, saya mencermati tingkah laku social politik Victor Jos, dalam terang teleologis ala Wolf itu. Mungkinkah?
Saya, sunguh mati, merasa tetap perlu untuk terus berdiri di tempat para peragu berakal sehat berada. Yaitu saya ingin menjadi petarung skeptisism, atau mengikuti sedikit sikap Rasul Thomas, yaitu competitor kebenaran yang mencari bukti empiric agar teleologism Victor Laiskodat yang kuduga menjadi fenomena riil hari ini dan di sini. Bukti hari ini, bukan nanti.
Meski saya kini telah menjadi bagian dari rombongan peziarah bersama dirinya, tetapi dalam perjalanan ziarah itu, tugas saya antara lain merumuskan pertanyaan tepat dan sekaligus gugatan kritis agar semua anggota rombongan birokrat ikut berubah secepat pikiran, tindakan dan gerakan Gubernur Victor Laiskodat.
Pertanyaan dan juga keraguan saya patut diperlukan bahkan beralasan, tak hanya untuk mengimbangi teleologi Gubernur NTT, tetapi serentak dengan itu sebagai alat pemacu jantung kebanyakan anggota birokrat NTT agar mereka lekas bergegas. Mereka bergegas dari dasar dan cukup mendasar agar basis tiang perubahan NTT lekas tampak ke permukaan.
Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, telah memberi pesan sangat terang agar para birokrat kerja cepat, lekas, tangkas, dan solutif. Tetapi tidak itu saja. Birokrat di semua level harus membangun kolaborasi dan sinergitas yang bergerak dalam simphoni perubahan NTT yang lebih lekas, lebih manusiawi dan menjanjikan terang di hari esok. Semua itu diperlukan supaya mimpi NTT as a center of gravity perhatian dunia kian terang adanya.
Victor Laiskodat, menurut saya, mungkin lebih cenderung sebagai pengagum bahkan penganut awal teleologisme. Dia ingin menjadikan orang lain besar pada masanya. Karena itu beralasan juga jika dikutip ungkapan filsuf Inggris Gilbert K. Chesterton yang hidup pada jaman yang sama dengan penemu istilah teleology, Christian Wolf abad 18.
Kata Gilbert K. Chesterton, There is a great man who makes every man feels small. But the really great man is the man who makes every man feels great. Ada orang besar yang membuat setiap orang merasa kecil. Tetapi orang besar yang sejati adalah orang yang dapat membuat setiap orang merasa besar. Akhirnya, saya bertanya: Bukankah pada mulanya semua telah dilihat baiklah adanya? Sekian.