Oleh: Irfan Bau
Seperti diketahui, Degonsa Kolo naas mengalami kecelakaan maut dan berakhir dengan kematian tragis.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh NTTonline.com, Degonsa Kolo (29), seorang staf yang bekerja di Puskesmas Noemuti Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) mengalami lakalantas di jalan Timor Raya, Kilometer 9, Desa Naiola, Rabu (12/08/2020) pagi.
Korban berangkat dari rumahnya di Miomafo Timur menuju tempat tugas di Puskesmas Noemuti Timur dengan mengendarai sepeda motor dan membawa beberapa jerigen berisikan bensin, yang digantung dekat setang dan dudukan belakang.
Setibanya di Km 9 jurusan Kefamenanu-Kupang, sepeda motor yang dikendarai korban diduga menabrak sebuah dump truk dari arah belakang.
“Tak disangka sepeda motor korban meledak dan terbakar. Mungkin percikan bunga api di busi saat jatuh terseret menyambar bensin di jerigen yang dibawa korban” jelas beberapa warga di TKP.
Saat itu juga sang korban langsung terbakar. Luka bakar yang sangat mengerikan, bahkan tubuh korban sampai hangus hingga nyawah korban tidak tertolong.
Berdasarkan kronologi di atas, pada hemat saya ada satu hal yang sangat memprihatinkan yakni soal ‘kepekaan hati nurani’ dari seluruh masyarakat sekitar yang saat itu bukannya menolong sang korban tetapi asyik mengambil video, kemudian mereka berlomba-lomba memviralkan video tersebut di media sosial.
Bahkan lebih miris lagi, ada yang memanfaatkan peristiwa tersebut untuk usaha bisnisnya menjadi seorang youtubers yang ingin mendapatkan view, like dan subscribe.
Saya sepakat dengan perkataan Fritz Meko dalam laman Facebooknya beliau menulis demikian, “Yah, itulah tipikal manusia PRE-LITERER, yakni manusia yang harus belajar menulis dan membaca, tapi karena revolusi teknologi dan komunikasi, maka mereka kehilangan orientasi yang wajar. Mereka jatuh dalam godaan untuk bermental MEKANISTIS daripada bermental MANUSIAWI yang penuh cinta dan berbelaskasih”.
Namun, berangkat dari peristiwa naas ini, penulis ingin memberikan sedikit pemahaman mengenai keugaharian dalam berteknologi yang akan menghantar setiap kita untuk sampai pada aktus mengambil sikap yang benar.
Teknologi Sebuah Paradigma
Teknologi merupakan sebuah inovasi yang muncul sejak abad ke-20 yang bersamaan dengan revolusi industri kedua. Inovasi ini hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Menurut Plato ada tiga jenis kebutuhan manusia. Pertama, kebutuhan epithumia yang menyentuh wilayah perut ke bawah. Yang termasuk dalam kebutuhan ini adalah ekonomi dan kenikmatan seksual. Plato menilai kebutuhan ini bersifat irrasional.
Kedua, kebutuhan thumos, yaitu yang menyasar wilayah dada. Kebutuhan ini mencakup ambisi kekuasaan, harga diri (pribadi, kelompok, ras dan agama). Kebutuhan ini juga bersifat irrasional.
Ketiga, kebutuhan logistikon yang berkaitan atas dari tubuh manusia seperti kepala (otak), yang memungkin adanya pengetahuan. Kebutuhan ini meliputi keadilan, kesetiaan dan kebaikan. Berbeda dari dua kebutuhan sebelumnya, logistikon disebut plato sebagai kebutuhan yang bersifat rasional (A. Setyo Wibisono: Lysis, 154-155).
Berdasarkan Peristiwa naas yang menimpa Degonsa Kolo, masyarakat yang berlomba-lomba mengambil dan memviralkan video terjebak dalam point kedua yakni: kebutuhan thumos.
Berkenaan dengan kebutuhan thumos, teknologi dapat mereduksi perilaku manusia untuk menjalankan hasrat ‘kekuasaan’ yakni menyebarluaskan informasi dengan cara memviralkan video sang korban lewat facebook, Whatsapp, Twiter, dll.
Tindakan seperti ini telah mencerminkan seseorang sebagai ‘penguasa’. Artinya bahwa teknologi telah mematahkan hati nuraninya sehingga ia tidak mampu berpikir kalau apa yang dilakukannya itu merupakan sebuah tindakan yang melukai keluarga korban, sehingga ia terjerumus dalam sebuah konsep ‘penguasa tunggal’ atas tindakan yang dilakukan.
Realitas ini menunjukkan bahwa teknologi sering kali mereduksi saraf-saraf motorik manusia untuk bertindak tanpa memikirkan secara matang dan pertimbangan hati nurani.
Teknologi semacam opium yang membuat candu masyarakat untuk menyebarluaskan informasi semena-mena atau dengan kata lain se mau gue.
Tindakan-tindakan seperti ini dapat menghilangkan esensi dari teknologi yang adalah memenuhi kebutuhan manusia. Teknologi tidaklah lagi digunakan sebagai kebutuhan, melainkan dipakai untuk memperoleh keinginan pribadi. Sakralitas teknologi yang memenuhi kebutuhan manusia kini hilang dengan sendirinya.
Ugahari dalam Berteknologi
Keugaharian merupakan satu dari empat jenis keutamaan menurut Plato. Ketiga keutamaan yang lain adalah kebijaksanaan (sophia), keadilan (dikaiosune) dan keberanian (andreia). Keugaharian (Yunani: sophrosune) berasal dari kata sun–phronesis yang berarti dengan hikmat.
Sophrosune adalah roh moderasi, pengendalian diri dan kesederhanaan. Dalam mitologi Yunani, sophrosune dikisahkan sebagai salah satu roh baik yang melarikan diri ketika Pandora membuka kotak yang berisi semua kejahatan dunia (Wibowo: Xarmides, hlm. 10).
Keugaharian dalam berteknologi amatlah urgen. Keugaharian memampukan setiap kita untuk bisa mengendalikan diri karena teknologi terkadang menjerumuskan kita untuk bertindak semena-mena. Teknologi kerap membuat kita candu bahkan membuat kita menyembahnya sebagai monstrans yang memberikan kehidupan bagi kita.
Setiap kita dituntut untuk ugahari dalam berteknologi. Artinya bahwa setiap kita dituntut untuk tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk sehingga kita tidak keliru dalam menggunakan teknologi.
Namun, untuk sampai pada sikap ugahari pada hemat saya satu hal yang penting yakni meningkatkan pendidikan. Melaui pendidikan kita belajar dan memperoleh pengetahuan dalam menggunakan internet, sehingga kita boleh diarahkan pada aktus yang benar.
Terkait dengan pendidikan, tentunya peran keluarga, sekolah dan lembaga agama cukuplah penting. Peran keluarga, sekolah dan lembaga agama mestinya dijadikan sebagai tempat yang mampu memberikan penjelasan yang komprehensif terkait dengan penggunaan teknologi secara bijak.
Hal ini akan menuntun setiap individu untuk bisa memposisikan teknologi bukan sebagai instrumen semata yang membantu manusia untuk mencapai atau memenuhi keinginan pribadi, tetapi lebih dari itu, menjadikan teknologi sebagai suatu ruang hidup yang dapat memberikan arti bagi eksistensi dirinya dan sesama.
Marilah kita belajar dari peristiwa ini, semoga teknologi tidak melumpuhkan logika berpikir kita, tidak menstimulasi pikiran kita, melainkan teknologi dijadikan sebagai ruang budaya, yang mendeterminasi logika berpikir, mengkreasi teritori baru, mengedukasi secara baru dalam ruang kehidupan kita.
Semoga dengan berteknolgi kita semakin menjadi manusia yang manusiawi yang berbelaskasih dan penuh cinta bagi sesama.