Betun, Vox NTT-Kisah ini masih di tempat yang sama, sebuah desa di lembah bukit Faunoem tepatnya di desa Manamas, sebuah desa terpencil saat itu di Kabupaten Timor Tengah Utara.
Bapak saya seorang guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang ditugaskan di SMPK Santo Gregorius Agung Manamas, sekolah menengah pertama satu -satunya di sekitar lembah Faunoem yang meliputi beberapa desa.
Tahun 1997, waktu itu saya berumur 6 tahun. Kami sekeluarga untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di desa Manamas, kala bapak dipindah tugaskan ke SMPK Santo Gregorius Agung Manamas.
Sebelumnya, selama 16 tahun lamanya, bapak bertugas di SMPK Maubesi, wilayah kecamatan Insana, kabupaten TTU. Di Maubesi inilah, saya dilahirkan, tepatnya pada tanggal 4 Juli 29 tahun silam.
Seingat saya, saat itu kami sekeluarga menumpang sebuah truck kayu, beranjak dari Maubesi menuju Manamas yang mana diiringi isak tangis para tetangga yang sudah seperti keluarga. Maklum, kami bukan orang asli TTU. Bapak dan mama berasal dari Belu (Malaka).
Waktu itu, perasaan saya biasa saja, karena mungkin masih kecil. Saya tidak bisa bayangkan, jika saat itu saya sudah dewasa. Mungkin ikut juga merasakan sedih yang mendalam, seperti para tetangga, bapak, mama dan saudara saya lainnya. Memang, perpisahan itu menyisakan banyak kesedihan.
Bertemu Teman Baru
Seingat saya, kami sekeluarga tiba di Manamas saat hari sudah senja. Mungkin sudah tahu akan kedatangan guru baru, banyak warga sudah menanti kedatangan kami, di rumah yang sudah disiapkan untuk kami tempati.
Kami disambut ramah oleh masyarakat. Tampak, guru kepala sekolah hadir juga, Maximus Meko, beliau sudah almarhum saat saya duduk di bangku SMP kelas 2. Maximus Meko adalah pendiri SMPK Santo Gregorius Agung Manamas.
Selanjutnya, barang bawaan kami diturunkan oleh mereka dan ditata di dalam rumah. Tampaknya, mereka sangat bergembira dengan kehadiran bapak saya yang akan mengajarkan matematika untuk anak-anak SMP. Saat itu guru matematika sangat langkah.
Minggu pertama di Manamas, saya bertemu bocah-bocah kompleks situ yang semuanya anak guru, baik SD maupun SMP. Masih teringat dengan baik mereka itu adalah teman masa kecil dan remaja yang hingga kini masih terjalin hubungan baik. Ada Sar Metan dan Alex Neno.
Mereka berdua adalah teman baik saya dan kami menghabiskan masa kecil dan masa remaja yang sangat berkualitas. Kami bermain bersama, mandi di kali bersama, makan bersama, hingga sering tidur bersama juga. Kebetulan, rumah kami berdekatan di sekitar SDK Yaperna Manamas.
Tahun 1998 Hingga 2004
Tahun 1998, untuk pertama kalinya saya masuk sekolah dasar (SD). Kebutuhan, rumah kami sangat dekat dengan SDK Yaperna Manamas, tempat dimana saya diajarkan menulis, membaca dan berhitung. Dua teman karib saya Sar dan Alex juga ikut masuk dan bersekolah di SD tersebut.
Di SDK Yaperna Manamas itu, kepala sekolahnya adalah bapak dari Sar Metan. Namanya Alexander Kau, kepala sekolah merangkap guru Agama Katolik yang terkenal jahat saat itu. Sedangkan, bapaknya Alex Neno, adalah penjaga sekolah berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang juga sedikit jahat. Namanya Donatus Neno, dulu kami memanggilnya dengan sebutan bapak Pensek (Penjaga Sekolah).
Kisah yang paling berkesan kala itu ketika menjelang malam tiba, kami bertiga dan teman dari kampung tetangga lainnya “bertamu” ke rumah orang.
Sebelumnya, kami pasti sudah mandi di kali belakang rumah, sekedar agar kelihatan mandi saja sebenarnya. Setelah mandi, tak lupa kayu kering yang dijadikan pagar pembatas kali itu kami ambil, masing-masing satu batang.
Setelah itu, kami masing-masing ke rumah, ganti pakaian yang sudah dari siang hari menyerap keringat di badan, saat bermain bersama.
Maghrib, kami biasanya sudah berkumpul di lapangan Volley, depan rumah saya. Biasanya Alex paling rajin menunggu saya dan Sar Metan di sana. Masing-masing memegang kayu bakar sebatang, yang akan kami bawakan untuk tuan rumah saat “bertamu”. Itu syarat utama untuk “bertamu”, selain wajib mandi.
Sambil menunggu lampu neon nyala, kami bertiga biasanya duduk manis sambil bercerita.
Zaman itu, awal tahun 2000-an Televisi masih menjadi barang mewah dan langka di Manamas, sebuah desa di ujung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak, listrik saja belum ada saat itu. Desa Manamas, selain terpencil di kecamatan Miomafo Timur saat itu, desa di bawah kaki gunung Faunoem itu masih sangat terbatas untuk mendapatkan informasi. Jalan raya, rusak parah, listrik tidak ada, motor dan mobil saja jarang terdengar bisingnya di jalan.
Saat itu, masih membekas di memori saya, pak Jhon Timo saja yang punya televisi, lengkap dengan parabola dan tentunya genset sebagai sumber energi listrik alternatif. Bayangkan, satu kampung besar dan yang memiliki Televisi berwarna hanya satu keluarga saja.
Istilah “bertamu” di atas itu dimaknai lurus saja. Kami ke rumah pak Jhon Timo, bertamu sekaligus menonton TV. Mirip layar tancap, ratusan orang dalam kampung melakukan aktivitas malam yang sama seperti yang kami lakukan. Semuanya, wajib bawa sebatang kayu api untuk tuan rumah pemilik televisi. Uniknya, tuan pemilik televisi sudah mempersiapkan dua atau tiga orang yang bertugas memeriksa kayu bakar para penonton. Kalau ketahuan tidak bawa kayu, tidak akan dipersilahkan masuk. Mirip karcis masuk, seperti hendak menonton film di bioskop di zaman modern sekarang ini.
Masih teringat jelas dalam benak saya, sungguh satu hiburan malam masa kecil yang sangat berkesan dan itu tidak dialami para bocah generasi android sekarang ini.
Dulu, kami mainnya di kali, naik turun gunung (sekarang istilahnya para pecinta alam), mandi air hujan, main bola, main kelereng, main gasing dan masih banyak permainan yang kami lakukan untuk menjalin keakraban saat itu.
Generasi sekarang, mainnya android, curhatnya di beranda Facebook, story WhatsApp dan Instragram. Dulu kami main bareng di lapangan bola, sekarang mereka main bareng via android. Mabar (main bareng) istilah kerennya. Kami dulu, bercerita kalau lagi kumpul. Sekarang mereka Mabar (main bareng) kalau lagi kumpul juga. Masing-masing memegang androidnya.
Generasi tahun 90-an adalah generasi sempurna. Angkatan itu mengalami dua fenomena yang berbeda, antara zaman manual dan maniak android.
Demikian, cerita masa kecil saya yang pasti dialami oleh saudara sekalian semua yang lahirnya di tahun 80an dan 90an. Zaman penuh kisah dan cerita di hari ini esok nanti.
Penulis: Frido Umrisu Raebesi
Editor: Irvan K