Ende, VoxNTT-Sang fajar mulai menyingsing tanda hari pagi itu mulai beranjak. Itulah hari yang tepat yang kami nantikan untuk berwisata, bersenang-senang, mencari inspirasi dan bahkan bersensasi.
Perjalanan kami ke Bukit Lia Ga memang banyak cerita berkesan. Ada yang bahagia, ada pula satu dua orang yang menakutkan. Memang itulah tantangan bagi orang yang suka melancong.
Motor Yahama Vixion, satu-satunya kendaraan yang kami gunakan pagi itu. Kami tempuh dari Kampung Ndondo ke Bele, salah satu kampung pesisir di Kecamatan Kota Baru, Ende.
Kendaraan yang dikendalikan oleh Rian Nulangi, salah satu kerabat pekerja media di Ende ditempuh dalam durasi kurang lebih 10 menit. Memang agak keburu karena dorongan arogan dari diri untuk segera menikmati keelokan bukit Lia Ga.
Kami berdua memang sedikit berkonsisten soal waktu pagi itu untuk menikmati Lia Ga, bukit yang penuh dengan nilai eksotis. Niat menikmati keindahan alam secara penuh itulah yang mendorong kami untuk menyiapkan lebih awal.
Memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan serius oleh pelancong ke sana. Tepat waktu (timing), persiapan tenaga perjalanan yang prima, makanan dan minuman serta peralatan kamera, itulah hal yang kami utamakan waktu itu. Dijamin tak akan ada penyesalan jika perjalanan tuntas hingga ke puncak bukit Lia Ga.
Setelah tiba di Kantor Camat Kotabaru, kami diarahkan untuk sarapan pagi. Panitia HUT RI ke-75 memang sudah menyiapkan ala kadar itu.
Kami sarapan disana bersama beberapa nona (gadis) dari Maurole dan Ende. Kami saling menyapa, melemparkan senyuman. Kebiasan wajar itulah yang memacuh adrenalin untuk segera menuju Lia Ga.
Kegelisahan kami untuk menikmati panorama Lia Ga memang tak henti-hentinya. Kami berdua berunding, untuk lebih awal ke Lia Ga.
Motor Vixion kembali memacu, tampaknya lebih cepat dari biasanya menuju ke Kampung Bele, tempat berkumpul semua pengunjung saat itu. Jaraknya sekitar empat kilometer ke arah utara dari pusat kecamatan dan dapat kami tempuh selama lima menit.
Di Bele, tampak sudah banyak orang berkumpul. Ada polisi, tentara, tenaga medis, pegiat pariwisata, masyarakat desa serta beberapa para kepala desa yang rupanya sudah lebih awak dari kami.
Berselang beberapa menit kemudian, rombongan wartawan dan sedikit pegawai lain muncul. Kami sepakat untuk beranjak lebih dulu. Ya, perahu motor satu-satunya transportasi menuju Lia Ga.
Perahu motor berkapasitas 15 orang itu mulai membelok di sela-sela hutan mangrove di Kampung Bele. Tut..tut..tut..begitulah bunyi mesin perahu motor persis depan saya.
Ributnya bunyi mesin itu membuat rasa ketakutan kami menghilang. Beberapa rekan wartawan mulai mengabadikan momentum perjalanan itu, seolah-olah pelancong benaran. Ada yang foto bukit dan hutan mangrove di sepanjang bibir pantai itu dan adapula yang tampak berfoto diri sendiri alias selfie.
Lima belas menit kemudian, kami pun tiba di kawasan wisata Lia Ga. Pasir putih, bukit yang penuh rumput kekuningan dan hutan mangrove serta kejernihan air laut itulah awal kami mulai kenal Lia Ga.
Kami mulai turun dari perahu motor tua itu. Satu per satu berlahan lompat, saling berpegangan tangan menolong serupa jejak tangan romantis rose dan jack saat adegan bercinta di mobil dalam film Titanic.
Kami bersenang-senang, merekam video dan berfoto sesuka hati. Raut wajah masing-masing kami tampak cerah, gembira tanpa ada tekanan beban secara psikis pagi itu.
Di kawasan itu memang ada beberapa warga Kotabaru yang bermukim. Setidaknya lebih dari lima rumah panggung yang nampak masing-masing ditancap tiang bendera merah putih. Mahklum, saat itu bertepatan hari memperingati kemerdekaan RI.
Beberapa wartawan mulai bermanuver mencari berita, bendera merah putih di halaman rumah reyot itu. Sambil menyelam minum air, kira-kira begitulah pepatah yang cocok untuk sejumlah awak media.
Bukitan yang Lekuk
Tak hanya pasir putih dan jernihnya air laut, hal baru yang ditemukan disana ialah lekukan bukit. Lia Ga sesungguhnya tak akan habis memamerkan keindahan alamnya.
Lekukan-lekukan bukit Lia Ga yang tampak masih perawan seolah memanjakan para wisatawan. Seperti seorang gadis yang memamerkan tubuhnya tanpa sehelai. Begitulah kira-kira perumpamaan yang kerap kita temukan dalam novel orang dewasa.
Jejak lekukan perbukitan Lia Ga yang penuh rumput kekuningan memanjakan mata pengunjung. Apalagi dipandang dari ketinggian bukit itu.
Sekali lagi, anda harus benar-benar menyiapkan tenaga yang prima agar bisa mencapai puncak. Disitulah anda akan menikmati kawasan wisata Lia Ga seutuhnya.
Hendak ke puncak, memang ada beberapa tantangan yang menantang. Selain mendaki tajam, akses jalan pun penuh bebatuan yang bakal mencederai anda. Ekstra berhati-hati, itulah hal yang paling utama.
Jika ke puncak, tentu tenaga anda akan terkuras. Sekali lagi, terkuras. Tapi jangan khawatir, semua akan terbayar dengan panorama alam bebukitan, teluk dan lautan lepas yang indah seolah kita berada di atas awan ketinggian.
Laut dan Teluk Hijau yang Eksotis
Eksotis, itulah kata yang tepat kita juluki panorama teluk Lia Ga yang hampir mirip dengan keindahan alam Pulau Padar, Labuan Bajo.
Setidaknya ada tiga teluk yang dapat kita nikmati dari puncak bukit Lia Ga. Kejernihan laut di teluk itupun membuat kita ingin lompat, terjun bebas kesana. Teluk-teluk yang nampak cantik dan berwarna hijau itu bakal menghilangkan rasa stres dan jenuh.
Panorama yang lebih indah lagi itu tampak terlihat sebuah pulau kecil yang jelas dipandang. Nusa Bolo, itulah pulau yang dinamakan warga Kotabaru.
Pulau mungil itu justru menjadi fokus setiap pengunjung yang berfoto ria. Pulau nampak sangat cantik, belum tersentuh oleh perilaku manusia.
Panorama alam bukit Lia Ga memang tak membuat pengunjung bertahan hanya sebentar. Ada diyakinkan akan berlama-lama bahkan menghabisakan sisa waktu libur anda disana.
Teluk hijau dalam tiga frame itu memikat hati setiap pengunjung. Dimensi-dimensi teluk yang dihiasi mangrove di sekelilingnya menjadi magnet wisata pantai utara.
Perjalanan Pulang yang Menantang
Rasa ketakutan muncul saat kami kembali pulang ke Kampung Ndondo. Kami pilih jalur laut menggunakan perahu fiber berkapasitas belasan orang.
Waktu sudah menunjuk siang hari. Angin semakin kencang, gelombang besar ditambah terik matahari yang membakar suasana siang itu.
Juragan perahu mulai kendali kemudi yang tumpangi lebih dari kapasitasnya. Dua menit berselang, kemudi mengarahkan perahu ke tengah laut.
Strategi itu sengaja ia lakukan untuk mengantisipasi kejadian diluar dari prediksi.
Suasana tiba-tiba hening seketika. Ombak yang kian besar membasahi beberapa wartawan. Munculah ketakutan disaat perahu tak seimbang.
Ombang-ambingnya perahu sangat terasa saat memasuki di perairan Watu Manu. Seisi kapal mulai panik, ketakutan bahkan cucuran keringat membasuhi wajah setiap orang.
Kepanikan itu muncul di perairan itu setelah diketahui kawasan rawan kecelakaan. Beberapa kapal disebut pernah tenggelam ditelan ombak.
Watu Manu, demikian sering orang sebut sebagai kawasan rawan kecelakaan. Begitupun di perairan Sada, yang juga pernah terjadi peristiwa mengesankan.
Hati kami legah setelah melintas dua jalur rawan kecelakaan tersebut. Lebih dari satu setengah jam perjalanan kami dari Lia Ga melewati perairan Watu Manu, Sada hingga perairan Pabanama dan berakhir di perairan Nuanaga, Ndondo.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba
Berikut foto-fotonya: